Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalan Berliku Memburu Syekh Panji

Melalui Operasi Kresna tiga tahun lalu, Markas Besar Kepolisian RI menelisik jaringan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9. Panji Gumilang, imam gerakan itu, jadi target utama. Semua bukti sudah terkumpul, tapi operasi mentok di level petinggi. Diduga kuat, polisi terhalang kepentingan politik dan aksi intelijen.

Sepanjang sejarahnya, gerakan radikal NII selalu dalam lingkaran permainan komunitas telik sandi. Panji Gumilang digalang untuk merontokkan jaringan lama yang masih setia kepada Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, imam NII yang pertama.

Melalui Pesantren Al-Zaytun, Panji memainkan jurus lain: mengembangkan pusat pendidikan, seraya mengembangkan sayap organisasi. Ia merekrut anggota dan mencari dana dengan cara yang dikeluhkan banyak orang: pemaksaan. Di hadapan banyak politikus, ia menjanjikan suara setiap menjelang pemilihan umum. Pesona Panji memang sulit tertandingi.

Inilah kisah tentang lelaki dengan aneka wajah: pemimpin pesantren yang disegani, imam gerakan yang jadi incaran polisi, juga pebisnis yang dekat dengan komunitas telik sandi.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKTIVITAS penghuni baru di rumah yang sepuluh tahun tak ditempati itu tidak banyak menarik perhatian. Hanya dari sela-sela pagar depan, di pekarangan rumah itu, mereka pernah terlihat melakukan latihan pernapasan. Kelimanya—belakangan diketahui anggota Negara Islam Indonesia—kerap bepergian menggunakan sepeda. Selebihnya tak banyak diketahui warga. ”Mereka belum sempat bersosialisasi,” kata Muhyadi, yang dipercaya sang pemilik buat menjaga rumah.

Tapi baru dua hari rumah kontrakan itu ditempati, tim gabungan Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan reserse Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menyerbu ke sana. Senin pagi itu, polisi menggerebek rumah yang letaknya di Jalan Nusa Indah 3, Kelurahan Genuk, Ungaran Barat, Semarang.

Enam orang ditangkap dalam operasi pada akhir Mei lalu. Salah satunya Totok Dwi Harjanto alias Mizam Sidik, warga Banyumanik, Semarang, yang diduga Gubernur Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 2 Jawa Tengah. Sisanya adalah Nur Basuki (Kepala Bagian Komunikasi), Supandi (Kepala Bagian Pers), Mujono Agus Salim (bendahara), Sulamin (Kepala Bagian Logistik), dan Mardiyanto (anggota Logistik).

Dari pagi hingga malam, polisi menyisir setiap jengkal rumah 145 meter persegi yang disewa Rp 26 juta per tahun itu. Sejumlah dokumen disita. Di antaranya struktur organisasi Negara Islam Indonesia dan buku tabungan berisi Rp 350 juta. ”Polisi menemukan aliran dana yang mencurigakan,” kata Boy Rafli Amar, Kepala Penerangan Umum Mabes Polri.

Aliran dana itu berasal dari Mizan Sidik ke pemimpin Pesantren Al-Zay­tun, Syekh Abdus Salam Panji Gu­milang. Menurut bekas Menteri Percepatan Produksi Pangan NII Imam Supriyanto, tanda terima penyerahan uang dari Mizan kepada Panji ditandatangani Menteri Keuangan NII Iskandar Saefullah.

Malam itu juga, Mizam dan lima rekannya digelandang ke tahanan Polda Jawa Tengah. Status mereka besoknya menjadi tersangka atas tuduhan makar. Empat hari kemudian polisi meringkus dua anggota jejaring lainnya. Tiga anggota lain diciduk dua pekan kemudian. Senin pekan lalu, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Edward Aritonang dipanggil Mabes Polri guna membahas aliran dana tadi.

Penangkapan di Semarang ini dipicu oleh gonjang-ganjing isu Negara Islam Indonesia. Sejak awal April, NII menjadi kepala berita banyak media. Bermula dari hilangnya Lian Febriani, pegawai Kementerian Perhubungan, yang kemudian ditemukan di Masjid At-Taaun, Cisarua, Jawa Barat, lalu kasus lain bermunculan.

Di Jawa Timur, delapan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang mengaku menjadi korban penipuan NII. Ada pula seorang ayah melapor ke Markas Kepolisian Resor Bogor karena ketiga putrinya hilang sejak direkrut oleh gerakan ini tiga tahun lalu. Hasil penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah mengungkapkan banyak mahasiswa UIN direkrut menjadi anggota Negara Islam ketika Panji Gumilang menjadi ketua ikatan alumni di kampus itu selama dua periode.

Dari pesantren seluas 1.200 hektare di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, Panji diyakini mengendalikan gerakan Negara Islam Indonesia. Indikasi itu sudah dideteksi polisi sejak tiga tahun lalu. Ditemui di Solo dua pekan lalu, Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengakui penangkapan di Ungaran kelanjutan dari operasi di Jawa Barat pada 2008.

Ketika itu polisi menggelar Operasi Kresna VII. Hasilnya, 17 orang divonis di Pengadilan Negeri Bandung pada Desember 2008. Sebelum vonis dijatuhkan, Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri membuat laporan khusus setebal 56 halaman pada 24 Mei 2008. Disusun oleh Kepala Unit Satgas Operasi Kresna Ajun Komisaris Besar Imam Prakuso, dokumen yang diperoleh Tempo ini dengan gamblang menyatakan Panji Gumilang alias Syamsul Alam alias Abu Ma’ariq alias Abdus Salam adalah Imam Negara Islam Indonesia. Dalam satu pertemuan di Markas Besar Polri, Kapolri Jenderal Sutanto meminta Panji Gumilang ditindak.

Namun, hingga Sutanto menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, Panji tidak pernah tersentuh.

l l l

KOMISARIS Besar Sunaryo punya misi penting. Pada November 2007, Kepala Detasemen D Intelijen Keamanan Mabes Polri ini ditunjuk oleh Inspektur Jenderal Saleh Saaf menjadi Komandan Satuan Tugas Operasi Kresna.

Operasi dirancang setelah Saleh, ketika itu Kepala Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri, mendapat instruksi dari Kapolri Jenderal Sutanto guna menyelidiki laporan mahasiswa di Jakarta dan daerah lain yang hilang atau tidak pulang.

Ditemui pada Jumat tiga pekan lalu, Sunaryo—kini pensiun dan menetap di Malang, Jawa Timur—masih ingat betul bagaimana operasi itu dirancang. Ia membagi tim dalam tiga unit. Unit I melakukan penelusuran NII KW 9 (Jakarta, Tangerang, Banten, Bekasi). Unit II bergerak di NII KW 7 (Jawa Barat Selatan). Adapun Unit III melakukan penyelidikan untuk daerah lain di Indonesia.

Daftar orang hilang disusun. Orang tua yang anaknya tak pulang didatangi satu per satu. Setelah diusut, mahasiswa yang ”hilang” itu direkrut oleh NII. Itu sebabnya, ”Kami menyusup ke NII,” kata Sunaryo.

Hasilnya, tim menemukan sederet bukti. Di antaranya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penetapan Wilayah NII dan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Syamsul Alam.

Tim juga memperoleh struktur pemerintahan serta nama pejabat dan menteri yang duduk di kabinet. Nama Gubernur NII di Jakarta, Jawa Barat Utara, Jawa Barat Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dapat diidentifikasi.

Pada awal 2008, temuan itu dipaparkan di depan Jenderal Sutanto. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Wakil Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Gories Mere, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Adang Firman, serta Inspektur Jenderal Saleh Saaf hadir dalam pertemuan yang berlangsung di ruang pertemuan utama Mabes Polri itu.

Tim Operasi Kresna menyimpulkan, NII tidak sekadar menipu jemaah, tapi berbuat makar. ”Sutanto menyatakan gerakan yang dikendalikan Panji berbahaya dan harus ditindak,” kata sumber yang ikut dalam pertemuan itu.

Dua hari kemudian, Mabes Polri membentuk tim gabungan, yang terdiri atas tim reserse dan tim Satgas Operasi Kresna. Hotel Green Garden di Kemang, Jakarta Selatan, dipilih sebagai markas sehari-hari. Tiap tim menempati dua kamar. Para saksi—mahasiswa dan orang tua korban—kembali didatangkan. Semua aktivitas di Jakarta dan Bandung serta identitas gubernur dipelajari. Seluruh dokumen dipelototi ulang. Targetnya: operasi berlangsung serentak di dua kota itu. Penangkapan direncanakan pada saat baiat berlangsung sehingga ada saksi dan alat bukti.

Singkat kata, pada 20 April 2008, Ahad pukul 10 pagi, polisi merangsek ke beberapa titik. Di antaranya di Gegerkalong, Cibiru, Cijeurah, dan Cimahi. Dari operasi itu, polisi mengangkut timbunan dokumen ke dalam mobil pick-up. Lebih dari 50 orang ditangkap—tapi cuma 17 yang menjadi tersangka dan dibawa ke pengadilan. Selebihnya menjadi saksi karena mereka adalah peserta yang dibaiat.

Sayangnya, operasi di Bandung itu tidak diikuti penyergapan di Jakarta. Padahal identitas gubernur dan tempat baiat sudah di tangan polisi. Akibatnya, ketika operasi itu bocor di media, jejaring di Jakarta tiarap dan tercerai-berai. ”Gagalnya operasi di Jakarta seperti disengaja dari awal,” kata sumber yang terlibat dalam operasi itu. Padahal 80 persen kekuatan Negara Islam ada di Jakarta.

Polisi menepis sinyalemen itu. Tidak sinkronnya operasi di dua kota terjadi karena beda penafsiran antara tim reserse dan tim Satgas Operasi Kresna. Setelah dua bulan bekerja di Hotel Green Garden, tim reserse Mabes Polri menyimpulkan tidak ada unsur pidana makar. ”Itu sebabnya tim reserse Mabes Polri tidak pernah bergerak,” kata Sunaryo. Mereka ragu data dari tim satgas bisa menjadi alat bukti untuk menjerat Panji. Tim satgas intelijen berpikir sebaliknya.

Karena reserse tidak bergerak, Saleh memerintahkan Sunaryo berkoordinasi dengan reserse kepolisian daerah lain. Dipilihlah Polda Jawa Barat. ”Karena saya memiliki bukti kegiatan NII Jawa Barat selatan,” kata Sunaryo.

Ia lalu menemui Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Susno Duadji. Kebetulan ia pernah menjadi anak buah Susno ketika berdinas di Solo. Dibantu oleh Satgas Operasi Kresna, Susno setuju reserse Polda Jawa Barat bergerak.

Hasil operasi lalu dipaparkan Susno di depan Jenderal Sutanto. Atas perintah Saleh, Sunaryo menyiapkan bahan paparan buat disampaikan ke Presiden. ”Apakah bahan paparan itu sampai ke Presiden, saya tidak tahu,” katanya. Yang jelas, sejak itu operasi senyap dan berhenti di tengah jalan. Rencana menelisik keterlibatan Panji tenggelam oleh hiruk-pikuk menyambut Pemilihan Umum 2009.

Padahal, saat di persidangan, 17 terdakwa mengaku bahwa imam mereka adalah Panji Gumilang. Tatkala disodori foto Panji, mereka menyatakan orang yang di foto itu adalah Syamsul Alam. Keterkaitan Panji dalam Negara Islam dipertegas dalam laporan khusus yang disusun Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri. Sutanto memerintahkan laporan itu ditindaklanjuti.

Namun, kata Susno, peluru untuk membidik Panji belum cukup. ”Laporan intelijen digunakan sebagai dasar penyelidikan, bukan untuk penindakan,” katanya pada Selasa pekan lalu. Situasi itu diperburuk oleh lemahnya persidangan yang menghadirkan saksi yang bisa mengaitkan hubungan terdakwa dengan Panji. ”Ketika itu banyak yang tidak berani bicara,” kata Sutanto. Dari tuntutan 5 tahun penjara, para terdakwa dijatuhi vonis 2-3 tahun.

Vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bandung kepada para terdakwa kasus Negara Islam menutup buku kisah polisi memburu Panji Gumilang. ”Setelah itu beku. Tidak ada operasi lanjutan,” kata Sunaryo.

l l l

MENGAPA Panji Gumilang tak tersentuh? Tak ada jawaban tunggal. Dalam hal kegagalan Operasi Kresna 2008, Panji bisa bebas karena problem teknis—konflik di dalam tubuh polisi. Tapi ada dugaan konflik itu merupakan bagian dari skenario meloloskan Panji, karena pemerintah tak bergairah menindaklanjuti temuan polisi—meski bukti disebut-sebut sudah dipresentasikan ke Presiden. Di mata pemerintah, Panji dibutuhkan untuk meraup suara dalam Pemilu 2009.

Sudah jadi rahasia umum, Panji adalah pesona bagi partai dan kandidat presiden menjelang pemilihan raya. Pada pemilu legislatif 2004, misalnya, Partai Karya Peduli Bangsa pimpinan R. Hartono dan Siti Hardijanti alias Tutut menang mutlak di sana. Dalam pemilu presiden, pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraup suara mayoritas di pesantren itu. Begitu pula dengan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam pemilihan presiden lima tahun berikutnya. ”Kami diberi sinyal buat mencob­los pasangan tertentu,” bekas petinggi Negara Islam mengaku. Modusnya, semua aparat dan warga Negara Islam di Jawa—berikut sanak keluarga—diwajibkan mencoblos di Al-Zaytun. Motifnya semata-semata urusan fulus. ”Agar Panji mendapat dana dari kelompok politik,” kata sumber itu.

Tak cuma massa Al-Zaytun. Ditemui akhir Mei lalu, Ahmad Nurdin, juru bicara bekas pimpinan wilayah NII Jawa Barat Selatan, mengakui bahwa simpul-simpul pengajian di Komandemen Wilayah 7 bisa dimanfaatkan buat kepentingan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. ”Kami biasa menerima pesanan dari partai politik,” katanya.

Merunut akar sejarah, dipeliharanya NII sepeninggal Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tak lepas dari gerakan politik. ”Sudah jelas dulunya buat Golkar,” kata As’ad Said Ali, bekas Wakil Kepala Badan Intelijen Negara. Semula mereka digunakan buat menumpas Partai Komunis Indonesia. Setelah itu massa Darul Islam ”dijinakkan” agar bergabung ke dalam Sekretariat Bersama Golkar menjelang Pemilu 1971.

Beberapa tokoh, semisal Danu Mohammad Hasan dan Adah Djaelani, didekati dan dibina Badan Koordinasi Intelijen Negara. Pitut Soeharto, Direktur Operasi Khusus di era Ali Moertopo, menjadi arsitek penggalangan ini. Kompensasinya, kata As’ad, mereka diberi jatah minyak tanah dari Perta­mina.

Penggalangan tadi berlanjut hingga pemilihan umum di tahun-tahun berikutnya. ”Saat itu ada kepentingan buat menggiring suara umat Islam supaya tidak lari ke Partai Persatuan Pembangunan,” kata Andi Widjajanto, pengamat militer dan intelijen. Sebab, di partai ini bercokol fusi yang sangat besar: massa Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Masyumi, dan Parmusi.

Setelah Soeharto tumbang, jejaring Al-Zaytun terus dimanfaatkan untuk meraup pemilih. Ukurannya bukan berapa besar massa di Al-Zaytun bisa mendongkrak suara. ”Tapi bagaimana partai penguasa memiliki akses ke komunitas pesantren yang tidak dikendalikan oleh Nahdlatul Ulama,” kata Andi (lihat ”Madu Politik Al-Zaytun”).

Selain soal suara pemilih, Andi Wi­dja­janto melempar tudingan lain tentang Panji Gumilang yang tak tersentuh aparat: perlindungan komunitas telik sandi. ”Tidak mungkin ia menjadi besar tanpa bantuan intelijen,” katanya.

Bekas Kepala Penerangan Kodam Siliwangi Kolonel (Purnawirawan) Herman Ibrahim membenarkan. ”Sepulang dari Sabah, Panji diberi pekerjaan menggarap Komandemen Wilayah 9, supaya negara tidak perlu repot memerangi NII,” katanya.

Panji Gumilang kembali dari Sabah setelah hubungan antara Presiden Soeharto dan umat Islam lebih mesra pada akhir dekade 1980. ”Pada masa itu, sebagai Kepala Staf NII, Panji merekrut anggota baru sebanyak mungkin,” kata Imam Supriyanto mengenang awal-awal pertemuannya dengan Panji. Sejak itu posisi Panji di NII kian mantap. Puncaknya, ia terpilih menggantikan Adah Djaelani sebagai imam pada 1996 (lihat ”Jejak Berkabut Sang Imam”).

Menurut Herman, ada gelagat saat ini Panji dilindungi agen-agen intelijen nonstruktural. ”Ada orang-orang intelijen lama yang bermain,” katanya. ”Mereka yang selama ini diuntungkan oleh jejaring Negara Islam.” Network ini sudah bercokol sejak era Ali Moertopo, Benny Moerdani, hingga Hendro­priyono.

Jaringan inilah yang hendak dimanfaatkan Sutanto. Menurut Andi, Kepala BIN itu ingin membereskan sengkarut agen nonstruktural tadi. ”Dengan menguasai jaringan itu, Sutanto bisa mendapatkan informan yang sudah lama ditanam di lapangan,” ujar Andi. Tapi jaringan itu menolak dikendalikan oleh struktur baru di bawah kontrol Sutanto.

Tak ingin menyerah, dalam beberapa bulan terakhir, Sutanto aktif mengundang sejumlah bekas agen telik sandi ke Kalibata—markas Badan Intelijen Negara. Salah satunya Pitut Soeharto. ”Kami meminta informasi dari para pelaku di masa lalu, termasuk Pak Pitut,” kata Sutanto diplomatis.

Ditemui pada akhir April lalu, Panji menepis keterlibatannya dengan NII. ”Saya tidak pernah masuk organisasi itu,” katanya dengan sengit. Gerakan Negara Islam, kata dia, sudah lenyap sejak Kartosoewirjo turun gunung.

Ia menolak bila pesantrennya disangkutpautkan dengan kegiatan sokong-menyokong partai politik. ”Sebagai pendidik, saya dilarang terjun ke politik praktis,” katanya. Soal jejaring Panji dengan intelijen juga dibantah Imam Prawato, anak tertua Panji Gumilang.


Tim Investigasi Penanggung Jawab: Arif Zulkifli Kepala Proyek: Yandhrie Arvian Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika Penulis: Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi, Wahyu Dhyatmika, Yuliawati, Budi Riza Penyumbang Bahan: Juli Hantoro (Bandung), Angga Sukma Wijaya (Bandung), Ahmad Fikri (Bandung), Erik P. Hardi (Bandung), Kukuh S. Wibowo (Gresik), Eko Widianto (Sidoarjo), Diki Sudrajat (Bogor), Ari Surbakti (Bogor), Zulfaidar Pay (Makassar), Deden Abdul Aziz (Cianjur), Ivansyah (Indramayu), Rofiudin (Semarang), Ahmad Rafiq (Solo), Bibin Bintardi (Malang), Adi Warsidi (Banda Aceh) Riset Foto: Bismo Agung Desain: Ehwan Kurniawan Tata Letak: Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Habib Rifa’i.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus