Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama aslinya Yan. Usianya 47 tahun. Tinggi tubuhnya 180 sentimeter, berjanggut dan bersuara berat. Semenjak ia remaja, kerabatnya memberinya nama tambahan, Kule. Dia lalu dipanggil Yan Kule. Dalam bahasa Gayo-suku di Aceh bagian tengah-Kule berarti harimau. Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dia kesohor sebagai pawang dan pemburu harimau.
Yan berburu harimau sejak usia 17 tahun. Yang membuat namanya melegenda, dia bisa memanggil harimau lalu membunuhnya dengan tangan kosong. "Mantranya cuma baca bismillah," katanya. Leher harimau ia jerat sampai mati atau dia pukul pakai batu. Ia mengaku terakhir berburu secara ilegal pada 2004. Namun, pada 2013, ia pernah membunuh empat harimau yang mengganggu penduduk atas permintaan aparat keamanan. "Setelah itu harimaunya dikuliti dan dijual," ujarnya.
Pria lulusan sekolah dasar itu menerima Tempo di warung kopi di Takengon, Aceh Tengah, pada Jumat sebulan lalu. Ia banyak diam, menyesap kopi atau mengisap rokok, dan bicaranya singkat-singkat. Tapi Yan bersemangat tatkala menceritakan anak lelaki satu-satunya yang lahir sembilan bulan lalu. Dia mengaku telah mewariskan ilmu harimau kepadanya dan senang karena putranya itu kini bisa menggeram seperti harimau saat tidur.
Banyak orang bercerita, Anda sering berburu harimau dengan tangan kosong. Bagaimana Anda melakukannya?
Aku panggil saja mereka. Kalau yang jantan namanya Rahmatsyah, betina Berutsyah. Lalu dijerat lehernya dan dipukul kepalanya. Bisa tangan kosong atau pakai batu.
Lalu Anda kuliti di tempat? Sendirian?
Iya. Dagingnya aku makan. Enak, bikin badan hangat. Menguliti harimau gampang karena dagingnya tidak menempel di kulit. Setelah sampai di rumah, kulit langsung direndam spiritus supaya bulunya tidak rontok. Lalu diserahkan ke tukang offset (patung dari kulit hewan yang diisi kapas atau busa). Orangnya baru meninggal beberapa bulan lalu, dia dulu tinggal di dekat sini.
Anda jual berapa kulit harimau?
Terserah mereka mau kasih berapa. Aku pernah menjualnya sampai belasan juta rupiah.
Selain melalui pedagang offset, Anda pernah menjual sendiri?
Sering.
Siapa saja pembelinya?
Siapa saja yang mau. Tapi lebih banyak tentara, polisi, dan intel. Aku antar sendiri ke Jakarta.
Bisa sebut orang Jakarta yang pernah membeli kulit harimau dari Anda?
Salah satunya Edhy Prabowo. Aku kasih ke dia karena disebut keluarganya Prabowo Subianto. (Edhy, sekarang anggota DPR dari Partai Gerindra, membantah pernyataan Yan. "Banyak yang nawarin, tapi saya tidak pernah menerima. Harimau dan gajah termasuk hewan yang dilindungi. Tidak mungkin saya mau menerima seperti itu. Dulu ada yang memberikan beruang madu, langsung saya suruh lepas dan kembalikan ke hutan," katanya.)
Siapa lagi?
Hampir semua jenderal tentara dan polisi yang datang ke Aceh pernah aku kasih kulit harimau.
Berapa Anda jual?
Adalah, lupa.
Kenapa Anda lebih suka jual ke tentara dan polisi?
Mereka semuanya teman dan lebih aman. Siapa yang mau menangkap mereka? Kadang-kadang mereka malah minta bantuanku untuk membunuh harimau yang masuk ke kawasan penduduk.
Pernah jual ke luar negeri?
Pernah ke orang asing yang sering datang ke Aceh saat masa konflik dan tsunami. Mereka gampang membawanya ke luar karena memakai kargo diplomatik.
Negara mana saja?
Paling banyak ke Singapura, Cina. Biasanya lewat Batam dulu.
Berapa ekor harimau sudah Anda bunuh?
Aku enggak ingat lagi, mungkin seratusan. Dulu sekali berburu paling sedikit dapat satu harimau. Dalam setahun aku empat kali berburu harimau ke hutan.
Selain berburu harimau, pernah berburu binatang lain?
Semuanya juga pernah, kecuali gajah. Kami berteman.
Anda masih berburu?
Tidak, tapi aku sangat gemar berburu dan tak bisa lama-lama di kota. Sekarang lebih banyak berkebun saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo