Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalur Pemburu Pintu Rimba

Hasil buruan diselundupkan melalui sungai. Bekas tentara Gerakan Aceh Merdeka disebut terlibat.

27 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBAR Sungai Gelombang hampir seratus meter. Airnya kuning dan mengalir deras. Jalurnya berkelok-kelok membelah tiga kabupaten di Provinsi Aceh. Penduduk Kabupaten Gayo Lues dan Kota Subulussalam memanfaatkan sungai itu sebagai jalur alternatif distribusi bahan pokok. "Termasuk membawa hasil tangkapan pemburu," kata Ahmad Rizal, 43 tahun, pawang harimau yang berasal dari Trumon, Aceh Selatan.

Rizal pernah membawa hasil buruan melalui sungai itu. Harimau salah satunya. Kebiasaan penduduk di sana membawa hewan hasil buruan, menurut Rizal, masih berlangsung hingga kini. Ia mengatakan pada tengah malam sering melihat perahu bermesin merapat ke tepi sungai, lalu membongkar muatan di bawah jembatan. Agar tak menarik perhatian, hasil buruan dicampur dengan hasil kebun. "Kulit harimau dan gading mudah disembunyikan di bawah tumpukan bahan pokok," katanya.

Jembatan yang dimaksud Rizal terletak di Dusun Sigrun, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam. Jembatan itu strategis karena menjadi penghubung antara Jalan Raya Timur Banda Aceh dan Medan. Sekitar lima meter di bawah jembatan ada dermaga kecil. Ada juga undakan batu untuk naik dari bibir sungai ke atas jembatan.

Di jembatan itulah biasanya mobil menunggu hasil selundupan. Setelah menerima paket selundupan, mobil langsung ngacir ke arah Medan. "Hasil buruan di Aceh hampir semuanya dibawa ke Medan," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Aceh Genman Suhefti Hasibuan.

Hasil buruan itu biasanya berasal dari Kabupaten Gayo Lues dan Kutacane, Aceh Tenggara. Di sana terhampar hutan Leuser, yang terkenal dengan aneka ragam satwa. Kutacane terkenal sebagai salah satu sentra perdagangan satwa langka di Aceh.

Hutan Leuser membentang dari pegunungan di Aceh hingga sebagian Sumatera Utara. Para pemburu satwa dan kayu menyambangi hutan itu sejak dulu. Bukan cuma dari Aceh, pemburu juga datang dari Sumatera Barat. Sudah lama mereka terkenal sebagai pemburu andal. "Pemburu dari Sumatera Barat punya keahlian menangkap hewan apa saja," kata Yan Kule, pawang dan mantan pemburu harimau dari Kabupaten Bener Meriah.

Pemerintah melarang perburuan satwa kecuali untuk kebutuhan konservasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur perburuan seperti itu harus lewat izin yang rumit dan dilakukan oleh orang-orang yang ditunjuk pemerintah. Faktanya, perburuan masih berlangsung di Aceh. "Pemburu liar bertanggung jawab atas merosotnya populasi satwa langka di Aceh," ujar Syafrizaldi, Program Manager Fauna dan Flora International (FFI) untuk Aceh.

Para pemburu itu masuk dari Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan, yang bertetangga dengan Kabupaten Gayo Lues. Tempo menyusuri dua jalur yang biasa digunakan pemburu untuk masuk hutan di Trumon, pertengahan Maret lalu. Dua jalur itu bernama Pintu Rimba dan Bendungan Irigasi, Jambo Dalem.

Rizal dulu sering memilih rute Bendungan karena bisa menembus hutan dengan menyusuri sungai dangkal berbatu. Jalur sungai ini menjadi favorit pemburu karena banyak terdapat batu sebesar mobil yang bisa dipakai untuk bersembunyi.

Penduduk Jambo Dalem mengatakan, empat hari sebelum Tempo datang, empat pemburu masuk ke hutan. Mereka berjalan kaki melalui Pintu Rimba, yang berada di kaki perbukitan. Jalur itu dapat dicapai dengan melewati jalan setapak yang sepi sepanjang satu kilometer. Di kanan dan kiri terbentang kebun jagung milik penduduk. Dari situ, hutan Leuser bisa ditempuh satu hari berjalan kaki.

Sebelum menuju jalan setapak, keempat pemburu diantar mobil hitam yang disopiri Sabaruddin alias Kombet, tokoh Partai Aceh di Aceh Selatan. "Si Kombet itu mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka," kata Rizal, yang mengaku pernah akrab dengan Kombet. Mobil itu, menurut Rizal, ditengarai milik perwira yang sering parkir di Markas Brimob di Trumon.

Kepada penduduk, mereka mengaku mencari kayu alim dan gaharu, yang berasal dari Sumatera Barat. Kulit kayu alim biasa digunakan untuk parfum dan kemenyan. Rizal memastikan mereka berbohong karena banyak penduduk melihat empat pemburu tadi membawa gulungan tali baja panjangnya sekitar 50 meter. Menurut Rizal, tak ada penebang kayu yang membawa tali baja berat ke dalam hutan. "Tali baja itu pasti untuk menjerat hewan," katanya.

Tali baja yang dibawa para pemburu, kata Rizal, umumnya diikatkan ke kayu. Tali itu akan mengekang saat hewan melintas. Hewan buruan lalu mati perlahan dalam jebakan. Setelah itu, pemburu menguliti harimau atau mengambil gading gajah.

Syafrizaldi menambahkan, cara ini lebih "aman" buat pemburu karena, bila jebakan ditemukan polisi hutan, mereka gampang buang badan. Tidak ada yang tahu pemilik jebakan itu. "Kalaupun ketahuan, mereka berdalih memasang jerat untuk rusa, bukan gajah dan harimau," kata Syafrizaldi.

Metode berburu seperti itu makan waktu. Menurut Rizal, para pemburu akan datang berkala per dua minggu atau setiap bulan setelah jebakan dipasang. Itu sebabnya, empat pemburu tadi pernah terlihat masuk hutan lewat Pintu Rimba dua bulan sebelumnya. Baru seminggu di sana, mereka lari tunggang-langgang. Kepada penduduk, mereka mengaku dikejar gerombolan gajah. Rizal menduga gerombolan gajah marah karena diburu.

Kepala Sub-Direktorat Tindak Pidana Tertentu Kepolisian Daerah Aceh Ajun Komisaris Besar Mirwazi mengatakan kejahatan pemburu sulit dibuktikan. "Mereka selalu berdalih masuk hutan untuk mencari kayu," ujarnya. Jumlah polisi yang menyisir hutan, kata Mirwazi, juga masih minim. Itu sebabnya pemburu yang membunuh satwa langka sulit ditangkap. Apalagi para pemburu mengenal seluk-beluk hutan.

Banyak pemburu pernah bergabung dengan GAM, yang bertahun-tahun bergerilya di hutan. Mereka juga berbahaya karena membawa senjata api. Rizal mengatakan senjata-senjata itu tidak diserahkan meski Indonesia dan GAM telah menandatangani perdamaian di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005. Saat konflik meletup, Aceh Selatan dan Tenggara terkenal sebagai basis GAM.

Penduduk lokal enggan mengusik para pemburu karena mereka bekas kombatan. Para penduduk juga takut menunjukkan rumah Sabaruddin kepada Tempo. Juru bicara Partai Aceh, Suadi Sulaiman alias Adi Laweung, ragu akan keterlibatan Sabaruddin dalam perburuan. "Tidak ada mantan anggota GAM yang menjadi pemburu liar," kata Adi, Kamis pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus