Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dari Bundaran Hotel Indonesia

Renovasi Bundaran Hotel Indonesia menjadi contoh betapa korupsi dalam pemerintahan Sutiyoso begitu renyah—dan subur.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai tentara, Sutiyoso paham cara menjaga citra. Ia tersenyum, juga tertawa, tapi semuanya seperti diukur sehingga memberi kesan ia sulit diajak bercanda. Di kantornya di kawasan Monas, Jakarta, ia dikenal sebagai gubernur yang jarang guyon. Ketika ia meresmikan selesainya renovasi Bundaran Hotel Indonesia akhir Juni lalu, kesan itu luntur. Tak cuma tertawa, ia juga menyanyi, bahkan berajojing mengikuti irama Poco-Poco. Ratusan orang (kebanyakan pejabat pemerintah daerah) berkumpul, lampu warna-warni. Sutiyoso lebur dalam sukacita. Pancuran Hotel Indonesia (HI) merupakan salah satu proyek kebanggaan Sutiyoso. Ia bisa membenahi kawasan padat lalu lintas itu menjadi lebih asri dan enak dilihat tanpa, katanya, "membebani keuangan pemda". Proyek yang menghabiskan Rp 14,6 miliar itu seluruhnya dibiayai PT Media Indra Buana, sebuah perusahaan swasta. Sebagai imbalan, Media Indra mendapat izin penggunaan lahan untuk papan reklame di sembilan tempat strategis seperti Jalan Asia-Afrika (Senayan), Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Rasuna Said di segi tiga emas. Di atas kertas, Jakarta seperti diuntungkan dengan barter itu. Nilai pasar kesembilan titik reklame itu, jika dihitung dengan masa pakai 3-5 tahun, besarnya cuma Rp 14,038 miliar. Dengan kata lain, Jakarta mendapat laba 562 juta. "Ini proyek rugi, tapi demi idealisme tidak mengapa," kata Nyomananda, Direktur Media Indra. Betul begitu? Nanti dulu. Barter renovasi bundaran dengan lahan baliho itu ternyata menyimpan sejumlah kejanggalan. Soal pemilihan Media Indra, misalnya. Tak seperti layaknya proyek besar, renovasi Bundaran HI tak ditawarkan melalui tender. Gubernur main tunjuk begitu saja. Alasannya? "Kita sudah tawarkan kepada banyak pihak, tapi hanya dia yang sanggup," ujar Sutiyoso kepada TEMPO. Selain itu, kata Nyoman, Media Indra layak dipilih karena punya pengalaman dalam bisnis papan reklame. Keterangan yang terakhir itu memang tak keliru, meskipun logikanya bisa menyesatkan. Nyoman memang menguasai sejumlah titik lahan reklame penting di Jakarta, termasuk Bundaran Hotel Indonesia, hot spot yang paling diincar pemasang iklan. Tiap tahun Media Indra membayar pajak reklame Rp 20 miliar-Rp 30 miliar, sepertiga dari pemasukan Jakarta dari pajak papan iklan. Tapi, ini soalnya: bukankah Jakarta membutuhkan kontraktor yang bisa menata Bundaran Hotel Indonesia, dan bukannya perusahaan papan reklame? Memang betul, Jakarta menawarkan lahan pemasangan papan iklan sebagai bayaran ongkos renovasi. Tapi bukankah itu bisa saja dijual lewat lelang? Kepala Biro Perlengkapan Pemda DKI Jakarta, Margani M. Mustar, mengakui kesembilan titik iklan itu mestinya dilelang agar mendatangkan pemasukan lebih besar. Nilai yang dijadikan patokan harga barter sebetulnya merupakan harga minimal yang biasa dipakai sebagai dasar penawaran tender. "Biasanya," kata Margani, "harga jualnya lebih tinggi dari harga dasar." Ketua Serikat Pekerja Reklame Jakarta, Didi Oerip Affandi, membenarkan pernyataan Margani. Ia punya hitungan, jika dilelang, paling kurang Jakarta akan memperoleh pemasukan dua kali lipat. Anggota DPRD DKI, Marjuan Bakri, entah dari mana, malah punya angka yang lebih fantastik: kesembilan lahan papan reklame itu bisa laku Rp 80 miliar, enam kali harga yang dibayar Media Indra. Mudah dipahami jika penunjukan Media Indra mengundang tanda tanya besar. Apalagi enam dari sembilan daerah itu merupakan daerah "haram" bagi pemasangan iklan. Keenam tempat itu adalah Jalan Rasuna Said-Latuharhari, Jalan Asia Afrika-Hangtuah, Jalan MT Haryono, Jalan Tomang Raya, Jalan Kemang Raya, dan Jalan Gatot Subroto di dekat Gedung Departemen Kehutanan. Penetapan kawasan bebas papan iklan tertera dalam SK Gubernur Nomor 132 Tahun 2000, yang diteken Sutiyoso sendiri. Dalam keputusan itu Gubernur menetapkan 163 kawasan yang diizinkan dipasangi papan reklame. Selain menetapkan lokasi, Gubernur juga menentukan nilai lelang, nilai sewa, dan pajak reklame tiap-tiap lokasi. Nah, keenam titik tersebut berada di luar kawasan yang sudah dipilih berdasarkan pertimbangan kelayakan, estetika, dan faktor ekonomis itu. Kepala Dinas Pengawasan Pelaksana Bangunan DKI Jakarta, Djumhana, membenarkan soal kawasan bebas papan reklame itu. Papan iklan di Jalan MT Haryono, misalnya, jelas-jelas melanggar. Djumhana mengatakan, mereka yang membangun papan iklan di jalan protokol itu akan terkena denda 100 persen—tak jelas apakah papan reklamenya akan dibongkar atau tidak. Soal enam titik strategis yang berada di luar daerah halal iklan itu, Nyoman, sekali lagi, punya dalih. Ia merasa tak bersalah karena mendapat dispensasi Gubernur atas jasanya menata air mancur Hotel Indonesia. "Kami sudah mendapat rekomendasi. Izinnya memang belum ada, tapi biasanya terbit dua bulan kemudian," tuturnya. Ia bahkan menyodorkan dokumen: surat pemberitahuan mengenai penerbitan sepuluh titik reklame baru, termasuk enam titik terlarang yang diteken pejabat pemda. Sutiyoso mengakui, Gubernur memang punya hak menambah titik reklame baru. Hak ini dimuat dalam Surat Keputusan Gubernur 8 Mei 2001, yang menyatakan Gubernur dapat mempertimbangkan dispensasi terhadap izin penyelenggaraan reklame berdasarkan hasil kajian tim ahli serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan pembangunan fisik kota. Tentu saja, surat keputusan ini bisa memandulkan kekuatan SK tentang pembatasan papan iklan yang dibuat tahun sebelumnya. Dengan aturan baru tersebut, praktis penetapan 163 titik reklame menjadi sia-sia. Keputusan itu harus ditaati publik, tapi bisa dianulir oleh Gubernur. Soal kajian tim ahli, sebenarnya itu hanyalah lembaga tak bergigi yang bisa ditinggal Sutiyoso kapan saja. Persoalannya, apakah "penekukan" SK tersebut memberi petunjuk bahwa Sutiyoso memperkaya diri sendiri dengan merugikan kepentingan publik. Sulit membuktikannya. Namun, sulit dibantah, penunjukan Media Indra sebagai kontraktor renovasi Bundaran HI dan harga jual lahan iklan yang begitu rendah bisa menimbulkan dugaan macam-macam—termasuk korupsi. Jika Sutiyoso paham menjaga citra, mestinya ia tahu korupsi tak akan memelihara harga dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus