Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jejak Berkabut Sang Imam

Panji Gumilang direkrut sebagai bagian dari operasi intelijen di Malaysia. Membentuk Negara Islam Indonesia yang lebih politis dan ”ekonomis”.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD Suyuti masih ingat teman sekelasnya di Sekolah Rakyat Gresik, Jawa Timur. Panggilannya Dul Salam, diambil dari nama bocah itu, Abdus Salam. ”Kami biasa main bola bersama di pinggir jalan,” kata Ahmad, 67 tahun, akhir bulan lalu.

Rumah Dul Salam di dekat gerbang Dusun Siraman, Desa Sembunganyar, Kecamatan Dukun, Gresik. Kini terlihat kusam. Berarsitektur Jawa lawas, dinding kayunya mulai lapuk. Puluhan galon air mineral diletakkan di ruang tamu, juga televisi dan seperangkat kursi. Di rumah itu Dul lahir.

Dul Salam berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Mukarib alias Haji Rasyidi, menjadi kepala desa itu pada 1943 hingga 1988. Itu sebabnya, Suyuti segan kepada Dul. Menurut Kenneth Conboy dalam bukunya, Menguak Tabir Intelijen Indonesia, Mukarib adalah tokoh Gresik yang dikenal sebagai seorang ekstremis muslim. Dul Salam kini populer sebagai Panji Gumilang alias Abu Toto. Berusia 65 tahun, Panji memimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat.

Pada awal 1964, Haji Rasyidi kedatangan tamu dari Jakarta. Dialah Pitut Soeharto, yang baru dicopot dari jabatan Deputi Menteri Perhubungan. Menentang komunis, pangkat Pitut diturunkan dari kolonel menjadi kapten. Inilah pertemuan pertama Pitut dengan Panji Gumilang. Tapi pergaulan keduanya tak lama. Pitut pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Panji meneruskan belajar di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, setelah lulus dari Pondok Pesantren Gontor.

Semasa kuliah, Panji aktif mengisi berbagai pengajian. Ketika itu, dia bertemu dengan Abdul Karim Hasan, pemimpin baru Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9. Ia lalu jadi pengikut sang komandan. Ia dipercaya merekrut anggota di Jakarta dan Banten. ”Abdul Karim bagian dari operasi intelijen,” kata Umar Abduh, Koordinator Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII KW 9, Al-Zaytun, dan Abu Toto.

Pada akhir 1970-an, Panji tinggal di Menes, Pandeglang, Banten, setelah menikahi Khotimah Rahayu, anak pemimpin Lembaga Pendidikan Islam Mathla’ul Anwar. Pada 1982, dia pergi ke Sabah, Malaysia, menghindari kejaran aparat. Ia dituduh terlibat dalam gerakan Komando Jihad.

Di sana, pertalian dengan Pitut kembali terjalin. Pitut telah aktif sebagai perwira Operasi Khusus pimpinan Jenderal Ali Moertopo dan Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Menurut Umar, ring kedua Pitut menyambut Panji di Malaysia. Dia dikenalkan sebagai pengusaha kayu dan besi tua. Panji diplot menggalang 2.000-an mantan anggota NII yang melakukan eksodus setelah mendapat amnesti pada 1962.

Selama di Sabah, Panji menjalin hubungan dengan Duta Besar Himawan Sutanto. Menurut Al-Chaidar, penulis buku Sepak Terjang KW 9, kedekatan Panji dengan mantan Panglima Kodam Siliwangi itu awalnya bersifat pribadi. Sering jalan berdua, Panji kerap memberi sangu, bahkan pernah menghadiahi mobil. Sundari, adik bungsu Himawan, membantah informasi itu. ”Tidak ada seperti itu,” kata dia.

Panji juga membantah. Menurut dia, kepergian ke Malaysia karena tugas Muhamad Natsir, Ketua Rabithah Alam al-Islami di Jakarta. Di Malaysia, ia mengaku mengajar. ”Gajinya besar. Di Indonesia Rp 100 ribu, di sana US$ 1.000,” kata dia dalam wawancara dengan Tempo.

Rupanya Himawan pun memanfaatkan pertemanan ini. Dia mengusulkan desain baru NII Komandeman Wilayah 9. ”Membuat organisasi yang mirip dengan NII tapi tidak bertujuan mendirikan negara Islam,” kata Chaidar. ”Lebih pragmatis untuk kepentingan ekonomi dan politik.” Sebagai kompensasi, Panji dibebaskan kembali ke Indonesia.

Setiba di Jakarta, Panji memantapkan posisinya sebagai Kepala Staf Komandemen. Ketika Abdul Karim meninggal pada 1992, dia menggantikannya. Namun legitimasi secara formal belum diraih. Karena itu, Panji sering menjenguk Adah Djaelani, komandan tertinggi NII, di penjara Cipinang untuk meminta restu. Selain itu, Panji menghidupi keluarga Adah dan para tetua NII lainnya. Hidup Adah di hotel prodeo itu jadi berkecukupan. ”Saya perhatikan dia happy di penjara,” kata A.M. Fatwa, anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang dulu dipenjara satu blok dengan Adah.

Tahun-tahun itu, Panji masih kerap pulang kampung. Pada awal 1993, Panji mengajak Dofir Asror, kini 74 tahun, bekas guru ngajinya, untuk mengajar di lembaga pendidikan yang dikelolanya di Banten. Di kemudian hari, Dofir mengetahui bekas muridnya itu sedang mendirikan satu komandemen bagian dari Negara Islam Indonesia. Dia sempat diberi jabatan Ketua Kelompok Jawa Timur. Gagasan ini membuat Dofir tak nyaman. Pada 1996, Dofir keluar dan kembali ke Gresik. ”Saya melihat yang dilakukan Panji tidak sesuai dengan Al-Quran,” ujarnya.

Upaya Panji membidik pucuk teratas terganjal peristiwa Menes. Menurut mantan Ketua Gerakan Pemuda Islam Abdul Qadir Djaelani, di satu malam pada 1993, Panji menggelar pengajian di kompleks Mathla’ul Anwar. Pertemuan tanpa penerangan listrik itu disusupi intel dan tentara dari Komando Rayon Militer Banten. Karena dianggap merongrong pemerintah, peserta pengajian ditangkap. Anehnya, bak tertutup kabut, Panji kalis dari tangan tentara. ”Dia kabur sambil membawa duit jemaah hampir Rp 480 juta,” kata Abdul Qadir, Jumat dua pekan lalu.

Menurut Umar, untuk menghindari aparat, Panji melarikan diri ke Malaysia. Setelah menganggap aman, dia kembali setahun kemudian dan meneruskan misinya. Adah, yang sudah kepincut, makin kesengsem tatkala Panji berencana membangun pesantren supermegah Al-Zaytun di Haurgeulis, Indramayu. Apalagi ia akan ditempatkan pada posisi terhormat. Dari dalam sel, ia merestui Panji sebagai imam. Syaratnya, dia mesti bebas. ”Semacam barter,” kata Chaidar.

Setelah merenggut posisi tertinggi, jejaring Panji meluas. Sang Imam dapat meyakinkan Presiden B.J. Habibie untuk meresmikan Al-Zaytun. Banyak tetua partai politik menyempatkan diri bertandang ke Haurgeulis. Dengan dunia intelijen, hubungan terus diperkuat. Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono pada Mei 2003 pun berusaha rekat. Di depan Panji, pengurus pesantren, dan pejabat lembaga telik sandi tersebut, Hendropriyono ketika itu mengatakan BIN adalah keluarga Al-Zaytun. Bahkan, ketika banyak tudingan Al-Zaytun sebagai sarang NII, Hendropriyono pasang badan. Ia mengancam akan menindak mereka yang ”bertindak macam-macam” terhadap pesantren itu.

l l l

PITUT Soeharto banyak disebut sebagai arsitek utama operasi intelijen di tubuh NII sepeninggal Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Bisa jadi hal itu karena keahliannya dalam penggalangan yang dipelajari sejak belia. ”Saya direkrut CIA—badan intelijen Amerika Serikat—ketika 13 tahun. Saya mengikuti pelatihan di Pulau Saipan, Jepang,” katanya.

Pada 1969, dia ditarik Ali Moertopo ke Operasi Khusus dan Bakin. Tugasnya ”menetralkan” anggota NII. Tujuannya menarik golongan moderat guna mendukung Orde Baru dan menumpas mereka yang menentang. Dia menyusup ke NII melalui Danu Muhammad Hasan, bekas Komandan Darul Islam Jawa Barat, yang telah direkrut sebagai anggota staf Bakin. Pitut lalu memakai taktik tabur uang. Para pemimpin NII diberi jatah distribusi minyak tanah. Alhasil, banyak yang jinak, seperti Ateng Djaelani, termasuk sayap militer NII, seperti Adah Djaelani, Aceng Kurnia, dan Haji Ismail Pranoto.

Penggalangan secara masif dilakukan menjelang Pemilihan Umum 1971. Menurut Mayor Jenderal (Purnawirawan) T.B. Hasanuddin, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ketika itu digelar reuni akbar anggota NII di rumah Danu, Jalan Situaksan Nomor 170, Bandung. Ia menyebutkan intelijen berada di balik pertemuan yang diha­diri 3.000-an orang ini. Intelijen pulalah yang membiayai. Mereka digarap agar masuk Sekretariat Bersama Golkar.

Operasi ini berhasil. Banyak eks NII masuk cikal bakal Partai Golkar itu. Namun ada juga sayap militer NII yang menolak. Mereka memilih jalan senjata. Pemerintah menganggap kelompok ini berbahaya dan harus ditumpas. Operasi intelijen memasuki titik akhir: penghancuran. Banyak yang diringkus, termasuk kolega Pitut, seperti Ismail Pranoto, Danu Hasan, dan Adah Djaelani.

Operasi Khusus juga menggalang gerakan Islam lain yang dianggap radikal, seperti Jamaah Imran. Menurut A.M. Fatwa, penyusupan dilakukan melalui Najamuddin, anggota Batalion Artileri Medan. Janda Najamuddin bertutur kepada Fatwa pada awal 1999, sebelum penyerbuan Kepolisian Sektor Cicendo, berbagai rapat diadakan di rumahnya. ”Suami saya disuruh Ali Moertopo menyewa rumah di Bandung untuk rapat. Saya yang menulis rencananya,” kata pensiunan perawat Angkatan Darat tersebut.

Azhar, anak buah Imran, bercerita kepada Fatwa ketika ditahan di penjara Cirebon pada akhir 1980-an. Najamuddin selalu memprovokasi Jamaah Imran untuk angkat senjata. Setelah penyerangan Cicendo pada 11 Maret 1981, dia mengusulkan membajak pesawat Garuda, yang di kemudian hari dikenal dengan insiden Woyla. Akhirnya peran Najamuddin terbongkar. Azhar lalu membunuhnya. ”Anehnya, intel mengetahui tapi membiarkan,” kata Fatwa.

Menurut Umar, inilah sifat operasi intelijen, penuh selubung dan susah dibuktikan. Para pelakunya kerap misterius. Untuk menguak tabir operasi intelijen, kata Umar, harus dimulai dari penggerak utama. Dalam kasus NII, Pitut memegang peran penting menyingkap kabut sang Imam. Atas pertimbangan ini, Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto memanggil Pitut pada 13 Mei lalu. Di hadapan pejabat BIN, Pitut memaparkan seluk-beluk NII. ”Kami minta melengkapi file kami,” kata Sutanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus