Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOMMY Soeharto tak pernah sendirian. Juga di saat-saat kejatuhannya. Tatkala dia digiring di Polda Metro Jaya pada Desember 2001, orang-orang menyaksikan drama itu di televisi dan terperangah: putra kesayangan (mantan) presiden itu mengenakan seragam kaum paria-"baju dinas"tahanan polisi dan penghuni bui. Di mal-mal, orang bertaruh sembari menenggak capuccino bahwa seragam biru itu bakal menyapu bersih kegemilangan Tommy dan membuat dia kehilangan segala-galanya.
Tapi pria itu tidak-atau boleh jadi belum-kehilangan segala-segalanya. Orang-orang dekat dia bahkan terus bersetia kepadanya. Seperti planet yang mengitari matahari, mereka ikut mengorbit berputar, naik dan turun, di tengah pusaran kehidupan Tommy. Mereka ada bersamanya dari kamar besuk penjara hingga ruang sidang. Di antaranya-tentu saja-Ardhia Pramesti Regita Cahyani alias Tata. Dia istri dan ibu dari anak-anak Tommy. Ada pula nama seperti Sulaeman Wahab Al Jabri (Leman), Dion Hardy, Indriyani Yastiningtyas (Aan). Ketiganya adalah kenalan lama yang mengurus segala tetek-bengek keperluan Tommy, mulai dari baju kotor, makanan, sampai bisnis. Trio ini ibarat penyambung lidah, tangan, mata, telinga, juga kaki sang tokoh utama.
Alhasil, "jam kerja" mereka pun tidak umum. Nyaris setiap hari mereka dalam kondisi siap sedia mendarmabaktikan dirinya demi "Si Mas", panggilan akrab mereka buat Tommy. Di buku tamu penjara, nama Sulaeman dan Aan paling banyak tercatat sebagai pembesuk rutin Tommy. Napi istimewa ini juga punya hubungan unik dengan beberapa wajah yang tak pernah muncul ke penjara. Alex Setiawan, misalnya. Pemilik sebuah salon di Surabaya ini satu-satunya orang yang dipercaya Tommy untuk mengurus rambutnya. Dan ada Lany Banjaranti, satu dari sekian banyak koleksi wanita sang napi yang paling banyak dicecar polisi setelah Tommy digelandang polisi.
Berikut profil singkat mereka.
Sulaeman wahab Al Jabri(40-an tahun)
Di mana Tommy berada, Sulaeman hampir pasti ada di dekatnya. Di ruang sidang, baik ketika masih di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun setelah dipindah ke Arena Pekan Raya Jakarta, Leman-begitu ia disapa-selalu duduk di deretan bangku pengunjung paling depan bersama pengawal, keluarga, dan teman-teman Tommy yang lain. Tubuhnya kurus. Rambutnya memutih. Tingginya sekitar 160 sentimeter.
Tak banyak yang bisa digali dari pria keturunan Arab-Betawi ini. Dia menolak diwawancarai TEMPO. "Terserah, kalian mau tulis apa saja silakan," katanya. Sedikit keterangan mengenai dirinya diperoleh dari beberapa tetangganya di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Di situ dia dikenal sebagai Haji Leman.
Rumahnya yang bertingkat dua dan dicat hijau campur cokelat muda gampang dicari. Di atas pilar kayu jati yang menyangga atap terdapat sebuah papan nama kayu, tertulis S. Aljabri. Di halaman luar terdapat tiga buah pohon palem yang tingginya hampir sama, dengan diameter sekitar satu meter. Di balik pagar halaman terlihat sebuah sedan Timor perak dan sebuah motor besar Harley Davidson warna hitam. Salah satu mobil yang kerap dia gunakan adalah van KIA Carens.
Selain memiliki rumah di Cempaka Putih itu, Leman diketahui punya setidaknya empat rumah lagi. Menikah dengan wanita Betawi keturunan Arab, Leman memiliki lima putra dan satu putri. Rata-rata mereka bersekolah ke luar negeri. Di mata para tetangganya, keluarga ini dikenal kaya dari dulu.
Setiap hari raya Idul Adha, keluarga Leman rajin menyumbang beberapa ekor hewan korban seperti sapi dan kambing. Mereka juga kerap membagikan sejumlah uang kepada warga miskin.
Menurut salah satu anak buahnya, Aris, bosnya mengenal Tommy Soeharto di arena reli dan balap mobil, sekitar awal 1980-an. Leman punya beberapa toko aksesori mobil. Dari Lemanlah, perlengkapan mobil pereli yang nyaris tak pernah menang itu-juga teman-temannya sesama pembalap-dipasok.
Dari informasi polisi, diketahui bahwa Sulaeman adalah imigran Timur Tengah yang masuk ke Indonesia sekitar 1970-an, dan dekat dengan keluarga Cendana, khususnya Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. Tapi tak jelas sejak kapan dan bagaimana dia bisa masuk ke lingkungan keluarga tersebut.
Indriyani Yastiningtyas (32 tahun)
JABATAN resmi ibu dua anak ini adalah sekretaris Tommy di Grup Humpuss sejak 1995. Tapi ia bukan sembarang sekretaris. Menurut Abdul Wahab, Presiden Direktur Humpuss, wanita yang akrab dipanggil Aan ini memang sengaja diberi tugas mengurus pelbagai keperluan Tommy selama di penjara. Dialah yang mencarikan obat atau makanan kesukaan bosnya.
Suatu ketika Aan diminta mengirimkan gule kepala kambing buatan Wahab, yang memang jago masak, ke Cipinang. Sekali waktu, ia terlihat mengantarkan anak-anak Tommy menjenguk. Kali lain, TEMPO memergokinya di ruang sidang membawa sebuah bungkusan berisi peralatan sembahyang buat Tommy. "Aan itu lebih tepat disebut sebagai house keeper atau malah pembantu umum," kata Wahab.
Aan juga menjadi "jemba-tan" antara Tommy dan perusahaan-perusahaan miliknya. Kalau Tommy ingin tahu laporan atau berita tentang perusahaan, lewat Aanlah sumbernya. Tapi untuk masalah-masalah yang amat vital mengenai manajerial perusahaan, pesan tak disampaikan lewat warga Depok Alam Permai itu. "Untuk urusan ini, manajemen sendiri yang ke penjara," kata Wahab.
Bersama suami dan kedua anaknya, dia menempati sebuah rumah di Depok Alam Permai, Jawa Barat. Mereka baru saja membeli rumah baru di lokasi yang sama, hanya agak lebih besar. Lahir di Sigli, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 32 tahun silam, Aan perempuan yang ramah dan supel. Sipir-sipir penjara selalu siap mengganjarnya senyum lebar bila bertemu.
"Setiap hari mulai pukul 09.00 hingga sore hari, Aan selalu berada di dalam menjenguk Tommy," kata Bu Achadi, pemilik warung di depan penjara. Ia mengemudikan sendiri sedan Timornya. Tidak seperti pembesuk narapidana pada umumnya, Aan tidak pernah meninggalkan kartu pengenal di pos jaga. Sayang, mulutnya terkunci rapat-rapat di depan TEMPO. "Saya tak mau ngomong sama wartawan," katanya.
Alexander Setiawan (53 tahun)
DILAHIRKAN dengan nama Tyung Gie Lek, Alex anak ketiga dari sepuluh bersaudara pasangan Tyung Hwa Sen dan Latinigati. Lahir di Ende, Flores, 53 tahun yang lalu, bapak dua anak ini mengenal Tommy sejak pertengahan 1985. Waktu itu jagoan Cendana itu datang bersama beberapa pengawalnya ke salah satu salon Alex di Jalan Hasyim Asyari, Jakarta Pusat. "Mas Tommy mengaku tertarik dengan potongan temannya yang pernah saya cukur, beliau lantas ingin mencoba," Alex mengenang pertemuan pertamanya.
Tommy puas pada hasil garapan Alex. Sejak itu, dia hanya memercayakan urusan rambutnya pada penata rambut yang berdiam di Surabaya itu. Pemilik 22 salon itu tak pernah minta bayaran untuk jasanya mencukur Tommy. "Masa, sama sahabat minta dibayar," katanya beralasan. Ia hanya mau dibelikan tiket pesawat Surabaya-Jakarta pulang-pergi.
Bagi Alex, Tommy adalah langganan paling istimewa. Kapan pun dibutuhkan, Alex siap datang. Sudah tak terhitung berapa kali ia keluar-masuk rumah Tommy. Saat Tommy menikahi Tata, Alex pula yang menata rambut si pengantin pria. Sebagai imbalan, Alex selalu diundang ke Cendana bila putra kesayangan Soeharto itu berulang tahun. Biasanya ia lalu diberi bingkisan-tak pernah berbentuk uang-yang rata-rata berharga mahal. "Saya pernah diberi jam tangan dari luar negeri," kata Alex. Oleh Tommy, dia juga dilibatkan dalam bisnis proyek air bersih di Umbulan, Pasuruan, Jawa Timur, pertengahan 1990-an, sebagai salah satu direktur. Tapi proyek tersebut berhenti di tengah jalan. "Mas Tommy gagal, kita ikut gagal," ujarnya kepada TEMPO.
Bagaimana keduanya menjalin kontak? Biasanya Tommy menyuruh salah satu sekretarisnya untuk menelepon Alex, kecuali ketika ia baru saja tertangkap polisi November tahun lalu. Waktu itu Elza Syarief, pengacara Tommy, yang menghubungi Alex agar segera terbang ke Jakarta dan menemui pelanggannya di ruang reserse Polda Metro Jaya. Alex mengaku itu pertemuan pertamanya sejak Tommy buron.
Dion Hardi (41 tahun)
Dia betul kawan setia Tommy Soeharto. Dia tetap bersama Tommy tatkala banyak sahabat yang menyingkir. Dari catatan sipir penjara, diketahui bahwa dia hampir setiap hari berada di Cipinang.
Pertalian keduanya terjalin sejak remaja. Tommy dan Dion adalah kawan sekelas di SMP Perguruan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada akhir 1970-an. Berpisah sejak SMU, keduanya kembali bertemu pada tahun 1990-an, ketika Dion sudah menjadi pegawai negeri di Badan Pertanahan Nasional. Pertemuan itu menentukan jalan hidup Dion selanjutnya. Dia mencopot seragam pegawai negerinya dan memilih membantu Tommy. "Mana bisa nolak, yang minta Bos," teman karib Dion menirukan ucapannya. Karibnya ini pula yang menuturkan bahwa Dion pernah menjadi Direktur Utama PT Mampang Nugraha Prima, sebuah perusahaan milik Tommy.
Dan pilihan Dion untuk bekerja dengan Tommy bukan langkah yang jelek, setidaknya dari segi ekonomi. Dari sebuah rumah biasa di Cinere, ia membeli satu kediaman megah, berhalaman luas, berpintu otomatis, komplet dengan kolam renang, di kawa-san Ampera, Kemang, Jakarta Selatan. Dion sempat pula dipercaya menangani tata niaga cengkeh, dan terakhir menjabat Sekretaris Jenderal Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Alhasil, kediaman Dion digeledah polisi di masa-masa Tommy buron.
Namanya makin terkenal tatkala tulisan tangannya ditemukan polisi berada di brankas di rumah kontrakan Jalan Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Isi catatan itu adalah detail pemakaian uang Tommy sebesar sekitar Rp 12 miliar. Sejak itu, Dion harus bolak-balik berurusan dengan polisi. Tokoh ini juga diperiksa polisi sebagai saksi dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Kartasasmita. Motor yang digunakan oleh Maulawarman dan Noval Hadad-dua terdakwa yang dituduh membunuh Kartasasmita atas order Tommy-ditemukan di rumahnya. Sejak itu dia jarang terlihat oleh para tetangganya. Dia juga menolak keluar tatkala TEMPO mendatanginya untuk sejumlah konfirmasi. "Bapak tidak enak badan," ia berpesan melalui seorang penghuni rumah tersebut.
Lany Banjaranti (27 tahun)
Bila dibandingkan dengan deretan perempuan Ibu Kota yang gemerlap dalam hidup Tommy, Lany adalah gadis kota kecil yang melenting ke Ibu Kota dan menjadi populer karena pertaliannya dengan Tommy. Ternyata, nona yang "biasa-biasa saja" dari Lhokseumawe ini yang paling banyak dicecar polisi tatkala Tommy buron. Rumah gadis ini di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat, pernah dua kali digerebek polisi yang tengah mengejar si anak Cendana. Di mana Lany kini berada?
Berkali-kali TEMPO datang menemuinya di Jalan Dempo maupun Joglo, Jakarta Barat. Namun bayang-bayang gadis itu tak pernah muncul. Seorang pria-tetangga sebelah mengidentifikasinya sebagai Karimuddin, ayah Lany-membuka pintu rumah mewah di Joglo dan membantingnya di depan hidung reporter mingguan ini, yang mencoba mewawancarai Lany. Mungkin pak tua itu sudah lelah. Bahkan tetangga sebelah pun mengaku penat menghadapi pertanyaan polisi, intel, dan wartawan yang bolak-balik ke situ mencari Lany Banjaranti. Siapa sesungguhnya gadis itu?
Penelusuran tim investigasi TEMPO di daerah kelahiran Leni-nama kecil Lany-menunjukkan kisah-kasih Lany dan Tommy bukan sekadar gosip murahan. Dia anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Karimuddin dan Cut Jumiati. Sejak kelas satu SMU, gadis ini kerap dipilih sebagai "dara Aceh" yang menyambut tamu penting ke daerahnya. "Dia itu cantik kayak orang Jepang," kata seorang bekas gurunya di SMU Negeri I Lhokseumawe.
Sumber di sekolahnya menyebutkan pertemuan dua sejoli itu dimulai ketika Lany duduk di kelas dua SMU. Saat itu kepala sekolah mendapatkan surat dari sekretariat daerah yang meminta Lany menjadi pengalung bunga Tommy. Pengusaha itu datang untuk meresmikan pabrik PT Humpus Aromatic di Blang Lancang, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe. "Saya masih ingat, Leni memakai baju Aceh warna hitam," kata guru tersebut-dia menolak di-sebut namanya.
Pertemuan Lany dengan Tommy kembali berulang tatkala Kongres Ikatan Motor Indonesia 1994 dilangsungkan di Banda Aceh. Kali ini Tommy mengajak gadis itu ke Jakarta. Keluarganya di Aceh menuturkan, tadinya orang tua Lany menganggap Tommy akan serius membawa putri mereka ke pelaminan. Di kota kabupaten itu sempat tersiar keras kabar Presiden Soeharto bakal datang ke Lhokseumawe untuk melamar. Seluruh aparat Pemda repot. Panitia penyambutan pun dibentuk-setidaknya itu yang dituturkan salah satu anggota panitia tersebut kepada TEMPO.
Namun kabar lamaran tak kunjung datang. Hingga suatu hari, pada April 2001, orang tua gadis itu syok berat tatkala melihat si pembalap sudah menggandeng gadis lain ke pelaminan. Kisah cinta Aceh-Jakarta terhenti begitu saja. Sampai Lany muncul ke Polda setahun silam, sebelum Tommy digelandang ke tahanan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo