Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAH Harmoko ibarat menggenggam kekuasaan tiga dewa sekaligus?Brahma, Wisnu, dan Siwa, sang tritunggal pemutar siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian. Di masa ia berkuasa, di tangannyalah kelahiran, kehidupan, dan kematian setiap media massa di Republik ditentukan.
Kuasa itu datang dari sebuah aturan bernama surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dicetuskan pertama kali dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21/1982, ketentuan ini mulai efektif berlaku setahun setelah Harmoko menjabat Menteri Penerangan, melalui Peraturan Menteri Penerangan No. 1/1984. SIUPP lantas menjadikannya sebagai Menteri Penerangan yang paling berkuasa (1983-1997), sekaligus merupakan salah satu yang terkaya. Dengan SIUPP, Harmoko menentukan hitam-putihnya jagat pers nasional.
Tahun 1987, tiga tahun setelah beleid itu ia teken, sebanyak 267 SIUPP dikeluarkan. Ketika itu Harmoko memutuskan tak akan menerbitkan izin baru untuk pers umum. Menurut dia, pasar sudah jenuh. Karena itulah pintu bagi munculnya media baru sudah tertutup rapat. Titik.
Tapi kuasa toh ada di tangannya, dan bisa diarahkan ke mana ia berkehendak. Pada tahun 1990, SIUPP kembali ia terbitkan kepada sebuah harian besar yang dibekingi seorang menteri yang sangat berpengaruh dan kepada sebuah majalah berita terbitan Jakarta yang dimodali seorang famili Soeharto.
Perlahan tapi pasti, Harmoko bahkan memainkan SIUPP sedemikian rupa menjadi komoditas yang sangat menguntungkan. Arswendo Atmowiloto, mantan pemimpin redaksi tabloid Monitor dan salah satu pentolan di Kelompok Kompas Gramedia, mengungkap kesaksian. Mendapatkan izin bertuah itu bukan hanya tak gampang, tapi juga tak gratis. Untuk mengurus SIUPP, tuturnya, pertama-tama semua persyaratan resmi yang berbelit-belit?ada sekitar 19 butir?mesti dipenuhi dulu. Si Bung, begitu Harmoko dipanggil, terkenal amat ketat soal persyaratan administrasi. Di tahap ini belum perlu duit besar, kecuali membayar biaya administrasi sekitar ratusan ribu rupiah. Tapi, setelah itu, uang kontan dalam jumlah yang terhitung sangat besar menurut ukuran waktu itu perlu segera disiapkan.
Berdasarkan pengalamannya, Wendo menyebut angka Rp 175 juta-350 juta. Tak lain, itu uang pelicin supaya izin bisa keluar. Pembayaran langsung ditujukan ke rekening pribadi Harmoko atau keluarganya, begitu SIUPP diterima. Untuk mendapat lisensi tabloid Nova, Citra, dan Otomotif, Wendo mengaku harus merogoh sekitar Rp 200 juta. Buat tabloid Monitor, yang sudah almarhum, tak sampai Rp 200 juta. Adapun majalah Senang?milik Syamsuddin Lubis dari Grup Selekta dan diterbitkan Gramedia?seharga Rp 250 juta. Pernah juga Grup Gramedia "membeli" SIUPP hingga Rp 350 juta, yakni ketika menerbitkan majalah Tiara. Alasan Harmoko, tarif yang ini lebih mahal karena pemilik lama masih ada?sehingga rezeki yang harus dibagi makin banyak.
Seingat Wendo, yang sukses membidani enam majalah dan tabloid di Grup Gramedia, tiap bulan ia mesti menyisihkan Rp 10 juta-15 juta dari kas setiap tabloid dan majalahnya. Ini bukan untuk keperluan menyantuni anak telantar atau sebangsanya, tapi untuk setoran rutin tiap bulan sebesar Rp 50 juta-75 juta ke saku si Bung. "Ada laba atau tidak, pokoknya uang bulanan harus ada," ucapnya.
Syarat setoran rutin ini diamini Panda Nababan, pendiri majalah Forum, dan Mohammad Chudori, mantan pemimpin umum koran berbahasa Inggris The Jakarta Post. "Kalau tidak bayar ya dicabut," kata Chudori.
Dari situlah setidaknya setiap bulan ratusan juta rupiah mengalir ke dompet si Bung. Mari berhitung. Dari pengakuan Wendo saja, Harmoko menerima Rp 50 juta-75 juta. Menurut majalah Tajuk, dari harian Bisnis Indonesia pada tahun 1997 istri Harmoko pernah menerima dividen sekitar Rp 100 juta. Belum lagi dari yang lainnya.
Lalu, bagaimana harga ditentukan? Tidak ada patokan yang pasti. Namun, kata Wendo lagi, besarnya tarif biasanya sangat bergantung pada jenis koran atau majalah yang akan diterbitkan. Juga, apakah ceruk pasarnya masih lebar atau sudah penuh sesak. Kalau kosong, harganya tinggi. Kalau sudah penuh, SIUPP bisa diperoleh dengan harga "damai". Ia memberi contoh majalah Tiara, yang mengupas psikologi populer dan gaya hidup kosmopolitan. Karena marketnya masih sangat lebar dan menjadi majalah satu-satunya di segmen itu, izin Tiara lalu dibanderol sangat tinggi.
Selain "uang semir", syarat lain untuk memperoleh SIUPP adalah kesediaan pemilik modal untuk berbagi saham dengan Harmoko atau keluarganya. Besarnya bervariasi: dari 5 persen hingga 100 persen. Dari yang pernah dikuasainya, sebagian diatasnamakan Harmoko sendiri, sebagian lagi dibikin atas nama istri, kakak, dan adik-adiknya.
Shirato Syafei, mantan pemimpin umum harian Bisnis Indonesia, terang-terangan mengungkapkan bahwa pihaknya memang pernah memberi upeti 20 persen saham senilai Rp 60 juta atas nama Sri Rodhiyati, istri Harmoko. Shirato sendiri yang mengantarkan kuitansinya ke Rodhiyati. "Saham itu sebenarnya ya untuk Harmoko-lah," katanya. Dan tentu saja Harmoko dan Rodhiyati tak perlu mengeluarkan sesen pun untuk memperoleh saham itu karena, masih kata Shirato, "itu dibayar oleh pemegang saham yang lain" lantaran "tentunya beliau (Harmoko?Red.) mempertanyakan apa yang ia peroleh dengan izin yang diberikan".
Pengakuan Shirato dikukuhkan oleh sebuah dokumen yang diperoleh mingguan ini. Melalui sepucuk surat kepada Sukamdani Sahid Gitosardjono, Presiden Komisaris PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit Bisnis Indonesia, Rodhiyati mengembalikan sahamnya. "Saham atas nama saya S.R. Dhiyati saya kembalikan kepada keluarga besar penerbit harian Bisnis Indonesia dan karyawan PT Jurnalindo Aksara Grafika," begitu tertulis dalam surat itu. Yang lebih menarik lagi, pernyataan ini diteken Rodhiyati pada 9 Juni 1998, hanya tiga pekan berselang setelah takhta junjungan suaminya, Soeharto, ambruk.
Untuk keperluan ini, konflik internal media juga dimanfaatkan sebagai peluang bisnis. Misalkan ketika majalah Kartini pecah dan melahirkan Sarinah. Menurut sejumlah dokumen dan akta pendirian yang didapat TEMPO, ketika Sarinah meminta SIUPP baru, ketika itu pulalah masuk salah satu petinggi kelompok Pos Kota sebagai mitra usaha yang baru.
Celakanya, Harmoko tak pernah puas hanya dengan jatah saham. Ia juga selalu minta kerabat dan orang dekatnya dimasukkan dalam jabatan puncak di media yang bersangkutan. Seorang sepupu Harmoko, misalnya, sejak awal diikutkan di sebuah tabloid hiburan. Di tabloid sejenis lain, giliran dua adiknya didudukkan sebagai salah satu pemimpin puncak, salah satunya dinobatkan menjadi pemimpin umum.
SIUPP bahkan membuat kekuasaan Harmoko nyaris tak berbatas. Dengan itu, ia bisa mendikte susunan redaksi, isi berita, bahkan hingga urusan tetek-bengek semacam nama media yang akan diterbitkan. Surya Paloh, bos Media Indonesia, mengungkapkan pengalamannya.
Surya butuh waktu 10 tahun sebelum Harmoko memberinya izin menerbitkan sebuah koran baru. Lobi telah dilakukan Surya semasa Harmoko masih menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, tapi SIUPP baru diteken pada tahun 1986 setelah melalui proses berbelit. Terlebih dahulu, Harmoko langsung menyeleksi sejumlah calon yang diajukan Surya sebagai pemimpin redaksi. Setelah sekian nama ditolak, Harmoko baru mengangguk setelah Surya menyorongkan nama konco Harmoko, seorang pemimpin koran yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru. Bahkan, untuk jabatan pemimpin umum dan pemimpin perusahaan, Harmoko sendiri yang mengajukan namanya.
Tak cuma itu, nama koran pun ikut "dilitsus". Nama "Demokrat" atau "Nasionalis", yang semula direncanakan, ditolak Harmoko. Koran baru ini akhirnya dinamai Prioritas, nama pilihan Harmoko sendiri. Proporsi isinya juga harus ikut aturan sang Menteri: 75 persen berita ekonomi dan 25 persen umum. "Ada surat yang menyatakan, kalau itu dilanggar, SIUPP-nya akan dicabut," kata Surya.
Akhirnya, pada Juni 1987, gara-gara pemberitaannya dinilai kelewat kritis, Prioritas pun menjadi sejarah. Harmoko tanpa ampun mencabut SIUPP koran yang baru berumur setahun itu.
Saking kesalnya, Surya sontak mengirimkan sepucuk surat pribadi ke Harmoko. Dikisahkan Surya kembali sambil terbahak, kira-kira begini bunyinya, "Bung, Anda sudah memiliki banyak media, saya baru punya satu, yang SIUPP-nya baru dikabulkan hampir 10 tahun tapi kini kaucabut. Apa mau Bung kalau kita berhadapan saja, karena kita sama-sama laki-laki?" Surat itu dikirim berikut sebuah lampiran: hasil riset Surya dan Panda Nababan tentang kepemilikan Harmoko dan keluarganya di sekitar 17 media, yang sebagian besar di antaranya muncul dari hasil sulap-menyulap SIUPP.
Toh, Harmoko tak sekuku pun merasa bersalah. Menyangkal semua tuduhan itu habis-habisan, ia mengaku menerima dividen setiap tahun dari sejumlah sahamnya di berbagai media itu, tanpa sesen pun diembel-embeli uang haram dari hasil memperdagangkan SIUPP. "Itu fitnah," katanya, "Anda kan tahu bagaimana sejarah perjuangan saya di dunia pers."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo