Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan itu berlangsung di tengah keheningan malam. Beberapa petugas berbaju cokelat bergerak diam-diam ke arah lima blok Penjara Cipinang dengan serenceng kunci di tangan. Mereka membuka sejumlah pintu sel lalu menyergah penghuninya ke luar. Sektiar 40 napi yang digedor ke luar kamar lantas berhimpun di ruang besuk. Salah satu dari mereka melukiskan proses pengumpulan itu sebagai tindakan ”kasar dan mendadak”. Seorang petugas menyebut bahwa mereka akan dipindahkan ke daerah. Dua bus Hiba Utama yang parkir di depan gerbang LP siap mengantar mereka ke tujuan. Dengan tangan diborgol, orang-orang hukuman itu naik ke bus sembari dikawal beberapa anggota Brimob. Selepas pukul 21.00, bus menderum meninggalkan halaman penjara yang sudah senyap.
Singkat. Efisien. Tanpa ribut-ribut. Begitulah kisah pemindahan 40 napi Cipinang pada 5 April silam. Rahardi Ramelan, yang bertetangga dengan salah satu napi yang pindah, mengaku tak mendengar suara apa pun dari sel sebelah tatkala tetangganya dicomot. Para napi asal Cipinang ini disebar ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pekalongan, Cirebon, dan Ambarawa—begitulah pengiriman tersebut berdasarkan surat keputusan yang sempat dibaca TEMPO.
Dalam surat tersebut Ke-pala LP Cipinang, Ngusman, menuliskan ”pembinaan selanjutnya” sebagai alasan pemindahan. Rupanya alasan itu alpa dia sampaikan. ”Sampai sekarang, saya dan kawan-kawan masih kaget dan belum tahu kenapa Pak Ngusman memindahkan kami,” ujar salah satu napi—kita sebut saja Liong—yang digeser ke Pekalongan, Jawa Tengah. Menurut dia, pemindahan napi memang soal biasa kalau diterapkan pada penghuni sel yang tidak menaati peraturan. ”Kenapa saya yang tidak melakukan kesalahan tiba-tiba dipindah? Dan bukan napi yang suka mengisap ganja dan ekstasi?” Liong bertanya kepada TEMPO.
Liong bukan satu-satunya yang gundah. Di Penjara Ambarawa, satu pria duduk tepekur di depan ruang besuk. Abuh adalah nama (samaran) pria berbadan sedang itu. Dalam usia 30 tahun, ia menabung aneka kekerasan hidup di wajahnya: mata kiri sembab membiru dihiasi bekas-bekas jahitan. Kulit wajahnya pucat. Wajahnya murung dan matanya menerawang saban diajak bicara. Tubuhnya dibalut kaus putih yang kucel dan celana pendek biru muda. Saat bicara, cuma kalimat-kalimat pendek yang keluar dari mulutnya: ”Di sini apa-apa susah. Beda sekali dengan Cipinang,” ujar Abuh mengenai tempat barunya itu.
Abuh mengaku kesepian karena tak punya siapa-siapa di Ambarawa. Di Jakarta ada keluarganya yang rajin membesuk. Lelaki ini adalah anggota rombongan yang terpelanting ke luar dari Cipinang karena—mengutip ucapan Liong—”memprotes soal Tommy Soeharto.” Sejak Tommy Soeharto masuk Cipinang Februari lalu, banyak napi yang cemburu. Fasilitas dan kemudahan yang diberikan petugas Cipinang kepada Tommy tak tanggung-tanggung. Ia diizinkan mengubah kamarnya di Blok III H Cipinang. Ada ruang besuk khusus dilengkapi sofa, televisi, dan pendingin udara. Dia mendapat jam besuk tak terbatas, sedangkan napi lain dibatasi hanya setengah jam.
Efek kehadiran Tommy bukan hanya dalam urusan kemewahan kamar. Mobilitas penghuni Cipinang lainnya justru menyempit, pada saat kamar Tommy melebar. Lalu lintas antarblok kini tak sebebas dulu. Jika tak ada alasan yang kuat, meski sudah dilengkapi surat jalan, seorang napi dilarang pergi ke blok lain—apalagi mendekat ke kamar Tommy. Maka muncullah kasak-kusuk.
”Kami akan protes,” kata seorang tahanan yang kini diempaskan ke Penjara Cirebon, beberapa saat setelah Tommy check in di Cipinang.
Maka dirancanglah aksi demo. Caranya? Mereka berkumpul di lapangan terbuka seolah-olah tengah ngobrol-ngobrol santai. Menurut Liong, petugas tidak mencium ”rapat perencanaan” demo tersebut karena dilakukan di tempat terbuka. ”Jadi seperti istirahat biasa saja.” Dia menambahkan, inti rapat itu adalah meminta Tommy tidak diperlakukan khusus. ”Kita dan Tommy sama-sama napi. Dia korupsi duit negara dan kenapa kita tidak berani protes saat dia mendapat perlakuan istimewa?” ujarnya.
Di antara rapat-rapat terbuka itu, dua kali pertemuan dapat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Lebih dari sekadar rapat, Fadli (bukan nama sebenarnya) seorang narapidana kasus narkotik, menyiapkan spanduk warna putih sepanjang tiga meter sebagai pelengkap demo. Fadli hanya ditahan tiga setengah bulan di Cipinang. Namun, sampai ia dibebaskan beberapa pekan lalu, aksi itu belum terlaksana. Demo memang tak pernah kesampaian.
Menurut Abduh, yang sempat mereka lakukan adalah mendatangi Kepala Penjara Ngusman untuk menyampaikan protes. Sekurangnya 30 orang datang menghadap. Tidak terlalu jelas apa sikap Ngusman ketika itu. Tapi, kata Abduh, setelah protes itu, keistimewaan kepada Tommy tidak berkurang. Bahkan, buntutnya, dihijrahkanlah 40 napi itu dari Cipinang. Salah satu sipir yang diwawancarai mingguan ini menyebutkan, siapa dan apa alasan seorang napi dipindah sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala LP. Dalam hal ini, ya, Pak Ngusman itu.
Nah, menurut Ngusman, pemindahan tersebut dilakukan dengan alasan biasa, yakni daya tampung LP Cipinang yang tak lagi bisa memuat 2.491 penghuni penjara, sementara ruang yang tersedia hanya untuk 1.700 orang. ”Dengan kelebihan jumlah 700 orang, hal itu bisa berbuntut buruk pada kesehatan dan bisa berakibat kerusuhan,” ujarnya kepada Tempo News Room.
Keprihatinan Ngusman dalam memikirkan kesehatan para napinya bolehlah dipuji. Tapi pengecekan TEMPO menunjukkan kebijakan si kepala penjara itu memindahkan para napinya menimbulkan paling tidak dua tanda tanya.
Pertama, Ngusman tampaknya menaruh perhatian betul pada blok-blok yang melingkungi tempat tinggal Tommy Soeharto (lihat denah). Napi-napi yang digamit ke luar oleh petugas kesatuan pengaman LP (KPLP) pada 5 April malam itu sebagian berasal dari blok-blok yang menjadi tetangga terdekat Tommy. Kedua, soal daya tampung. Angka yang disebutkan Ngusman memang meyakinkan. Tapi pengecekan tim investigasi ini lagi-lagi menemukan kejanggalan. Dari Blok B saja masih ada sejumlah kamar kosong. Sedangkan di blok-blok lain dari tempat 40 napi itu dipindahkan, ada beberapa kamar yang cuma diisi satu orang.
Kejanggalan lain adalah soal koordinasi. Menurut Ngusman, sebelum pemindahan, pihaknya telah berkoordinasi dengan LP yang akan menerima ”tamu tambahan” dari Cipinang. Kunjungan TEMPO ke Penjara Pekalo-ngan pada 22 April silam (artinya, dua pekan lebih setelah rombongan napi itu dihengkangkan dari Cipinang) menemukan hal yang berbeda. Liong dan 21 rekannya masih menempati tiga ruangan karantina—masing-masing berukuran 4x6 meter. Kok bisa? Liong menjelaskan, ya, karena kepindahan yang mendadak itu.
Alhasil, hingga hari itu belum satu pun napi ”tamu” di Pekalongan itu yang dijenguk keluarganya. Di Cirebon, napi pindahan itu bahkan masih ditempatkan dalam sel khusus terpisah dari penghuni lain. Yang boleh membesuk hanya istri, anak, dan keluarga dekat. TEMPO, yang berusaha menemui salah seorang dari mereka, dilarang Kepala Penjara Cirebon, Mashudi. ”Jangan dulu, mereka masih dalam pengasingan,” kata Mashudi. Di Pekalongan, narapidana baru juga dikarantina dalam sel khusus berukuran 4x6 meter.
Bagaimana seleksi terhadap 40 napi itu dilakukan? Menurut seorang kepala bagian di LP Cipinang, untuk memantau pesakitan yang berontak biasanya kepala penjara menggunakan jasa anggota KPLP. Mereka adalah sipir penjara yang memiliki hubungan baik dengan napi tertentu—yang dipelihara sebagai mata-mata. Para napi yang berpotensi membahayakan keamanan akan dicatat dan ”diberangkatkan” berdasarkan laporan mata-mata. Peran KPLP ini meningkat terutama setelah pecah kerusuhan antarnapi di Cipinang tahun lalu. Dalam kasus Tommy, para pemrotes juga diidentifikasi oleh spion-spion KPLP tadi. ”Mereka memang target operasi pemindahan,” kata sang kepala bagian.
Pemindahan ini juga dibumbui kisah versi lain, yakni para napi ini berniat memeras Tommy.
Menurut salah seorang yang tidak ikut dipindah, Tommy bukan jenis Robin Hood yang royal membagi hadiah seperti yang dilakukan kawannya, pengusaha Ricardo Gelael, saat dia masih berstatus napi di Cipinang. Seorang sipir bercerita bahwa dalam suatu acara ada napi yang berani nyeletuk pada Tommy, ”Eh, bayar uang keamanan lu!” Kekayaan Tommy membuat dia potensial menjadi target pemerasan. Ini memang bukan cerita baru. Tapi Liong membantah. ”Bagaimana mau memeras, orang ketemu Tommy saja tidak pernah?” katanya. Dia mengaku hanya bisa melewati Blok III H pada hari Minggu, ketika menghadiri kebaktian di gereja. Selebihnya, semua akses tertutup.
Liong yang beretnis Batak ini curiga, perintah mutasi itu sebetulnya datang dari pengawal Tommy yang khawatir bosnya celaka. ”Orang-orang dekat Tommy yang telah memengaruhi Pak Ngusman,” katanya. Kecurigaan itu tak dapat mengembalikan Liong ke Cipinang saat ini. Apalagi membayangkan sebuah demo yang bisa merontokkan segala keistimewaan yang menyelimuti Tommy di Cipinang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo