Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM pernah sekali pun Danang Widodo, 49 tahun, menyandang status penunggak kredit. Pengusaha di bidang teknologi informasi yang tinggal di Denpasar itu selalu membayar semua tagihannya tepat waktu. Tapi, pada akhir Agustus 2016, permohonan kreditnya sebesar Rp 1 miliar ke BNI cabang setempat ditolak. Alasannya, dia berstatus collect 3 alias memiliki tunggakan kredit yang belum dibayar selama tiga-empat bulan di Bank Mandiri.
"Katanya, saya memiliki utang KTA (kredit tanpa agunan) di Mandiri," ujar Danang, akhir Juni lalu. Dia bingung. Semula Danang menduga terjadi kesalahan pencatatan. Namun, dua pekan kemudian, dia terperenyak ketika menerima sepucuk surat dari Mandiri. Danang diminta memenuhi tunggakan KTA Rp 74 juta terkait dengan pinjaman kuliah atau student loan di tempat anaknya kuliah: Universitas Surya.
Pada September 2013, Danang memang menandatangani pengajuan KTA senilai Rp 144 juta untuk putrinya yang diterima di jurusan biologi tahun ajaran 2014. Petugas kampus menegaskan bahwa pengajuan KTA itu merupakan keharusan bagi mahasiswa yang menerima beasiswa penuh alias kuliah gratis di kampus yang didirikan Profesor Yohanes Surya pada 2013 tersebut. Yohanes, ilmuwan ternama yang kerap berhasil mendidik siswa meraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat dunia, menjabat rektor di kampus yang berlokasi di Gading Serpong, Tangerang, Banten, itu.
Danang tak sendirian. Bersama dia ada 300-an orang tua yang juga menerima student loan. Jumlah itu sekitar seperempat dari total 1.247 mahasiswa di Universitas Surya. Berdasarkan data di Bank Mandiri, besar KTA yang dikucurkan kepada mahasiswa Universitas Surya sejak 2013 mencapai Rp 43,5 miliar. Bank pelat merah tersebut mencatat ada tunggakan kredit sekitar Rp 16 miliar yang masih belum dibayar pada Juni lalu.
Sejak awal Mei hingga pertengahan Juli lalu, Tempo menemui lebih dari 30 orang tua mahasiswa Universitas Surya yang memiliki tunggakan kredit. Semuanya kini berstatus collect 5 alias kredit macet. Pirnan, orang tua mahasiswa jurusan teknik kimia angkatan 2014, mengaku tak bisa mengajukan permohonan kredit untuk membeli mobil. Pada September 2016, Pirnan dinyatakan menunggak Rp 112 juta.
Nasib apes juga dialami ibu seorang mahasiswa penerima beasiswa yang tak mau disebut namanya. Wanita yang tak lagi bekerja karena sakit ini meminta kakak iparnya menandatangani pengajuan student loan dan disetujui. Kini kakaknya marah besar karena mendapat tagihan serupa dari Mandiri. "Saya tak tahu bagaimana cara membayarnya. Mungkin saya harus jual rumah," katanya pelan.
MENDAPAT izin pendirian pada 10 Januari 2013, Universitas Surya memang jorjoran memberi beasiswa untuk menarik mahasiswa. Saat ditemui Tempo pada pertengahan Juni lalu di ruang kerjanya, Yohanes Surya mengatakan kampusnya sejak awal menargetkan mendidik 3.000 mahasiswa. Sebulan setelah izin keluar, Surya memasang iklan empat halaman di bagian depan dan belakang harian media terkemuka Tanah Air, mengajak lulusan sekolah menengah atas bergabung dengan kampusnya. Pada tahun pertama, tercatat jumlah mahasiswa 925 orang. "Pada awal berdiri, hampir semua mahasiswa menerima beasiswa," ujar Yohanes.
Nama besar Yohanes agaknya memikat para orang tua menyekolahkan anak mereka di kampus yang semula berada di Gedung 01 Scientia Business Park, Jalan Boulevard Gading Serpong, Tangerang, Banten, itu. "Siapa yang tidak kenal nama Yohanes Surya dan keberhasilannya di Olimpiade Fisika?" kata Maria Theresia, orang tua mahasiswa jurusan teknik kimia angkatan 2013 yang menerima beasiswa.
Begitu pula Sri Suri, yang putranya pun beroleh beasiswa. "Orang tua mana yang tak mau anaknya kuliah gratis? Gedung kampusnya pun bagus," ujar Sri Suri, yang anaknya masuk jurusan teknik fisika angkatan 2014.
Dalam surat beasiswa untuk para calon mahasiswa dan orang tua, Universitas Surya menyatakan penerima beasiswa mendapat bantuan dari bank, perusahaan, dan organisasi sponsor. Surat itu juga menyebutkan penerima beasiswa wajib mengikuti program student loan.
Menurut Sri Suri, pada 12 Oktober 2013 atau dua hari setelah menerima surat ihwal beasiswa penuh yang diperoleh anaknya, dia hadir dalam pertemuan di kampus. Kala itu, suaminya sempat bertanya tentang kewajiban orang tua atas kredit tanpa agunan tersebut kepada staf Bank Mandiri yang hadir.
Sri Suri mengingat, baik staf Mandiri maupun staf kampus mengatakan pengajuan kredit itu hanya formalitas dan orang tua tak perlu membayar sepeser jua cicilan kredit tersebut. Keterangan Sri dibenarkan Maria Theresia dan suaminya, Christoforus Wibisono. "Pihak kampus dan staf Mandiri mengatakan itu hanya formalitas karena nantinya kampus yang akan membayar ke bank. Saya langsung tanda tangan," tutur Christoforus Wibisono.
Orang tua mahasiswa yang tak mendapat beasiswa sebenarnya juga ditawari student loan. Tiga sumber Tempo yang mengetahui proses perekrutan mahasiswa baru membenarkan, sejak awal berdirinya kampus, para orang tua diarahkan untuk mengambil student loan. Ini terutama terjadi untuk perekrutan angkatan 2014. "Profesor Yohanes memberi instruksi agar orang tua yang anaknya tak mendapat beasiswa juga diarahkan mengambil student loan," ujar seorang mantan anggota staf marketing Universitas Surya.
Pirnan mengatakan mereka yang mengambil KTA dibebaskan dari kewajiban membayar uang gedung sebesar Rp 12 juta. Dia juga diperbolehkan mengangsur biaya studi Rp 18 juta per semester menjadi Rp 3 juta per bulan. "Ditambah, anak saya mendapat laptop. Dengan iming-iming seperti itu, saya mau ikut student loan," ujar Pirnan.
Saat menandatangani formulir pengajuan KTA, para orang tua juga meneken selembar surat yang berisi pemberian kuasa kepada Bank Mandiri agar mentransfer duit tersebut kepada pihak kampus. Anehnya, penerima dana itu bukan Yayasan Surya Institute sebagai pengelola kampus, melainkan PT Surya Research International (SRI).
Akta pendirian Yayasan Surya menunjukkan Yohanes sebagai pembina, Hana Surya-adik Yohanes-sebagai ketua, dan istri Yohanes, Christina, sebagai sekretaris. Sedangkan PT SRI juga dipimpin tiga orang itu dengan Yohanes dan istrinya sebagai komisaris utama dan komisaris, sementara Hana direktur.
Bukan hanya pengucuran kredit dari Bank Mandiri yang masuk ke PT SRI. Uang kuliah mahasiswa yang tak menerima beasiswa pun disetorkan ke rekening SRI. Ini terlihat dari kuitansi pembayaran yang diterima orang tua. Praktik semacam ini terindikasi sebagai pelanggaran Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012. Pasal 60 peraturan itu menyebutkan pengelolaan kampus harus dilakukan badan hukum nirlaba.
Ketika ditanyai soal ini pada pertengahan Juni lalu, Yohanes membantah. Dia mengatakan duit KTA dan uang kuliah tetap disalurkan ke rekening Yayasan. Dia juga menegaskan bahwa PT SRI dan Yayasan saling mendukung. "SRI mencari duit untuk Yayasan," ujarnya.
PETAKA timbul pada awal 2016. Satu per satu orang tua yang menerima student loan mendapat surat tagihan dari Bank Mandiri. Orang tua yang panik sempat mengajukan protes ke kampus Surya. Saat itu, pihak kampus mengatakan terjadi kesalahan administrasi di Bank Mandiri dan berjanji segera menyelesaikannya.
Pada September 2016, situasi tak berubah. Banyak orang tua mendapat panggilan telepon atau surat dari Bank Mandiri agar segera melunasi tagihan mereka. Suwita Santosa, yang anaknya kuliah di jurusan human computer interaction, misalnya, dihubungi debt collector Mandiri yang dengan nada keras meminta dia membayar tunggakan sekitar Rp 40 juta. "Saya bingung. Katanya yang bayar kampus, tapi kok saya yang ditagih," ujarnya.
Para orang tua kemudian meminta kejelasan dari Yohanes Surya. Melalui surat tertulis yang salinannya didapat Tempo, Yohanes dan Hana selaku direktur dan komisaris PT SRI pada November 2016 kembali menyatakan Bank Mandiri telah melakukan kesalahan karena mengirim tagihan ke orang tua. "Bank Mandiri tidak diperkenankan melakukan penagihan atau menghubungi orang tua," demikian tertulis dalam surat itu.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas membenarkan banknya menagih tunggakan kredit kepada para orang tua. "Sejak awal, para orang tua itu menandatangani pengajuan KTA. Jadi merekalah yang kami tagih karena kewajiban ada pada mereka," ujarnya.
Pernyataan Rohan ini jelas berbeda dengan iming-iming staf Mandiri dan kampus ketika menawarkan KTA tersebut kepada orang tua mahasiswa. Berkali-kali mereka menegaskan bahwa orang tua tak berutang kepada bank. Untuk memastikan apa yang terjadi, Tempo menelisik berkas perjanjian kerja sama antara Bank Mandiri dan PT SRI. Salinan perjanjian yang diperoleh Tempo dibenarkan tiga sumber di Mandiri yang mengetahui perjanjian tersebut.
Diteken pada 4 Juni 2013, perjanjian itu jelas menyebutkan orang tua mahasiswalah yang menjadi debitor utang tersebut. Perjanjian yang ditandatangani Direktur SRI Hana Surya dan Deputy Group Head Mandiri Susatyo Anto Budiyono itu juga menyatakan PT SRI hanya akan menanggung pokok pinjaman, bunga, denda, dan biaya lain yang timbul jika debitor tak membayar tagihan.
Masalahnya, para orang tua penerima student loan yang ditemui Tempo menyatakan tak pernah mengetahui adanya perjanjian tersebut. "Sejak awal, bank dan kampus selalu menyatakan yang berutang adalah universitas, bukan orang tua," kata Pirnan, orang tua mahasiswa. Semua orang tua juga mengaku tak menerima informasi apa pun dari Mandiri ataupun kampus tentang jumlah angsuran, bunga per bulan, dan lamanya cicilan. "Tiba-tiba saja saya ditagih Rp 70-an juta," ujar Sri Suri, orang tua lain.
Hana Surya tak merespons panggilan telepon dan pesan pendek Tempo yang menanyakan isi perjanjian tersebut. Jawaban justru datang dari Yohanes Surya. "Memang ada perjanjian itu," ujarnya.
Tempo menemui Susatyo Anto Budiyono, yang kini menjabat Senior Vice President Regional Transaction and Consumer Head Mandiri Region VIII Surabaya. Sempat bersemangat memberi penjelasan tentang tren penggunaan kartu kredit, Susatyo berubah sikap saat ditanyai soal perjanjian kerja sama dengan PT SRI. "Saya tidak boleh mengeluarkan pernyataan apa pun," katanya. Dia mengaku tak ingat pernah menandatangani perjanjian tersebut.
Ketika dimintai konfirmasi, Rohan Hafas membantah ada perjanjian kerja sama Bank Mandiri dengan PT SRI. Dia juga membantah ada surat kuasa berlogo Mandiri yang berisi perintah pengiriman duit KTA ke rekening SRI. "Kami tak pernah membuat surat kuasa semacam itu," ujarnya.
Direktur Utama Mandiri Kartika Wirjoatmodjo justru mengakui banknya menjalin kerja sama dengan Yohanes Surya. "Kami masih menginvestigasi permasalahan ini," katanya.
Menurut Yohanes, dia "meminjam" PT SRI untuk menandatangani perjanjian tersebut karena yayasan tak boleh mengadakan perjanjian dengan bank. Yohanes berkilah salah perhitungan sehingga tak mampu membayar utang KTA ke Mandiri.
Masalah keuangan ini bermula dari besarnya pengeluaran kampus untuk membayar gaji dosen. Yohanes mengakui pembayaran gaji dosen tersendat sejak pertengahan 2014. Walhasil, dana untuk cicilan kredit Mandiri, kata dia, mulai dialihkan untuk membayar biaya operasional kampus.
Deputi Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Irwan Lubis mengatakan bank sebagai pemberi kredit berhak mengadakan perjanjian kerja sama seperti itu. Tapi dia menilai keterlibatan PT SRI-tidak terkait dengan Yayasan Surya sebagai pengelola kampus-dalam perjanjian kerja sama tersebut janggal. "Seharusnya perjanjian kerja sama dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait," tuturnya.
Ketika melihat formulir pengajuan KTA yang ditandatangani orang tua, Irwan Lubis mengatakan Bank Mandiri melakukan kesalahan karena tak mencantumkan dengan lengkap informasi yang harus diketahui orang tua, seperti bunga dan angsuran. "Kami akan menegur Bank Mandiri," ujarnya.
Irwan juga mengatakan Universitas Surya terindikasi menyalahgunakan peruntukan kredit yang mereka terima. Dana KTA itu, kata dia, seharusnya digunakan untuk membiayai pendidikan para mahasiswa selama empat tahun dan tidak boleh dipakai untuk membayar utang dan biaya operasional, termasuk gaji dosen. "Kalau sampai untuk membayar utang, itu penyimpangan," ujarnya. Tapi Irwan tak bisa memastikan ada-tidaknya tindak pidana dalam penyimpangan itu. "Itu sudah ranah penegak hukum," katanya.
PEMBAYARAN gaji dosen Universitas Surya bermasalah sejak tiga tahun lalu. Dalam percakapan di mailing list Universitas Surya yang salinannya diperoleh Tempo, terlihat surat elektronik beberapa dosen yang mengkritik pembayaran gaji yang terlambat. Sebagian bahkan sama sekali tidak menerima gaji lagi.
Pada 18 Oktober 2015, Yohanes Surya akhirnya menawari para dosen mengambil KTA senilai Rp 50-200 juta sebagai ganti pembayaran gaji mereka. Lagi-lagi, Yohanes berjanji kampus akan menanggung pengembalian pinjaman tersebut. Usul itu ditolak para dosen. "Masak, kami terima gaji dari utang yang harus kami bayar sendiri?" kata sejumlah dosen.
Ketika masalah finansial Universitas Surya makin tak tertolong, alih-alih melunasi kewajiban kepada Mandiri, Yohanes malah meminta orang tua ikut menalangi utang kampusnya. Dalam surat elektronik kepada orang tua tertanggal 19 Oktober 2016, Surya meneruskan surat tawaran Mandiri kepada debitor untuk berkomitmen menyelesaikan kewajiban. Beberapa orang tua mahasiswa menyanggupi permintaan itu.
Tempo menemui empat orang tua yang melunasi utang KTA meskipun anaknya menerima beasiswa. "Saya terpaksa melunasi tunggakan sekitar Rp 40 juta karena saya melihat kampus tak beriktikad membayar. Kalau utang itu didiamkan, saya sendiri yang rugi," ujar Kasmin, orang tua mahasiswa jurusan teknologi pangan. "Katanya beasiswa, tapi ujung-ujungnya saya juga yang bayar. Saya merasa ditipu," tutur Suwita Santosa, orang tua lain.
Utang dan bunganya yang terus menumpuk membuat Universitas Surya akhirnya terpuruk. Pada awal 2016, lokasi kampus berpindah ke kantor Unity, yang terletak sekitar dua kilometer dari kampus awalnya yang megah. Di situ, Surya menyewa dua lantai untuk kegiatan perkuliahan. Sedangkan laboratorium dipindahkan ke dua rumah toko di Kompleks Pertokoan Alicante, tak jauh dari sana. Sepuluh dosen dan mantan pengajar yang ditemui Tempo mengatakan perpindahan itu dilakukan karena universitas tak mampu membayar sewa kepada Summarecon sebagai pemilik gedung.
"Saat saya mendaftar, Universitas Surya gembar-gembor menyatakan bahwa gedung itu milik mereka dan akan dibangun lagi gedung untuk riset," ujar Sri Suri, orang tua mahasiswa. Pihak Summarecon belum mau memberi keterangan tentang masalah ini. "Jadwal kami masih padat," kata anggota Staf Humas Summarecon, Ruli.
Di gedung Unity pun, perkuliahan tak sepenuhnya lancar. Surat pengelola gedung pada 8 September 2016 yang diperoleh Tempo menyebutkan kampus masih berutang sewa Rp 288 juta dan pembayarannya sudah telat lima hari. Pemilik gedung, Yuli, mengatakan pembayaran sewa kerap terlambat sehingga pengelola gedung sempat melarang aktivitas Universitas Surya. "Kami kasihan terhadap mahasiswa yang tidak bisa kuliah. Tapi, bagaimanapun, kami harus membayar listrik dan pegawai," tutur Yuli. Tapi Yohanes mengklaim pembayaran selalu tepat waktu.
Ujung-ujungnya, mahasiswa Universitas Surya pun mulai pindah ke kampus lain. Belasan orang tua yang ditemui Tempo mengaku khawatir terhadap masa depan kuliah anaknya. Sri Suri, misalnya, pada pertengahan Juni lalu memindahkan anaknya ke kampus lain. "Yang mengurus kepindahan bersama saya saja ada 17 orang," ujarnya.
Sebagian mahasiswa yang tersisa pun gundah. Tasia, misalnya, mahasiswi angkatan 2014, bercerita malas mengikuti ujian tengah semester pada awal Juni lalu karena melihat kondisi kampusnya. "Saya sudah ’patah hati’," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo