Lengkingan tangis itu menerobos ke dalam rumah keluarga Tjirtodihardjo di suatu pagi. Pak Tjirto segera menghambur ke halaman untuk membujuk anak lelakinya yang tengah meraung-raung sembari berguling di atas pasir. Alih-alih mereda, bujukan ayahnya membuat lengkingan si Bendol, nama bocah itu, kian menggila. "Tabiatnya memang keras sejak kecil," tutur Suparto Tjirtodihardjo, kakak kandungnya. Adapun Bendol, bocah lelaki yang keras hati itu, di kemudian hari ternyata sukses menjadi "priayi besar": ia memerintah wilayah DKI Jakarta sebagai gubernur selama lima tahun sejak 1997.
Ketika periode kekuasaannya berakhir pertengahan tahun ini, Sutiyoso kembali mencalonkan diri. Sebagian warga Jakarta kontan menentang niatnya itu. Tentangan itu terus mengalir ke kantor DPRD di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, hingga pekan ini. Ratusan bahkan ribuan demonstran meminta agar para anggota parlemen daerah itu tidak memenangkan Sutiyoso.
Beberapa orang terdekatnya, bahkan keluarganya, pernah juga mencoba membujuk jenderal berbintang tiga ini agar menyurutkan niatnya. Tapi untuk apa keder kepada sekadar demonstran jika hati Megawati pun dapat dipikatnya? Padahal masih terang dalam ingatan orang, betapa Ketua Umum PDIP itu menangis dengan suara tertahan enam tahun silam ketika kantor PDIP dihancurkan. Sejumlah anggota partai itu hilang sampai kini—dalam sebuah "serangan subuh" pada 27 Juli 1996.
Adapun Letnan Jenderal Sutiyoso ketika itu menjadi Pangdam Jakarta. Ia dianggap bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu. Polisi bahkan mencatat namanya sebagai salah satu tersangka. Tapi demi Sutiyoso, Megawati bersedia melupakan masa silam. Dia bukan saja memaafkannya. Ia memberi Sutiyoso sebuah "brevet wajib" yang harus dimiliki setiap calon Gubernur DKI Jakarta: restu presiden.
Sutiyoso memang fenomena yang menarik. Dia salah satu sosok paling kontroversial dalam sejarah gubernur Ibu Kota. Ia datang ke parlemen dengan rapor yang berhiaskan angka merah (lihat Di Balik Lipatan Peraturan). Toh, ia tak perlu repot-repot memikat hati tuan-tuan anggota parlemen di Kebon Sirih. Para anggota parlemen sudah jatuh hati saja, biarpun rapor Bang Yos—sebutan Sutiyoso—bocel angka-angkanya. Jadi, ribuan orang silakan berdemo di Kebon Sirih atau di pojok Jakarta mana pun. Tapi suara untuk Sutiyoso ibaratnya sudah bulat bentuknya, bukan lonjong atawa pipih.
Kontroversi dan keberuntungan. Dua hal yang tampaknya selalu melekat pada Sutiyoso. Pada Juli 2000 misalnya, anggota DPRD DKI pernah menolak laporan pertanggungjawabannya (lihat Hikayat yang Terendam Banjir)—walau sebulan kemudian mereka menerimanya setelah direvisi. Anggota parlemen daerah ini pula yang kini memberi dukungan suara kepadanya. Artinya apa? Secara logika, mestinya kinerja Sutiyoso dalam dua tahun terakhir begitu luar biasa sehingga tuan-tuan anggota parlemen itu terhenyak dan memutuskan memilihnya.
Prestasi? Memimpin Jakarta lima tahun, mustahil tanpa prestasi. Tapi kegagalan seseorang—dalam pelayanan publik, apalagi—kerap lebih kuat melesak ke dalam memori ketimbang prestasinya. Masih segar dalam ingatan bagaimana Ibu Kota tenggelam di sebuah kolam raksasa yang menghancurkan ribuan rumah sepanjang Desember 2001 hingga Januari 2002.
Media-media massa Ibu Kota mencecar Sutiyoso dengan kata-kata paling pedas karena lambannya kerja Gubernur dan para punggawanya. Sutiyoso tidak harus setrengginas Wali Kota New York, Rudolf Guiliani. Rudi—begitulah para New Yorker menyebut wali kota mereka ini—tiba di lokasi World Trade Center (WTC) hanya beberapa detik setelah menara kembar kebanggaan Amerika Serikat itu amblas ke tanah oleh ledakan pesawat para pembajak. Rudi mengendalikan seluruh operasi penyelamatan dari posko yang ia dirikan beberapa puluh meter dari WTC. Nyawanya nyaris melayang tatkala posko itu ikut rontok, terkubur dalam reruntuhan gedung.
Sutiyoso bukan Guiliani. Tapi ia tidak perlu mengatakan, "Ini kan banjir siklus lima tahunan," ketika warga Jakarta megap-megap di tengah air yang membalap melewati atap rumah mereka. Gara-gara banjir, Sutiyoso menuai gugatan class action dari warga. Sampai hari ini persidangan kasus itu masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan banjir hanya satu dari angka merah gubernur yang pernah memerintah di bawah empat presiden ini: Soeharto, Abdurrahman Wahid, Habibie, dan Megawati.
Di bawah pemerintahan Sutiyoso, wajah Jakarta bukan saja makin menakutkan. Harta milik kota ini juga menyusut (lihat Simsalabim Aset Kota). Kejahatan merajalela. Bom meledak di mana-mana. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Pemda DKI kian meruyak. Kemacetan lalu-lintas menjadi-jadi. Sutiyoso juga ikut bertanggung jawab atas sejumlah kawasan jalur hijau dan daerah resapan hujan yang berubah menjadi kawasan bisnis sehingga mengundang banjir.
Penelusuran TEMPO menemukan data yang menunjukkan bagaimana di masa pemerintahannya terjadi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 1999-2010, yang memutihkan berbagai pelanggaran tata ruang di masa sebelumnya.
Dalam rencana itu (dokumen ini ada pada tim investigasi TEMPO) terlihat perubahan jalur hijau di kawasan Slipi, Jakarta Barat, menjadi Mal Taman Anggrek. Juga jalur hijau di kawasan Senayan yang berubah menjadi Plaza Senayan dan Hotel Mulia. Tak mengherankan jika Gubernur dinilai ceroboh dalam mengelola tanah dan bangunan milik pemda.
Bahkan, menurut bekas Kepala Dinas Tata Kota Rio Tambunan, "dosa" Bang Yos—sebutan Sutiyoso—paling besar adalah tak melakukan apa pun untuk mengembalikan aset-aset pemda yang bocor itu. Padahal tim asistensi pengamanan keberadaan aset pemerintah Provinsi DKI Jakarta—anggotanya antara lain bekas Gubernur Ali Sadikin dan Rio sendiri—telah membekalinya dengan sejumlah masukan. Sampai-sampai Rio mencurigai Sutiyoso ikut "bermain" mengubah beberapa fasilitas sosial dan fasilitas umum di Jakarta menjadi bangunan komersial. Sutiyoso sendiri mengaku belum pernah menerima masukan itu. "Saya malah baru tahu dari Anda," ujarnya kepada TEMPO.
Salah satu contoh adalah pembangunan North Jakarta International School (NJIS) di Kelapa Gading, Jakarta Utara (lihat Simsalabim Aset Kota) yang menyabot aset pemda. Ini salah satu poin yang dipertanyakan anggota dewan kepadanya saat Sutiyoso membacakan laporan pertanggungjawaban. Saat itu Gubernur menjawab "sukar melacak". Padahal, kata Rio, "Dia bisa melacak dengan mudah dengan membandingkan peta rencana umum tata ruang kota yang lama dengan baru." (Tim investigasi TEMPO menyimpan kedua peta tersebut.)
Sekarang, mari kita berpindah ke kantor Pemda DKI, sebuah areal yang membuat Sutiyoso juga tidak habis-habisnya menerima cercaan. Pungutan liar adalah kisah lama di Pemda DKI yang tetap saja meruyak di bawah pemerintahan gubernur ini.
Berikut adalah sebuah contoh. Dua tahun lalu, Shinta, seorang pengusaha bidang kehumasan, pernah mengikuti tender proyek di sebuah badan usaha milik daerah. Proyek ini ditawarkan Pemda DKI untuk membersihkan citra pemerintah setempat yang sudah buram. Shinta ditawari proyek sebesar Rp 250 juta. Tapi direksi badan usaha itu yang ditemuinya terus mendesak agar ia memberikan diskon. Alasannya, kondisi keuangan badan usaha tersebut sedang cekak semenjak dihantam krisis ekonomi. Shinta setuju memepetkan harga sampai Rp 200 juta.
Si direksi buru-buru menjelaskan pembagiannya. Setengah dari uang itu harus disetorkan kepada "Bos Besar" alias Gubernur Jakarta. Bisikan dari direksi yang korup itu bisa saja fitnah yang tidak berdasar. Apalagi, kekayaan bukanlah hal baru bagi Sutiyoso. Ia lahir dari sebuah keluarga priayi desa yang berada di Jawa Tengah. Ayahnya seorang guru yang memiliki bertumpuk-tumpuk sawah dan kerbau. "Saya sudah jadi orang berpunya jauh sebelum menjadi Gubernur Jakarta," ujar Sutiyoso dengan tenang kepada TEMPO.
Toh, sepak terjang anak buahnya yang bermental tukang palak tentu tidak bisa lepas dari pertanggungjawabannya. "Pejabat pemda itu hanya ongkang-ongkang dan mendapat uang ratusan juta," ujar Shinta dengan gemas. Pengusaha lain bahkan bersumpah kepada wartawan yang melakukan investigasi ini, ia tak sudi lagi ikut proyek di lingkungan Pemda DKI Jakarta. Ia merasa para pejabatnya benar-benar memeras para pelaksana proyek secara kejam.
Padahal laba yang diperoleh paling-paling 20 persen dari seluruh nilai proyek. Keuntungan itu tak setimpal dengan banyaknya energi dan waktu yang dihabiskan di proyek tersebut. Sementara itu, para pejabat pemda sendiri tanpa melakukan apa-apa bisa memperoleh duit hingga 100 persen dari nilai proyek. "Ini kan namanya pemerasan," katanya. Yang lebih menyedihkan, ketika ia bertanya mengapa mark-up-nya begitu besar, jawaban yang diberikan oleh pejabat pemda yang biasa "bernegosiasi" dengan dia adalah: "Itu kan duit negara. Emang gue pikirin."
Penggelembungan nilai proyek juga nyaris terjadi dalam rencana renovasi Pasar Induk Kramat Djati. Ketika itu pihak pemda menyodorkan anggaran perbaikan sebesar Rp 200 miliar. Tapi proposal itu ditolak oleh Badan Pengawas Daerah. Mereka menghitung, sejatinya biaya renovasi itu cuma sekitar Rp 130 miliar-140 miliar. Laporan itu kontan diangkat oleh para anggota dewan dalam pertemuan dengan Gubernur. Akhirnya rencana renovasi pun batal. Dalam kasus ini Sutiyoso dinilai melanggar peraturan daerah yang menyebutkan Gubernur DKI tak boleh merangkap jabatan, untuk menghindari benturan kepentingan. Kenyataannya, ketika kasus itu terjadi, Sutiyoso merangkap sebagai Ketua Badan Pengawas PD Pasar Induk Kramat Djati. Toh, semua cacat ini tak menyurutkan dukungan kepadanya.
Dalam surat rekomendasinya kepada Dewan Pimpinan Daerah PDIP DKI Jakarta, Dewan Pimpinan Cabang PDIP se-Provinsi DKI Jakarta, serta seluruh anggota Fraksi PDIP di DPRD, Megawati misalnya meminta mereka semua mendukung Sutiyoso sebagai satu-satunya calon gubernur dari PDI Perjuangan. "Kepada mereka yang tidak mengindahkan instruksi dan melakukan aktivitas keluar dari kebijakan ini akan diberikan sanksi organisasi," demikian ancaman Mega kepada kader partai yang coba-coba membandel.
Tapi, Sutiyoso tak cuma bergantung pada Megawati. Ia sendiri aktif merangkul anggota dewan supaya memilihnya kembali.
Sumber TEMPO di DPRD DKI terang-terangan mengaku kepada TEMPO bahwa iming-iming untuk memberikan suara kepada Sutiyoso amat menggiurkan. Angkanya bergerak antara Rp 500 juta dan Rp 600 juta. Tapi cara pembayarannya cukup cerdik. Si anggota dewan cuma akan menerima semacam uang muka terlebih dahulu. Sisanya dilunasi belakangan setelah ia terbukti benar-benar memilih Bang Yos. Bagaimana cara mengeceknya? Para wakil rakyat itu akan diminta menulis semacam kode-kode di kertas pemilihan. Terhadap tudingan yang menyesakkan itu, Sutiyoso menjawab: "Uang sebanyak itu mendingan saya pakai berlibur ke luar negeri dengan keluarga," ujarnya kepada TEMPO.
Hal inilah, menurut sumber tersebut, yang membuat pembahasan mekanisme pemilihan berlangsung alot dan panas. Para wakil rakyat yang mengetahui siasat kotor itu menolak pemilihan dengan cara menulis nama calon gubernur dan wakil gubernur di atas kertas. "Nanti akan ada komentar-komentar tambahan, seperti Sutiyoso yes, atau Sutiyoso oke, yang menjadi kode permainan kotor mereka," ia menambahkan.
Tapi, kalaupun benar menghambur-hamburkan fulus agar terpilih kembali menjadi gubernur, dari mana Bang Yos memperoleh uangnya? Bujet untuk gubernur setahun, seperti tertera dalam APBD, diketahui cuma Rp 7,3 miliar. Itu sudah termasuk biaya pemeliharaan rumah, kendaraan, kesehatan, dan biaya operasional. Gajinya tidak lebih dari Rp 200 juta setahun.
Salah satu calon yang ikut bertarung pekan ini membisikkan, Tommy Winata adalah sosok yang selalu rela bermurah hati menjadi sumber finansial bagi calon-calon gubernur yang ia nilai paling kuat. Dalam beberapa kali wawancara dengan TEMPO—termasuk wawancara terakhir tiga pekan lalu—Tommy membantah urusan sokong-menyokong calon gubernur. Ia juga membantah terlibat dalam perjudian haram. Tentang tuduhan itu, Sutiyoso menjawab: "Silakan buktikan. Jangan asal omong. Dalam konteks pencalonan saya sebagai gubernur, sebagai calon kuat, wajar saya ditembaki banyak orang." Apa pun cerita di baliknya, satu hal sudah pasti: langkah Sutiyoso untuk "kembali ke Jakarta" nyaris tanpa halangan.
Jika prestasi seorang gubernur boleh diukur dari besarnya dukungan anggota parlemen dan restu presiden, calon terkuat Gubernur Jakarta periode 2002-2007 ini telah memecahkan rekor gemilang: bahkan Megawati, yang bersama ribuan mahasiswa menumbangkan Soeharto lima tahun silam, bisa silap mata saat membedakan angka biru dan merah dalam rapor Sutiyoso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini