Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Janji Manis Berujung Nestapa

Sekitar 200 ilmuwan dan peneliti mumpuni terbujuk menjadi dosen Universitas Surya. Belakangan, hampir semua mundur.

24 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOTMA B.P. HUTAGALUNG alias Rita masih ingat benar ketika dokter memvonisnya mengidap kista, dua tahun lalu. Rita, dosen ilmu musik di Universitas Surya, begitu terpukul mengetahui penyakit yang dideritanya. Ia makin galau karena tak punya biaya sama sekali untuk berobat. "Waktu itu, gaji saya belum dibayar," kata Rita, Rabu pekan lalu.

Didorong desakan dokter agar segera dioperasi, Rita mendatangi Bagian Keuangan Universitas Surya dan menagih gajinya yang tertunggak beberapa bulan. Sesuai dengan kontrak, dia seharusnya dibayar Rp 30 juta setiap bulan. Upayanya membentur tembok.

Rita kemudian mengirim surat elektronik kepada Hana Surya, Ketua Yayasan Surya Institute-yayasan yang tercatat sebagai pemilik dan pengelola Universitas Surya. Hana adalah saudara kandung Yohanes Surya, pendiri sekaligus Rektor Universitas Surya. Dalam surat itu, Rita menjelaskan situasinya dan memohon agar yayasan secepatnya membayar gajinya. Upaya ini pun tak membuahkan hasil. Akhirnya, teman-teman Rita datang membantu. Mereka urunan membiayai operasi itu. "Saya juga dibantu oleh keluarga," ujar Rita.

Lolos dari ujian itu, nasib nahas masih belum beranjak dari Rita. Awal tahun lalu, suaminya divonis menderita katarak dan butuh segera dioperasi. Lagi-lagi, Rita mengirim surat kepada Yohanes dan Hana Surya agar kampus melunasi gajinya sebagai dosen. Penghasilan sang suami hanya dari uang pensiun. Jawaban Universitas Surya sama saja: kampus tak sanggup memenuhi keinginan tersebut. Sampai sekarang, indra penglihatan suami Rita belum dioperasi.

Ketika dimintai konfirmasi, Yohanes Surya membenarkan kabar bahwa kampus yang dia pimpin memang sempat terlambat membayar gaji dosen. Tapi dia mengklaim gaji dosen yang tertunggak kini sudah mulai dibayar secara bertahap. "Banyak dosen sudah pada dicicilin gajinya. Memang belum seluruhnya," kata Yohanes ketika ditemui di kampusnya di Gedung Unity, kawasan Gading Serpong, Tangerang, pada Juni lalu.

Rita semula bekerja sebagai dosen Universitas Pelita Harapan di Tangerang. Posisinya cukup tinggi di sana. Terakhir, dia menjabat Dekan Fakultas Ilmu Musik. Dia terbujuk pindah kampus pada 2013 karena iming-iming gaji besar. Menurut Rita, Yohanes sendiri yang mengajaknya bergabung. Kebetulan keduanya saling kenal karena pernah sama-sama menjadi dosen di Universitas Pelita Harapan. Jabatan terakhir Yohanes di Universitas Pelita Harapan, pada 2004, adalah Dekan Fakultas Sains dan Matematika.

Pada awal berdirinya, Universitas Surya berhasil menarik sekitar 200 dosen, ilmuwan, dan peneliti-sebagian sudah bekerja di luar negeri-untuk ikut bergabung. Mereka rata-rata bergelar doktor atau doctor of philosophy.

Rekrutmen yang impresif ini tak bisa lepas dari nama besar Yohanes Surya. Pada 2010, Yohanes mengirim surat elektronik ke grup Diaspora Indonesia. Dia mengundang para doktor Indonesia di luar negeri agar pulang ke Tanah Air. Mula-mula mereka diajak mengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, kampus yang didirikan Yohanes untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Papua.

Tiga tahun kemudian, Yohanes mendirikan Universitas Surya. Bersamaan dengan itu, ia meluncurkan program Indonesia Jaya, yaitu ikhtiar untuk mendidik sarjana yang jago sains dengan membangun kampus berbasis riset. Dia kemudian kembali mengundang para ilmuwan dan peneliti di luar negeri untuk bergabung dengan kampus baru ini. Kepada mereka dijanjikan gaji Rp 20-35 juta per bulan serta kampus dengan laboratorium berstandar internasional.

"Saya tertarik dengan visi Profesor Yohanes untuk memajukan Indonesia," kata Rifki Muhida, peraih gelar doktor fisika terapan dari Universitas Osaka, Jepang, yang kini mengajar di International Islamic University Malaysia. Rifki sempat menjadi dosen di STKIP Surya sebelum dipindahkan ke Universitas Surya. Tempo menghubungi lebih dari sepuluh mantan dosen Universitas Surya. Semuanya memberikan penjelasan yang serupa dengan Rifki.

Seorang mantan anggota staf bagian sumber daya manusia di Universitas Surya menjelaskan, pada awal berdirinya, kampus ini mengeluarkan dana Rp 6 miliar per bulan untuk membayar gaji para dosen dari mancanegara itu. Besaran gaji mereka memang di atas rata-rata. "Nominal gaji para dosen itu sesuai dengan kesepakatan mereka dengan Pak Yohanes," kata bekas anggota staf SDM ini pada Juni lalu.

Pembayaran gaji dosen hanya lancar sampai bulan keempat perkuliahan. Pada awal 2014, pembayaran gaji mulai seret. Mula-mula kampus mengambil kebijakan mencicil pembayaran gaji dosen. Lama-kelamaan, gaji hanya dibayar 20-30 persen dari nilai semula. "Itu pun sering telat," ujar Rudi Irawan, dosen mata kuliah fisika di Universitas Surya.

Tak terima dengan kondisi ini, dosen beramai-ramai menagih hak mereka ke Bagian Keuangan Universitas Surya. Mereka juga mendesak Yohanes dan Hana menepati janji soal gaji. Tempo memperoleh puluhan salinan surat elektronik dosen, sejak 2013 sampai 2016, yang sebagian besar berisi keluhan tentang pembayaran gaji yang telat. Satu surat berisi ancaman mogok mengajar jika gaji tak segera dibayarkan. Surat semacam itu tak hanya dikirim perseorangan, tapi juga secara kolektif. Pada April 2015, sekelompok dosen Fakultas Ilmu Hayati mempertanyakan pembayaran gaji dengan surat yang diteken langsung dekan fakultas itu.

Setelah kondisi keuangan kampus makin terpuruk, Yohanes membentuk tim restrukturisasi, efisiensi, dan optimalisasi pada Oktober 2014. Tim ini beranggotakan lima pejabat universitas, yang tugas utamanya menyelaraskan kemampuan keuangan kampus dengan beban gaji dan biaya operasional perkuliahan.

Salah satu rekomendasi pertama tim ini adalah pengurangan jumlah dosen dan penurunan nilai gaji mereka. Realisasinya, ada dosen yang gajinya kemudian dipotong drastis hingga tersisa sekitar Rp 3 juta per bulan. Sebagian dosen lain hanya dibayar berdasarkan jumlah mata kuliah yang diajarkan di kampus.

Kebijakan ini menyulut keriuhan baru. Sebagian dosen menolak peraturan sepihak itu. Ditanyai soal ini, Yohanes menampik tudingan sudah menipu dosennya sendiri. Dia mengakui kampusnya terpaksa mengurangi gaji dosen karena tak mampu lagi membayar mereka. "Menipunya di mana? Kami sampai jual aset. Ya, tentu kami kurangi, dong," katanya.

Bukan hanya mengurangi gaji, Yohanes mengaku memberhentikan sebagian dosen. Tapi, menurut 10 dosen yang ditemui, mereka beramai-ramai mundur karena gaji tak dibayar. Dari 200 doktor yang direkrut Yohanes empat tahun lalu, yang tersisa kini hanya sekitar 20 orang.

Selepas pengalaman pahit mereka di Universitas Surya, sebagian doktor itu kini kembali berpencar di segenap penjuru dunia. Ada pula yang memilih menetap di sini, bekerja serabutan, sembari menunggu kesempatan yang lebih baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus