Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>ORGANISASI PAPUA MERDEKA</font><br />Jalan Aceh untuk Papua

Presiden menunjuk utusan khusus untuk merintis perdamaian dengan Organisasi Papua Merdeka. Lebih rumit daripada Aceh.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMBERT Pekikir tersentak kaget. Tak percaya ia pada kabar tentang rencana rekan-rekannya menyerahkan senjata dan menerima opsi untuk duduk berunding. Pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Kabupaten Keerom itu diam sejenak. ”Itu konyol,” ujarnya pada Senin malam pekan lalu. ”Saya tidak tahu kabar ini benar atau tidak. Tapi sepertinya itu tidak mungkin.”

Tekad Lambert sudah membatu. Ia akan berperang hingga titik darah penghabisan. Ia rela bertahan di hutan karena yakin perjuangannya akan ditopang oleh gerakan lain yang digalang di luar negeri. Karena itu, ia tak memahami bila tiba-tiba diminta mengubah strategi melalui jalan dialog yang katanya sedang dirintis. ”Yang kami inginkan adalah merdeka, bukan berdamai. Jadi tidak ada istilah penyerahan senjata atau bergabung dengan Indonesia,” kata Lambert. ”Yang bicara akan berdamai itu adalah OPM palsu. Mereka sangat banyak dan dibina oleh tentara.”

Bertahun-tahun hidup di hutan dan berupaya menghindar dari kejaran tentara atau polisi, kelompok Lambert beranggota puluhan orang. Sebagian berasal dari Serui dan Wamena. Mereka tinggal di rumah sederhana dan makan dari hasil kebun yang mereka olah. Situasi serupa dilakoni oleh Panglima OPM Tadius Yogi bersama ratusan pengikutnya di wilayah Paniai. Selain memiliki beberapa pucuk senapan atau senjata serbu ringan, mereka melengkapi diri dengan alat perang tradisional seperti tombak dan panah.

Untuk menuju markas mereka, setiap pengunjung atau tamu harus melewati beberapa penjaga. Penjaga ini akan memeriksa, bila perlu hingga melepas seluruh pakaian tamunya, untuk memastikan yang datang bukan mata-mata dan tak ada senjata padanya. Di markas ini, bendera Bintang Kejora dipasang di sebuah tiang. Setiap 1 Desember, yang mereka klaim sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua sejak 1961, bendera yang usang akan diganti dengan yang baru melalui upacara penghormatan.

Tidak mudah bagi orang dari luar kelompok ini untuk berbicara dengan Lambert atau Tadius. Sambungan telepon untuk janji wawancara dengan Lambert pun harus dilakukan lewat jalur berliku, melalui beberapa kontak lain terlebih dulu. Setelah itu, baru dia dan anak buahnya masuk ke Arso, ibu kota Keerom, yang terjangkau jaringan telepon seluler.

Sesekali Lambert memang perlu turun ke kota ini untuk menemui keluarga atau mencari pasokan logistik. Dengan cara yang sama ia memperoleh informasi terbaru. Karena itulah ia sering terlambat mendapat kabar, seperti halnya perkembangan tentang jalan damai itu.

Lambert mungkin tak tahu, pada 1 Desember tahun lalu langkah penting telah diambil Jakarta. Di hadapan beberapa pembantu dekatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Letnan Jenderal (Purnawirawan) Bambang Darmono, Farid Husain, dan Velix Wanggai untuk mulai menjajaki kemungkinan pembicaraan damai di Papua. Target utamanya adalah kelompok yang selama ini ingin merdeka. Upaya ini juga akan dijalankan melalui Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yang dibentuk di bawah koordinasi Wakil Presiden Boediono. Lembaga ini juga akan dipimpin Bambang Darmono.

Bambang adalah mantan panglima komando operasi di Aceh, yang kemudian terlibat dalam upaya perdamaian setelah wilayah konflik tersebut dihantam tsunami pada akhir 2004. Jabatan terakhirnya sebelum pensiun adalah Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Belakangan ia diangkat menjadi Wakil Ketua Desk Aceh di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Adapun Farid Husain dikenal sebagai salah satu tokoh di balik negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga terlibat dalam upaya damai di wilayah konflik lain, seperti Poso dan Maluku. Farid adalah tangan kanan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang waktu itu menjadi motor pendorong perundingan-perundingan tersebut. Sedangkan Velix Wanggai anggota staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi. Velix berasal dari Jayapura.

Menurut sumber yang mengetahui proses di balik penunjukan ini, Bambang dan Farid dipilih lantaran peta persoalan di Papua dianggap memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Aceh. Rekomendasi serupa disampaikan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang menyelesaikan kajian pada 2008. Tim yang dipimpin Muridan S. Widjojo ini kemudian menyusun Papua Road Map—model jangka panjang penyelesaian konflik Papua.

”Di Aceh, kunci perdamaian itu ada pada komitmen pemerintah Yudhoyono-Kalla untuk meninggalkan cara militer dalam menangani konflik,” kata Amiruddin al-Rahab, salah satu peneliti yang terlibat dalam tim itu. ”Jalan dialog pun hanya akan efektif bila dilakukan dengan pihak-pihak yang tepat, yakni mereka yang benar-benar mewakili rakyat dan kelompok yang selama ini bersikap keras. Tidak boleh keliru memilih orang.”

Untuk menemukan pihak yang tepat itulah, Bambang dan Farid mulai bergerak dan membangun kontak, walaupun belum dibekali surat resmi atas penunjukan mereka. Mereka mencari tahu siapa komandan yang menentukan, baik yang di lapangan maupun yang tersebar di Australia. Mereka juga mengontak kelompok Benny Wenda di Inggris dan kelompok John Rumbiak di Amerika Serikat. ”Situasinya memang lebih rumit dibanding Aceh,” kata Bambang Darmono, Rabu pekan lalu. ”Tapi sejauh ini respons dari sejumlah tokoh yang sudah ditemui sangat positif.”

Di Aceh, identifikasi lawan berunding memang relatif mudah. Dengan Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sasaran berunding terlihat jelas. Meski demikian, tim Jusuf Kalla sempat kecele juga. Di awal rencana, tim sempat menjalin kontak dengan Majelis Pemerintahan GAM, sebuah faksi yang sudah tak bergigi karena dipecat Tiro. Ada kabar, sebagai ”pembuka jalan”, kompensasi ekonomi sempat diberikan kepada kelompok ini.

Hal itulah yang tak ingin diulangi tim Papua. Farid optimistis upayanya bakal mulus. Ia berpendapat, pada dasarnya semua orang di Papua ingin hidup tenang dan sejahtera. Sebagai juru runding, katanya, yang diperlukan timnya saat ini adalah kepastian dari Presiden Yudhoyono. ”Beri kami kejelasan mengenai apa yang bisa dinegosiasikan dan apa yang tidak. Sebab, mereka tentu akan bertanya, apa yang akan diper­oleh jika mereka sepakat untuk berdamai. Di Aceh pun dulu seperti itu.”

Namun beberapa pihak di Papua menanggapi semangat Jakarta ini dengan hati-hati. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yeboisembut mengatakan selama ini rakyat di Papua yang lebih banyak menjadi korban kekerasan negara. ”Jadi, jangan Jakarta mengajari kami soal damai,” ujarnya. Ia berkukuh bahwa jalan damai hanya bisa ditentukan melalui referendum. ”Jakarta juga harus ingat, jangan samakan kami dengan Aceh, yang satu ras dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa Papua, kami berbeda,” katanya.

Pendeta Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja Baptis Papua, tak menutup opsi berunding. Tapi ia meminta pembicaraan damai melibatkan pihak ketiga dari komunitas internasional yang netral sebagai mediator. Ia juga meminta penarikan pasukan TNI sebagai prasyarat. ”Jangan sampai pemerintah berbicara tentang damai tapi tindakan represif jalan terus.” Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua Pendeta Benny Giay menegaskan hal yang sama.

Namun keduanya pesimistis perundingan bisa mulus. Soalnya, banyak pihak yang dengan gampang mengatasnamakan OPM. Bahkan mereka mencurigai beberapa kelompok bersenjata sebagai ”peliharaan” tentara. Sebab, keberadaan OPM memberi legitimasi untuk berbagai operasi militer yang membawa keuntungan ekonomi bagi beberapa pihak. ”Mereka (TNI) yang beri senjata itu ke OPM,” kata Benny. ”Tentara pula yang justru meminta Panglima OPM Tadius Yogi untuk tidak menyerah.”

Y. Tomi Aryanto, Jerry Omona (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus