Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pengusaha memarkir mobilnya di kompleks Manggala Wanabhakti, Jakarta. Gedung Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) setinggi 15 lantai menjulang di hadapannya. Dari halaman parkir, ia melangkah menuju lobi kantor Dephutbun, lalu memencet tombol lift yang membawanya ke lantai empat. Keluar dari lift, ia menuju ruang tunggu kantor Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nurmahmudi Ismail.
Ini cuma kunjungan biasa. Belum tentu ia bisa menemui sang Menteri. Toh, saudagar kayu ternama itu tiba-tiba merasa ada yang istimewa. Ia ”kehilangan” suasana khas di salah satu departemen terkaya di Indonesia itu: para satpam yang ”menyerbu” pintu mobil, lalu mengawal ke lift khusus menteri, menemaninya di dalam lift, mengantarnya ke ruang tunggu, dan ”memasrahkan”-nya kepada para sekretaris, sebagai garda depan kantor menteri.
Pemandangan lain yang hilang adalah para bawahan yang mengiringi direktur jenderal (dirjen) yang seperti raja-raja kecil. ”Dirjen Hak Pengusahaan Hutan, misalnya, kekuasaannya seperti raja,” ujarnya kepada TEMPO. Menurut dia, para dirjen ini bahkan bisa lebih berkuasa daripada bos departemen itu. Mengapa? Menteri datang dan pergi setiap kabinet berganti, tapi para dirjen bisa tetap bertakhta dan menjadi jembatan emas yang harus dilewati setiap pengusaha yang berniat menggaruk kekayaan hutan.
Pengusaha itu pun melanjutkan kisahnya. ”Kalau dulu, kami bawa duit untuk satpam sampai menteri. Sekarang, duitnya cukup sampai eselon satu saja,” ujar pengusaha yang sudah pensiun dari binis perkayuan itu.
Benar demikian? Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi, Soegeng Widodo, menolak mentah-mentah. ”Omong kosong. Bagaimana mungkin pengusaha itu memberi uang kalau sampai sekarang Pak Nurmahmudi belum pernah meneken surat keputusan hak pengelolaan hutan?” Soegeng balik bertanya.
Pertanyaan Soegeng itu secara tak langsung mencerminkan satu hal: surat keputusan hak pengusahaan hutan (HPH) bisa dibarter dengan uang. Ini rahasia umum yang sudah menjadi kisah pengiring minum teh. Aib berpuluh tahun itulah yang hendak dikikis Nurmahmudi. Ikhtiar sang Menteri tak urung membuat para baron kayu seakan terpanggang bara dan bergegas mengirim ”utusan” ke lantai empat Dephutbun. Tak hanya itu, para mantan pejabat departemen itu yang mahir melakukan kolusi dan korupsi pun dibuat susah tidur karenanya.
Ikhtiar sang Menteri rupanya sempat mendatangkan silang selisih dengan karyawannya sendiri. Akibatnya, ada-ada saja soal yang harus dihadapi Pak Menteri. Air keran di kamar mandinya tiba-tiba mati. Rekening telepon genggamnya diisukan dibayar dengan dana reboisasi. Bahkan, sang Menteri harus mengisi sendiri bon penggantian uang bensin dan oli untuk mobilnya—semua tetek-bengek yang biasanya ditangani oleh bagian rumah tangga. ”Ini terjadi saat saya baru mulai berkantor di sini,” ujar Nurmahmudi.
Sumber TEMPO di Dephutbun membisikkan, aksi semacam itu memang disengaja untuk ”memberi pelajaran” kepada Pak Menteri, yang menerapkan sejumlah kebijakan baru—dari memangkas eselon sampai memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Nurmahmudi bahkan didemo karyawannya tatkala mengangkat Soeripto menjadi Sekretaris Jenderal Dephutbun. ”Pihak keamanan sengaja membiarkan mereka masuk ke ruang kerja saya,” kata Nurmahmudi.
Di masa-masa awal, Nurmahmudi memang merasakan resistansi yang kuat di kalangan karyawan Dephutbun. Sang Menteri memperkirakan ”perlawanan” itu timbul karena ia gencar memberantas KKN yang berimbas ke banyak orang. Karena itulah, selama ia menjalankan aksi bersih-bersih, ada bukti-bukti penting yang tiba-tiba raib.
Sekarang, resistansinya mungkin tak terlihat di permukaan. Namun, suasana di departemen yang memungkinkan karyawannya ”berpesta-pora” itu kini lebih sering diwarnai ketegangan dan ”ketakutan”. Soeripto punya cerita tentang hal itu ketika ia mengiringi Menteri ke pertemuan Dharma Wanita Dephutbun. Suasana penuh tawa mendadak senyap tatkala keduanya muncul ke dalam ruangan.
Apakah ini berarti langkah pembersihan Pak Menteri sudah membuahkan hasil? Tunggu dulu. Beberapa pengusaha menilai suasana KKN sebetulnya belum bergeser dibandingkan dengan rezim di Orde Baru. Gerakan KKN diyakini tetap ada, tapi dalam bentuk yang lebih ”hati-hati”. Bukan apa-apa. Godaan di ”departemen basah” ini memang kelewat besar. ”KKN di Dephutbun ibaratnya membuat malaikat pun bisa menjadi setan,” ujar Jusuf Hamka, mantan bos PT Dayak Besar, yang pernah lama menekuni bisnis HPH.
Toh, di tengah berbagai ketegangan, ada suasana baru yang sedikit menyejukkan. Dari para satpam di pintu depan hingga pegawai di tingkat 15, kini semuanya fasih mengucapkan assalamalaikum. Salam Islami itu lebih kerap terdengar sejak bekas Ketua Partai Keadilan itu berkantor di sana. Alangkah indahnya bila dengan salam yang sama setiap orang dapat menjejakkan kaki di pintu Dephutbun tanpa perlu lagi dengan embel-embel ”salam tempel”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo