LAMPU masih menyala di ruang rapat Jaksa Agung pada pukul 23.00 WIB, Rabu, dua pekan lalu. Sekitar 20 orang hadir dalam ruang berukuran 5 x 10 meter persegi itu. Wajah mereka memancarkan ekspresi lelah dan tegang. Rapat antara tim investigasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) dan tim Kejaksaan Agung yang dipimpin Jaksa Agung Marzuki Darusman itu berlangsung alot selama enam jam lebih. Inti pertemuan adalah ekspose tim Kejaksaan Agung mengenai bukti-bukti kasus Gatari Hutama Air Service yang akan menyeret Tommy Soeharto sebagai terduga dalam kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di Dephutbun. Rapat maraton itu berakhir dengan sebuah antiklimaks. Jaksa Agung memutuskan, penahanan Tommy ditangguhkan temponya karena temuan Dephutbun belum kuat untuk mengunci putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini di balik jeruji. Toh, ada sedikit "bonus" pelipur lara. Kabul Riswanto (bekas Direktur Gatari) dan Sudjono Suryo (bekas Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan) ditetapkan sebagai tersangka. Dua hari setelah rapat, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ramelan mengeluarkan surat perintah penyidikan terhadap kedua orang itu. "Penahanan Kabul dan Sudjono akan menjadi jembatan menuju Tommy," ujar Soeripto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dephutbun. Itu dengan satu catatan: jika keduanya bersedia menyanyikan dosa-dosa Tommy dalam pemeriksaan—sebuah harapan yang masih terlalu pagi. Ketika ditemui TEMPO, sepekan sebelum laporan ini ditulis, Kabul membantah peran Soeharto, Tommy, dan Bob Hasan dalam mengegolkan kontrak Gatari dengan Dephutbun. Kerja sama itu, menurut Kabul, justru berawal dari surat Menteri Djamaluddin Surjohadikusumo pada Mei 1989 yang meminta Gatari menjadi operator heli milik Departemen Kehutanan. Keterlibatan Tommy Soeharto dalam KKN Dephutbun bukanlah kasus dengan jumlah kerugian yang menggegerkan: "hanya" Rp 23,3 miliar. Namun, yang patut dicatat barangkali ini: untuk pertama kalinya sebuah departemen menjadi pionir dalam upaya "bersih-bersih rumah". Dan jika Tommy akhirnya ditahan dalam kasus ini, untuk pertama kalinya pula Kejaksaan Agung berani menyentuh "daerah terlarang" sejak lahirnya Orde Baru: keluarga Soeharto. Namun, jalan masih jauh untuk menggiring Tommy ke pengadilan. Jangankan anak (mantan) presiden. Kroni istana saja masih sulit disentuh dalam urusan korupsi hutan. Para baron hutan yang namanya dicatat dalam daftar calon tersangka Dephutbun masih tenang-tenang menjalankan bisnisnya. Prajogo Pangestu, Probosutedjo, Ibrahim Risjad, Hashim Djojohadikusumo, sampai Grup Salim (lihat: Mereka dalam Bidikan Dephutbun) sejauh ini masih belum diusik. Juga mantan pejabat yang meneken semua izin usaha mereka: Hasjrul Harahap dan Djamaluddin Surjohadikusumo. Kok, bisa? Terang saja! Mendapatkan bukti untuk menghalau orang-orang besar ini ke ruang periksa Kejaksaan Agung bukanlah perkara enteng. Tengok saja perjanjian Gatari yang sudah jelas-jelas merugikan negara: Dephutbun harus menyewa helinya sendiri. Tommy tetap saja tidak bisa diciduk karena ternyata ia tidak menempati kursi direktur utama. Begitu pula Prajogo, yang dituding Soeripto merentekan dana reboisasi sebelum memanfaatkannya. Dan ini bukan satu-satunya halangan dalam melacak jejak korupsi di Dephutbun. Usaha Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) Nurmahmudi Ismail dan Sekjen Soeripto tidak disambut hangat "di dalam rumah" sendiri. Nurmahmudi mengaku mengalami resistansi dari karyawannya. Sedangkan Soeripto sudah didemo sejak awal ia menjejakkan kaki di gerbang departemen itu (lihat: Imbas Sebuah Ikhtiar). Usaha membersihkan Dephutbun sebetulnya sudah dimulai sejak Desember 1999. Ketika itu, Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan Soentoro melaporkan kepada Muslimin Nasution (Menhutbun Mei 1998-Oktober 1999) bahwa sebuah tim penanggulangan KKN telah dibentuk sebagai tanggapan terhadap laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) sebulan sebelumnya. Dalam laporan itu, ICW mencatat daftar dugaan KKN Soeharto dan kroninya. Muslimin lantas membentuk sebuah tim yang mengeluarkan buku putih. Isinya adalah daftar dugaan KKN di Dephutbun periode 1985-1999. Usaha ini sepertinya cuma sekadar memenuhi proforma. Isi buku putih itu tak pernah dipublikasikan. Muslimin sendiri, ketika masih menjabat, berkesan amat pelit informasi saban ditanya wartawan tentang isi buku tersebut. "Soalnya, banyak betul kelemahan di dalamnya. Hasil investigasi dalam buku putih itu tidak kuat sama sekali. Dan dari segi legal formal, para pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) itu bekerja sesuai dengan peraturan yang ada," kata Muslimin kepada TEMPO. Anehnya, kendati Muslimin mengidentifikasi Bob Hasan sebagai salah satu kroni Soeharto yang ber-KKN di Dephutbun dalam buku itu, ia tetap saja membayar termin terakhir proyek Mapindo sejumlah US$ 17,4 juta. Padahal, proyek ini terbukti bermasalah dan akhirnya menyeret Bob ke bilik tahanan. Alasan Muslimin, "Bagaimana cara saya menahan (turunnya dana itu) kalau berdasarkan kapabilitas saya (sebagai menteri) saat itu saya menilai Bob tidak bersalah?" Harus diakui, pangkal korupsi di Dephutbun tak bisa dialamatkan semata kepada para pengusaha hutan. Peraturan tentang hak mengusahakan hutan yang bolong-bolong membuat usaha kehutanan menjadi jalan pintas penuh godaan. Mengapa? Syaratnya mudah: cukup mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan serta Sekjen Pengelolaan Hutan Produksi. Setelah itu, monggo! Seberapa kuat Anda menebang, itulah lahan yang boleh diusahakan. Maka, orang-orang yang berduit dan berkoneksi dengan pejabat Dephutbun dengan mudah menetak batang-batang pohon ramin, meranti, dan kayu besi seluas berjuta-juta hektare yang sudah disediakan alam. Alih-alih menanam kembali, si pengusaha justru dengan gesit pindah lokasi dan mulai menebang lagi. Padahal, setelah menebang, sang tauke hutan ini harusnya menanam kembali lahan yang gundul. Tapi kewajiban ini pun bisa diakali dengan licik: tanam saja bagian pinggirnya, sedangkan bagian tengah dibiarkan botak alias gundul. Maka, harap maklum bila izin HPH adalah jembatan emas yang bisa diperjualbelikan hingga miliaran rupiah—secara tidak resmi, tentu saja. Di sinilah segala kolusi, korupsi, dan nepotisme mulai bersemai dengan subur. Sebab, penguasa Dephutbun bukan orang-orang bodoh. Mereka tahu betul berapa yang akan dipanen si pengusaha di area hutan tertentu dan berapa angpau yang "layak setor" ke Dephutbun (lihat: Dari Teknik Poni sampai Sekilo Emas). Seorang pengusaha HPH di Kalimantan mencontohkan, begitu kentalnya aura kolusi, sehingga di zaman Djamaluddin Surjohadikusumo (Menteri Kehutanan 1993-1998), sang Menteri hanyalah "bayangan" Bob Hasan, yang notabene seorang pengusaha. Ia menuturkan, Djamaluddin juga giat menjadikan Perum Perhutani dan Inhutani—tadinya badan usaha milik negara (BUMN) di bawah Dephutbun—sebagai sapi perahan di masa itu. Kedua BUMN itu harus menyumbang dana taktis, dana bepergian, dan dana sang Menteri bila harus ribut dengan pengusaha di pengadilan. "Dari mana ia punya uang kalau untuk membayar pengacara satu perkara saja Djamaluddin menghabiskan Rp 1 miliar?" tanya sang pengusaha. Ketika dikonfirmasi, mantan menteri ini menolak semua tudingan KKN. "Tidak benar. Dan jangan memfitnah," tulisnya singkat menjawab pertanyaan TEMPO melalui faksimile. Celah korupsi lain adalah kontrol pelaksanaan HPH yang amat lemah. Para pengusaha seenaknya melanggar batas penebangan dan menguras isi hutan yang bukan menjadi haknya. Surat izin usaha juga menjadi tiket pengusaha untuk membodohi penduduk di lokasi hutan. Mereka tahu penduduk setempat—di pedalaman Kalimantan atau Irian, misalnya—pasti tidak memiliki persil, yang sampai kini menjadi satu-satunya justifikasi kepemilikan tanah. Maka, dengan dalih "menggarap tanah negara", seorang juragan kayu dengan enteng bisa melambai-lambaikan surat izin di tangannya sembari mengusir anak negeri setempat keluar dari hutan tempat tinggalnya. Kasus yang paling gres adalah tatkala penduduk di Palembang menduduki Hutan Tanaman Industri (HTI) Musi Hutan Persada milik Prajogo, Tutut, dan Inhutani, akhir April lalu. Alasan penduduk, Prajogo dkk. mencaplok tanah itu secara tidak sah. Pola-pola pemberian HPH yang merugikan ini tumbuh bersama sejarah bisnis hutan yang berawal pada awal 1970-an, tatkala konsesi HPH mulai dibuka. Dari perorangan—awalnya diberikan kepada sejumlah jenderal Angkatan Darat—konsesi ini kemudian beralih ke tangan para pengusaha. Tercatat beberapa raja HPH: Hunawan Susanto lewat Grup Kayu Lapis Indonesia (3,5 juta hektare), Grup Djajanti milik Burhan Uray (3 juta hektare), Barito Pacific Timber punya Prajogo (2,7 juta hektare), serta Bob Hasan dengan Grup Kalimanis. Bisnis yang menggiurkan ini kemudian mendorong lahirnya patgulipat dan berbagai jurus tipu yang merugikan negara, dari jual-beli tak resmi konsesi HPH, pencurian kayu, sampai penebangan liar. Ini di luar rusaknya hutan—karena pengusaha gemar berkelit dari kewajiban menanam kembali hutan yang sudah digunduli (lihat: Sembilan Pintu Masuk Pelanggaran). "Pengusaha HPH paling banyak melakukan pelanggaran `cuci mangkuk' alias menebang tanpa sisa," kata Muslimin. Alhasil, HPH tumbuh menjadi salah satu usaha kehutanan yang amat merugikan negara. Soalnya, sistem penguasaan lahan dalam HPH ini tak ada batasnya: sepanjang seseorang mampu melakukan, seluas itu pula konsesi dapat diberikan. Sampai kini, izin yang sudah dikeluarkan untuk HPH di 19 provinsi meliputi 51 juta hektare—mengalirkan kerugian dalam ukuran mega pula. Bayangkan, kerusakan lingkungan seperti apa yang harus dihadapi anak-cucu bangsa ini bila jutaan hektare hutan itu tak pernah ditanami kembali? Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Hariadi Kartodihardjo memperkirakan produksi riil HPH telah melebihi daya dukung hutan produksi. Menurut perkiraan dosen Fakultas Kehutanan IPB itu, kerugian selama periode 1977-1998 berdasarkan jumlah log kayu yang tidak dilaporkan Dephutbun mencapai sekitar US$ 43 miliar (Rp 322,5 triliun pada kurs Rp 7.500). Dan ini belum semuanya—bila kerugian akibat kehilangan pendapatan dari provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) juga dihitung. Ironisnya, selama puluhan tahun, belum pernah ada seorang pun pengusaha HPH atau pejabat Dephutbun yang dibui atau ditahan—sampai Kejaksaan Agung meringkus Bob Hasan, akhir Maret silam. Dengan lain kata, selama 32 tahun pemerintah tutup mata terhadap semua praktek ini. Baru di akhir masa jabatannya Muslimin Nasution mengegolkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Kehutanan, yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengawasi bisnis hutan. Undang-undang itu memakai prinsip pembuktian terbalik: para pemilik HPH harus sekuat tenaga membuktikan diri tidak bersalah jika ada tuduhan dari pihak lain, sedangkan yang menuduh cukup melemparkan persoalan. Sayang, selang sebulan kemudian, Muslimin mencoretkan angka merah pada rapornya sendiri: ia memperpanjang izin 51 HPH dari 35 tahun ke 55 tahun. Dalam jaringan KKN yang sudah berakar sekian lama, investigasi KKN Dephutbun yang dilakukan Soeripto bagaikan menerabas jaringan rapat yang penuh rahasia tak sedap. Kesulitannya bukan hanya dalam menemukan bukti. Dalam kasus Tommy, misalnya, Soeripto amat yakin mampu menyeret anak kesayangan presiden itu ke tahanan, tapi pertemuan 3 Mei antara Dephutbun dan Kejaksaan Agung memberikan hasil lain. "Ada beberapa bukti yang kita kembalikan ke Dephutbun untuk dilengkapi," kata Jaksa Agung Marzuki Darusman. Kesulitan lain datang dari kinerja Kejaksaan Agung—lembaga yang cenderung menjadi ajang proyek yang terkotak-kotak. Menurut Marzuki, dulu, Jaksa Agung Muda Intel dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus mengapling proyeknya masing-masing. Lalu, ada pensiunan jaksa menjadi pengacara para konglomerat kroni Soeharto yang sedang diproses di Kejaksaan Agung. Celakanya, para veteran ini mahir menghafal peta "orang dalam" yang mudah diajak main mata. Maka, proses hukum hanya berjalan secepat ular yang melata. Kabul Riswanto, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam rapat 3 Mei lalu, misalnya, masih leluasa nongkrong di kafe sampai laporan ini ditulis. Dan Sudjono Suryo tenang-tenang saja melewatkan waktu di rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Upaya menguak korupsi Departemen Kehutanan dan Perkebunan tampaknya masih akan penuh oleh rupa-rupa rintangan—ibarat berjalan dalam sebuah labirin remang-remang. Sementara itu, argo kerugian terus berdetak. Dan baron-baron hutan tetap giat menebang kayu tanpa harus merasa takut kepada apa pun. Juga tidak kepada hukum.
Kerugian Selama Pengoperasian HPH (1977-1998):
Akibat penebangan yang tidak dilaporkan Dephutbun:
- Kerugian material: 12,8 juta m3/tahun (US$ 1,7 miliar atau Rp 12,7 triliun pada kurs Rp 7.500)
- Provisi sumber daya hutan (PSDH): Rp 500 miliar/tahun
- Dana reboisasi (DR): Rp 651 miliar/tahun
Dari pos penebangan liar:
- PSDH dan DR: Rp 546,3 miliar/tahun
- Kerugian material: 10,3 juta m3/tahun (US$ 0,9 miliar atau Rp 6,7 triliun pada kurs Rp 7.500)
Kerusakan lingkungan:
Di hutan produksi saja terjadi kerusakan 1,85 juta ha/tahun.
Sumber: Hariadi Kartodihardjo, 1999