Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tak Ada Gading Di Kepala Yinphiek

PEMBURU membantai gajah dan harimau Sumatera di Aceh demi gading dan kulit yang berharga mahal. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, tentara, dan polisi disebut terlibat. Tempo menelusuri rute perburuan dan jejak penyelundupan hewan langka itu.

27 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGKAI gajah jantan tergolek di hutan Desa Kareung, Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat, Senin dua pekan lalu. Penjaga hutan Mukhtaruddin segera mengenalinya: Yinphiek. Tengkoraknya terbelah, belalainya hilang. "Gadingnya juga hilang," katanya kepada Tempo.

Mukhtar terakhir bertemu dengan Yinphiek sekitar dua bulan lalu. Gajah 20 tahun seberat tiga ton itu segar bugar. Gajah soliter bergading panjang ini bertahun-tahun biasa melewati desa untuk mencari makan, seperti tunas sawit.

Penduduk desa menamai gajah itu Yinphiek lantaran kaki belakang kirinya lebih pendek daripada kaki kanan. Di Aceh, hewan berkaki cacat biasa disebut caphiek. Mukhtar, yang bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kareung, memperkirakan hewan itu dibunuh 10 hari sebelumnya. "Kepalanya dibelah dengan kapak," ujarnya. Lubang bekas peluru menembus dahinya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Genman Suhefti Hasibuan menyimpulkan Yinphiek tewas ditembak dari atas pohon. Dari jejak di sekitar penemuan bangkai, Yinphiek diperkirakan masih berjalan sekitar 100 meter. "Ini pasti ulah pemburu," ucapnya.

Sejak April 2012 hingga November 2014, menurut data World Wide Fund for Nature (WWF), 34 gajah dibantai. Semua ditemukan dalam kondisi serupa: tengkorak terbelah, gading raib. Sepanjang 2014, dari 14 kasus pembantaian gajah, tujuh dibongkar Kepolisian Daerah Aceh. Menurut Kepala Sub-Direktorat Pidana Tertentu Ajun Komisaris Besar Mirwazi, polisi banyak memperoleh informasi dari aktivis lingkungan.

Syafrizaldi, Program Manager Fauna dan Flora International (FFI) untuk Aceh, memastikan semua pembunuhan gajah berhubungan dengan jaringan penjualan dan penyelundupan gading. Alasannya, pada setiap gajah jantan yang mati, tengkoraknya terbelah hingga ke dekat kuping tempat akar gading. "Mereka paham bagaimana cara mencabutnya. Itu tanda gadingnya memang sudah diincar," katanya.

Menembak hanya salah satu cara membunuh gajah. Pemburu tradisional biasanya menggunakan seunumbok, linggis besi yang diikatkan ke gelondongan kayu kemudian digantung vertikal di atas pohon. Tali itu tersambung dengan kawat yang direntangkan ke bawah. Jika gajah menyentuh kawat, seunumbok akan jatuh dan menancap di kepalanya.

Jebakan papan berpaku 5-8 inci juga sering digunakan. Paku-paku itu diolesi racun. Suriyanto, aktivis Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia yang pernah mengikuti jejak para pemburu di Aceh, kerap menemukan jebakan model ini di tengah hutan. Papan berpaku selebar satu meter itu diletakkan di dasar lubang pada perlintasan gajah. Mereka menutup lubang itu dengan dedaunan. "Bila terinjak, gajah pelan-pelan akan mati," ujarnya.

Akibat perburuan, jumlah gajah di Aceh dan seluruh Sumatera terus menyusut. Menurut data terakhir WWF Indonesia, hingga tahun lalu hanya sekitar 1.700 ekor gajah tersisa di Sumatera. Di Aceh, kini cuma tersisa sekitar 400 ekor gajah. "Kalau dibiarkan, sepuluh tahun lagi gajah Sumatera akan punah," ujar Koordinator Spesies WWF Chairul Saleh.

Sejak 2002, gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) telah dimasukkan ke apendiks 1 daftar hewan yang dilindungi versi Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Hewan ini nyaris punah karena itu tidak boleh diperjualbelikan.

Pemburu gajah di Aceh biasanya juga mengincar harimau. Selain kulitnya, hampir semua bagian tubuh harimau laku dijual, termasuk kumis, cakar, dan taringnya. Satwa ini juga masuk apendiks 1 sejak 2002. Harimau Sumatera (Panthera thigris sumatrae) kini cuma tinggal sekitar 400 ekor, 150 di antaranya hidup di hutan-hutan Aceh.

****

PADA Maret lalu, selama seminggu Tempo mendatangi beberapa tempat di Aceh untuk menelusuri jual-beli gajah dan harimau. Di mana-mana dua hewan itu diburu.

Alasan yang sering dikemukakan adalah konflik dengan penduduk. Gajah sering masuk permukiman. Pada 2014, dua gajah mati tersengat listrik di dekat sebuah kebun di Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan, sekitar delapan jam bermobil dari Medan.

Kepada Tempo, Zulkifli, 44 tahun, pemilik kebun, bercerita, pada 2013, ladang jagung di desa itu dihancurkan gerombolan gajah. Penduduk kemudian patungan merentangkan kawat listrik sekeliling ladang. Gerombolan gajah biasanya lari lintang-pukang jika tersengat listrik. Jebakan ini kadang-kadang makan tuan. Dua warga Trumon tewas karena menyentuh kawat bertegangan tinggi itu.

Tahun lalu dua gajah tak selamat. Gajah pertama tewas di dekat ladang Zulkifli. Bangkainya dikubur dengan kawalan polisi dan tentara. Kuburannya diberi beling agar tak ada orang menggali untuk mengambil gadingnya. Seekor lagi tewas di dalam hutan. Gadingnya dijual ke Medan. "Yang mengambil mantan anggota GAM," kata Zulkifli.

Sekretaris Partai Aceh Suadi Sulaiman alias Adi Laweung menyatakan tak ada mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka yang berburu gajah. "Kami tidak mau macam-macam," katanya Kamis pekan lalu.

Cerita pembantaian gajah terdengar lebih santer di Meulaboh, Aceh Barat. Kabupaten ini merupakan salah satu kantong populasi gajah di Aceh. Sebelum Yinphiek, sudah puluhan gajah mati di kabupaten ini. Pada 4 Mei 2014, polisi menangkap Dedi Julian dan Ahmad Farial karena menjual 4 kilogram gading dan 650 kilogram tulang gajah kepada polisi yang sedang menyamar. Otak perdagangan itu, Dedi, meninggal tahun lalu karena keracunan minuman keras oplosan.

Mengikuti jejak perburuan gajah hingga ke kabupaten ini, Tempo berjumpa dengan Farial, 65 tahun, di Pengadilan Negeri Meulaboh. Dia membantah dakwaan polisi. "Saya dijebak," katanya.

Pada saat yang sama, pengadilan tengah memproses Husen bin M. Jainun, yang bersama sepuluh temannya tertangkap tangan membunuh dan menjual gading gajah pada 12 April 2014 di Desa Pantai Cermin, Meulaboh. Namanya tercantum sebagai terdakwa kedua, bertugas menjual gading. Ia mengaku hanya sopir. "Saya tak tahu itu gading siapa," katanya.

****

AHMADI, 34 tahun, mantan penjual gading dan offset harimau-kulit harimau yang sudah dibuat menjadi patung dengan memasukkan kapas atau busa ke dalamnya-di Kabupaten Bener Meriah, mengatakan sejumlah aparat militer sering terlibat. "Saya sering mendapatkan gading dari tentara," kata mantan Ketua Komisi Independen Pemilu Bener Meriah itu.

Gading dan patung dari kulit harimau dipercaya menjadi lambang kemakmuran, kewibawaan, dan kekuasaan. "Itu sebabnya banyak petinggi polisi dan tentara mengoleksinya," kata Kepala Sub-Direktorat Tindak Pidana Tertentu Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Luky Ardiansyah.

Luky mengatakan sering meminta para jenderal purnawirawan ataupun aktif untuk menyerahkan gading dan kulit harimau yang mereka koleksi kepada BKSDA. "Ada yang patuh, ada juga yang tak mau rugi dan menjualnya diam-diam," ujarnya.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda Letnan Kolonel Mahfud membantah tudingan bahwa tentara terlibat perburuan hewan langka. Dia menegaskan bahwa prajurit justru diperintahkan untuk melestarikan satwa dan lingkungan. "Kami tidak pernah melakukan perburuan dan penjualan itu," katanya.

Kebanyakan harimau di Aceh ditangkap menggunakan jerat baja. Jerat itu dipasang di tanah dan diberi umpan daging mentah. Jerat akan mengekang kepala dan kaki harimau yang menyentuh umpan.

Banyak juga pemburu harimau menggunakan racun. Tim BKSDA Aceh beberapa kali menemukan umpan daging beracun di dalam hutan. Racun tersebut amat ampuh, dibuat dari tuba atau ramuan tradisional. "Mereka menjaga agar kulit harimau tidak rusak," kata Genman, Kepala BKSDA Aceh.

Seorang kolektor gading dan kulit harimau yang ditemui Tempo di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mengaku sering membeli hewan langka dari seorang pedagang bernama Suwito. Pedagang itu tinggal Dusun Pantai Buaya, Kecamatan Besitang, Langkat.

Di Medan, nama Suwito, 60 tahun, dikenal luas oleh para kolektor satwa. Semua pesanan ia sanggupi. Dari gading, kulit harimau, beruang, rusa, sampai kambing hutan. Penjual gading juga akan menjual kulit harimau karena kedua barang inilah yang paling dicari pembeli. Satu kilogram gading kualitas super yang sedikit retak dijual Rp 25 juta per kilogram. Kulit harimau utuh Rp 30-60 juta, tergantung ukurannya. Seorang kolektor pernah mendengar pengakuan Suwito telah menjual gading ke sejumlah tokoh, di antaranya mantan gubernur dan seorang mantan Kepala Kepolisian RI. Suwito tak pernah mengangkat telepon dan membalas pesan yang dikirimkan untuk meminta konfirmasi.

****

DI Jakarta, gading yang telah dibentuk menjadi pipa banyak ditemukan di toko perlengkapan mistik di Gemcentre, Rawa Bening, Jakarta Timur. Seorang penjual mengatakan kebanyakan gading di sana berasal dari Sumatera. Rata-rata pipa rokok gading mereka jual Rp 1,6 juta per unit. Suvenir berbentuk gajah atau patung seukuran kotak korek api dijual hingga Rp 3 juta.

Gading dijual dalam bentuk pipa karena lebih menguntungkan. Dari satu kilogram gading bisa dibuat 50 pipa rokok sepanjang 10 sentimeter. "Pipa juga lebih mudah disembunyikan," kata Irma Hermawati dari Divisi Legal WCS Indonesia. Dari data survei, WCS memperkirakan, dalam sebulan, lima-tujuh ekor gajah Sumatera dibantai untuk memenuhi permintaan gading di Jakarta.

Para pemburu membawa gading dan kulit harimau keluar dari Aceh melalui Medan. Dari Aceh, mereka menggunakan angkutan umum atau mobil carteran, yang selain membawa penumpang juga menyediakan jasa pengiriman paket. Tempo mencoba menumpang mobil carteran itu. Penumpang duduk di kursi depan dan tengah. Paket ditumpuk di jok belakang, biasanya dibungkus sampul cokelat atau bekas karung beras.

Ardian, sopir di Bener Meriah, mengaku pernah dititipi paket berisi satwa hidup. "Saya baru tahu telah mengirimkan musang hidup setelah sampai di rumah penerima," katanya.

Pengiriman lewat jalur laut biasanya melalui dermaga kecil di sekitar pesisir barat Aceh. Rute utamanya ke Belawan dan Batam. Beberapa menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Dari sana ada yang dibawa hingga ke luar negeri, terutama Thailand, yang kini menjadi sentra penjualan gading. Ada juga yang dibawa ke Singapura dan Malaysia, bahkan Cina. Beberapa menggunakan fasilitas diplomatik sehingga tak diperiksa bea dan cukai. Modus ini diketahui umum, tapi jarang ada yang tertangkap. "Soalnya tidak semua kontainer diperiksa petugas bea-cukai di pelabuhan," kata Komisaris Besar Luky Ardiansyah.

Suriyanto, aktivis WCS, tahun lalu pernah mengikuti mobil carteran yang membawa gading sekaligus kulit harimau dari Banda Aceh. Mobil itu melintasi jalur barat menuju Medan. "Mereka memutar rute untuk menyamarkan jejak," ucapnya. Di setiap restoran yang mereka singgahi di Kota Bireuen, Sigli, Lhokseumawe, dan Langsa, paket itu berpindah mobil. Begitu tiba di Medan, mobil carteran itu sulit diikuti dan menghilang di Jalan Amaliun. Jalan itu dikenal sebagai pusat angkutan umum dari Aceh. Di sepanjang jalan, berjejer biro bus dan mobil carteran rute Medan-Aceh.

"Penjualan satwa selalu menggunakan sel terputus," kata Luky. Banyak pemburu tidak mengenal pembelinya. Jual-beli melalui calo berlapis yang tak saling mengenal. Itu sebabnya penangkapan seorang calo tak bisa membawa polisi ke calo lain, apalagi sampai ke pemodal, yang biasanya orang kuat di daerah itu. Padahal pemodal inilah yang menggerakkan perburuan dan menguasai jalur distribusi.

Di Takengon, Tagore Abubakar disebut-sebut sebagai juragan gading dan kulit harimau. Bupati Bener Meriah periode 2007-2012 ini sekarang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan. Menurut seorang kerabatnya, Tagore sering memodali pawang dan pemburu untuk mencari hewan menurut pesanan pembeli. Di rumah Tagore pernah ada tujuh patung harimau dan tumpukan gading.

Tahun lalu, dua orang ditangkap di Aceh Tengah dan Bener Meriah karena menjual kulit harimau. Mereka adalah Maskur, warga Takengon, dan Sersan Mayor Joko Rianto, anggota Kodim 0106/Aceh Tengah. Penduduk di sana percaya bahwa mereka terkait dengan Tagore, yang berkuasa atas jaringan perdagangan hewan langka di kedua daerah tersebut. Namun hal itu tak terbukti di pengadilan.

Salah seorang yang disebut-sebut kerap menerima orderan dari Tagore adalah mantan pawang dan pemburu harimau Yan Kule. Ditemui Tempo di warung kopi di Takengon, pria tinggi kekar itu bercerita telah membunuh puluhan ekor harimau. "Aku memang kenal Tagore," katanya. Tapi dia enggan membahas hubungan bisnis mereka.

Tagore membenarkan beberapa kali membeli hasil buruan Yan Kule, tapi membantah pernah memodali para pemburu. Menurut dia, semua offset harimau miliknya terdaftar dan berizin. "Saya tahu undang-undang," katanya lewat sambungan telepon pada Senin pekan lalu.

****

PADA Juli 2013, ketika seekor gajah bernama Papa Genk terbunuh di Sampoiniet, Aceh Jaya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas memerintahkan agar kasus tersebut diusut tuntas. Namun pengusutan berhenti pada warga yang membunuh dan mengambil gading. Mereka dihukum penjara dua bulan. Pemodal dan jaringan pembeli di baliknya tak pernah terungkap.

Padahal gading Papa Genk, seberat 25 kilogram, sempat menghilang dan singgah di rumah seorang pejabat Kabupaten Aceh Jaya. Semua orang di Aceh Jaya tahu, tapi cerita itu dikubur dalam-dalam. Para aktivis lingkungan di Aceh berharap pengusutan kasus pembantaian Yinphiek-gajah pincang yang dianggap hama oleh masyarakat Desa Kareung-tidak berakhir sama seperti kasus Papa Genk.


Penanggung jawab: Budi Setyarso, Philipus Parera Penyunting: Budi Setyarso, Philipus Parera, Yandhrie Arvian Pemimpin proyek: Mustafa Silalahi
Penulis: Mustafa Silalahi, Agung Sedayu, Stefanus Teguh Pramono Penyumbang bahan: Mustafa Silalahi (Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tengah, Bener Meriah, Subulussalam, Banda Aceh), Adi Warsidi (Banda Aceh), Agung Sedayu-Agoeng Wijaya-Pramono (Jakarta)
Foto: Jati Mahatmaji Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus