Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepotong tumpeng, semangkuk gulai. Sejumlah pengawal, penasihat spiritual, ahlinujum, bahkan juga sekretaris. Apa pun yang diinginkan Tommy Soeharto di Penjara Cipinang, tampaknya tak satu pun yang tidak kesampaian. Jangan kata cuma fasilitas, jam kunjung di luar batas aturan, atau sekadar makanan klangenan. Bahkan tukang cukur bisa saja diterbangkan langsung dari Surabaya. Seorang sekretaris bisa datang saban hari, ”membuka” kantor darurat di Ruang Tamu Khusus Tommy, dari pagi hingga jauh malam kalau perlu.
Barangkali hanya satu yang belum bisa dinikmati: keluyuran keluar penjara—seperti orang bebas murni. Tapi ini pun tak menghalangi Tommy untuk melongok, berhubungan, atau menikmati dunia di luar penjara. Jika dunia bisa dibangun di dalam Cipinang, untuk apa Tommy gentayangan keluar dari planetnya?
Akhir April lalu, Tommy ikut merayakan hari jadi Humpuss, melalui sepotong irisan tumpeng yang dikirimkan istrinya, Ardhia Pramesti Regita Cahyani. Kali lain, ketika kangen dengan gulai kambing kegemarannya, ia mengirim pesan kepada Direktur Utama Humpuss, Abdul Wahab. Dengan sigap seperti menerima order klien super-vip, Wahab langsung memenuhi keinginan bos besar. Esoknya, lelaki asal Langsa, Aceh, yang kebetulan jago masak itu besuk ke penjara menenteng sekuali gulai dari dua potong kepala kambing. ”Sambil makan,” kata Wahab, ”kami ngobrol soal kantor.…”
Gampang ditebak, Tommy membangun dunianya di Cipinang dengan timbunan uang. Tapi bukit uang mana yang tak habis jika dikeduk? Membaca kisah pelariannya, miliaran rupiah telah ditebar untuk mengacaukan pelacakan. Puluhan, bahkan mungkin ratusan miliar lagi, dihabiskan untuk membayar ongkos pengamanan—bukan mustahil, juga untuk menyumpal para petugas. Sumur mana yang tak akan sat jika terus dikuras? Bukankah Humpuss, kerajaan bisnis yang dulu mendirikan dua perusahaan setiap pekan itu, kini tidak lagi terdengar sepak terjangnya?
Sesungguhnya, jaringan bisnis anak bekas presiden Soeharto itu sudah hancur berantakan begitu ayahnya turun keprabon, 1998. Tak lama setelah Soeharto lengser, sejumlah mahkota di puncak bisnis Tommy rontok. Pertamina memaksa pengusaha, pembalap, sekaligus ”don- yuan” ini untuk melepas seluruh sahamnya di Perta Oil. Selama ini perusahaan importir minyak mentah itu ibarat deposito raksasa yang tak pernah diambil pokoknya: setiap bulan, Perta mencatut hampir US$ 1 juta (hampir Rp 10 miliar) dari Pertamina.
Tamatnya riwayat ”deposito abadi” Perta Oil menyusul rontoknya PT Timor Putra Nasional—mahkota Tommy yang sudah lebih dulu tanggal. Di ujung pemerintahan Soeharto, proyek mobil nasional yang ambisius tersebut jatuh ditorpedo Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tommy, penggemar mobil-mobil supercepat itu, harus menggulung mimpi terbesarnya sejak proyek tata niaga cengkeh BPPC. Timor ambruk dengan mewariskan jejak utang US$ 520 juta di bank-bank pemerintah.
Sejak itu keruntuhan bisnis Tommy seperti tinggal menunggu gong. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menempatkan peng-usaha lulusan STM ini sebagai pengemplang utang kedua terbesar, dengan beban pinjaman lebih dari US$ 850 juta. Istana Humpuss, sebuah gedung 17 lantai bernilai ratusan miliar rupiah di kawasan Gambir, disegel Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Kawasan elite di seputar Istana Merdeka itu ternyata terlarang untuk kegiatan usaha swasta—aturan yang tak pernah digubris Tommy sewaktu Soeharto berkuasa (berani taruhan, para pejabat pun tak ada yang berani mengutak-atik). Pendek kata, saat itu Tommy bersama Humpuss seperti telah mencapai garis finish. Habis.
Tapi bukan Tommy kalau gampang menyerah. Pembalap yang lahir di tahun macan air itu adalah harimau yang tahan banting, berani menempuh risiko, sekaligus penuh perhitungan. Dengan cepat ia banting kemudi. Semua proyek Humpuss yang high profile, yang menyilaukan mata publik, dijual atau ditutup. Sempati Air, salah satu mercu suar yang dibangun bersama Bob Hasan, membangkrutkan diri dengan meninggalkan pinjaman Rp 200 miliar. Kepemilikan mayoritas saham di Kaltim Metanol, pabrik alkohol raksasa, juga dilepas kepada sogo sosha Jepang, Nissho Iwai.
Anak penguasa Orde Baru ini seperti sedang menyiapkan sesuatu. Tampaknya ia sedang ringkes-ringkes. Satu tahun kemudian, pertengahan 2000, sekali lagi Tommy merelakan salah satu tambangnya yang berharga. Seluruh sahamnya di sumur minyak Cepu, berlian Humpuss yang lain, dijual kepada ExxonMobil. Dan hanya satu bulan sebelum kabur, anak kesayangan Pak Harto ini menguangkan salah satu asetnya yang terbesar: Terminal Peti Kemas Internasional Jakarta (JICT) dengan nilai US$ 147 juta.
Menurut seorang analis saham di bursa Jakarta, seluruh penjualan ini menciutkan aset Humpuss dari semula Rp 10 triliun (tahun 1999) menjadi hanya sekitar Rp 1,5 triliun. Pengempisan ini juga tampak dari jumlah tenaga kerja yang menyusut tinggal sepertiganya. Lalu ke mana Tommy menanamkan uang hasil penjualan? Tak jelas. Sebagian besar memang habis untuk melunasi utang kepada pemerintah. Ketika akhirnya memutuskan kabur, November 2000, sebagian besar kewajiban Humpuss kepada BPPN sudah terselesaikan, hanya tinggal US$ 125 juta yang masih harus dijadwal ulang. ”Besar dugaan,” kata analis ini, ”uangnya disimpan untuk perjuangan selama buron.”
Saat ini, hanya ada dua aset raksasa yang belum diuangkan, yakni proyek petrokimia Humpuss Aromatik dan penyertaan saham di perusahaan pengapalan LNG, Humpuss Intermoda. Agaknya, pilihan ini juga punya argumentasi strategis. Humpuss Aromatik sulit dijual karena terletak di Aceh yang terus bergolak. Roda usaha perusahaan petrokimia ini juga terus tersendat-sendat. Sepanjang tahun lalu Aromatik terpaksa meliburkan sebagian besar hari kerjanya karena pasokan bahan bakar LNG dari Arun terhenti. Kalaupun laku, Aromatik harus dijual dengan harga obral. Dan seorang ”macan air” seperti Tommy tentu saja tak akan menyerah dengan pilihan ini.
Sementara itu, Humpuss Intermoda terlalu sayang untuk dilego. Masa depan Intermoda cukup cerah. Perusahaan yang mengoperasikan 11 kapal tanker untuk angkutan minyak, LNG, dan metanol ini telah mengikat kontrak jangka panjang (berakhir sampai 2009) dengan Pertamina. Hebatnya pula (barangkali berkat ”lobi” Tommy), nilai kontrak sewa Intermoda selalu lebih mahal dari harga pasar. Apalagi Intermoda sudah masuk pasar modal, sehingga posisinya lebih kuat dari segi hukum. Jika Tommy mau aman, ia bisa menjual saham Intermoda ke sebuah perusahaan nominee (atas nama) di luar negeri, sehingga sulit dilacak.
Menurut Wahab, sejak Tommy buron, manajemen Humpuss ”putus-kontak” dengan bos besar itu. Lulusan program M.B.A. dari Universitas Indonesia ini mengaku telah diberi wewenang penuh untuk menentukan nasib Humpuss. Sejak akhir 1998, beberapa bulan setelah Soeharto jatuh, Tommy telah mengundurkan diri dari posisi direksi dan menjadi komisaris utama. Jadi, bagaimana dengan gosip bahwa Pangeran Cendana masih menyetir Humpuss dari dalam Cipinang? ”Tidak ada, tidak ada perintah-perintah,” kata Tommy membantah selentingan itu kepada TEMPO, selepas sidang pengadilan, Rabu pekan lalu.
Tapi ada yang sulit dijawab: selama Tommy absen, ada beberapa keputusan besar yang sulit diambil tanpa melibatkan pemilik saham. Di antaranya, penjualan Gedung Humpuss kepada Departemen Keuangan pada April 2001, persis ketika Tommy berada dalam pelarian. Apakah Wahab punya hak dan keberanian untuk menetapkan harga jual Rp 190 miliar? Sulit dijawab. Selain itu, keputusan untuk memindahkan markas besar Humpuss ke Gedung Sentra Mulia. Apakah benar Tommy tak pernah dimintai persetujuan?
Tommy, mungkin juga Wahab, memang harus mengelak dari pertanyaan ini. Tapi kehadiran Indriyani Yastaningtyas hampir setiap hari, dari pagi hingga petang di penjara, agaknya lebih dari sekadar jawaban. Aan, begitu Indriyani disapa, adalah orang kepercayaan Tommy, sekretaris pribadi bos besar Humpuss sejak tujuh tahun lalu. Dengan menyetir sendiri mobil Timornya, Aan akan stand by di Cipinang tepat pukul 09.00 pagi, setelah mampir terlebih dulu ke kantor pusat di Kuningan. Saking rutinnya Aan ke Cipinang, ibu dua anak ini tak perlu lagi meninggalkan kartu pengenalnya di pos jaga.
Barangkali ada masanya nanti, Penjara Cipinang memasang papan nama baru, ”Kantor Pusat PT Humpuss”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo