Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI telah menjadi tersangka, kehidupan Tunggul P. Sihombing masih berjalan normal. Dia bekerja seperti biasa dan menghabiskan hari libur bersama keluarga di rumahnya yang megah dan lapang di Jalan Ceger Raya 31, Jurang Mangu Barat, Tangerang Selatan.
Berdiri di atas lahan 3.000-an meter persegi, kediaman Tunggul terlihat paling mencolok dibanding rumah sekitarnya. Jarak dari pintu gerbang ke bangunan utama saja sekitar 80 meter. "Orang tua saya membeli lahan ini sewaktu harganya masih murah," kata pegawai eselon II Kementerian Kesehatan itu saat ditemui Tempo di rumahnya bulan lalu.
Dia masih berkantor di Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan di Jalan Percetakan Negara 29, Jakarta Pusat. Bedanya, kini mantan pejabat pembuat komitmen itu tidak lagi memiliki jabatan. Tersangka kasus korupsi proyek pembangunan fasilitas produksi, riset, dan alih teknologi produksi vaksin flu burung untuk manusia 2008-2010 itu telah dibebastugaskan. Kini dia anggota staf fungsional biasa.
Pada Agustus 2012, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Tunggul sebagai tersangka kasus yang membelit direktoratnya. Namun, hingga kini, berkas Tunggul tidak kunjung sampai ke kejaksaan.
Polisi juga belum menemukan tersangka baru. Padahal sudah banyak indikasi mengenai siapa yang terlibat, dan bukti pelanggaran mereka dalam kasus yang melibatkan perusahaan Muhammad Nazaruddin ini sudah gamblang. Mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis memiliki catatan aliran duit ke Tunggul serta sejumlah pejabat Kementerian Kesehatan dan Bio Farma.
Yulianis mencatat Tunggul beberapa kali menerima duit suap sepanjang Maret 2010 hingga Januari 2011. Total duit yang diterima US$ 350 ribu dan Rp 500 juta. Tunggul membantah. "Apakah muka saya ini seperti penjahat?" ujarnya.
Juga ada dalam catatan Yulianis: Sekretaris Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Guntur Budi Wanarto. Guntur disebutkan tiga kali menerima uang senilai total US$ 231 ribu dan Rp 500 juta. Sedangkan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tjandra Yoga Aditama dikatakan menerima US$ 60 ribu.
Dalam berbagai kesempatan, para pejabat Kementerian Kesehatan itu membantah telah menerima uang tersebut. "Saya tidak pernah menerima uang sehubungan dengan proyek pabrik vaksin," ujar Tjandra, April lalu.
Duit suap juga diduga mengalir ke tiga direktur Bio Farma. Direktur Utama Bio Farma Iskandar membantah. Dia mengaku sempat ditawari tunjangan hari raya oleh staf PT Anugrah Nusantara, tapi ia kala itu menolak.
PENYELEWENGAN dana proyek vaksin flu burung untuk manusia bermula pada 2008, ketika Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menetapkan PT Anugrah Nusantara sebagai pemenang tender. Mengingat Anugrah baru berdiri pada 2008 itu, mempercayakan pengadaan peralatan fasilitas produksi, riset, dan alih teknologi vaksin flu burung senilai Rp 718,8 miliar kepada Anugrah boleh dibilang keputusan yang amat berani.
Setelah menggantikan Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan pada 2009, Endang Rahayu Sedyaningsih menetapkan PT Exartech Technology, perusahaan Nazaruddin lainnya yang menggandeng PT Pembangunan Perumahan (Persero), sebagai pemenang proyek system connecting dan riset chicken breeding di Bandung. Nilai kontraknya Rp 663,4 miliar.
Tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan di kedua proyek tersebut. Diduga pelakunya berasal dari Kementerian Kesehatan, PT Anugrah Nusantara, PT Bio Farma, dan Universitas Airlangga. Dari total duit negara Rp 926,295 miliar yang cair untuk kedua proyek itu, negara dirugikan Rp 347,454 miliar dan Rp 107,16 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya juga sempat menyelidiki kasusnya. Karena Trunojoyo, sebutan untuk Markas Besar Polri, lebih dulu menaikkannya ke tingkat penyidikan, KPK memasrahkannya ke polisi. Memang ada kesepakatan antara polisi, kejaksaan, dan KPK bahwa siapa pun yang paling cepat menaikkan kasus ke tingkat penyidikan, dialah yang berhak menanganinya. Tapi, setelah kasus ditingkatkan menjadi penyidikan, pengusutannya yang semula berlari cepat tiba-tiba jalan di tempat.
Menurut sumber Tempo, sejak awal telah ada skenario untuk menghindarkan kasus vaksin flu burung dari KPK. "Karena memang itu yang diinginkan Nazaruddin," katanya. Alasannya, di kepolisian, kasus lebih bisa "dimainkan". Dugaan itu bukan tanpa alasan. Dalam catatan Yulianis, terdapat sejumlah nama petinggi polisi yang ditengarai mendapat aliran suap. Uang itu diduga sebagai "ongkos" menghentikan penyidikan.
Misalnya ada nama "Ito". Dia beberapa kali menerima uang dari Yulianis sepanjang Agustus-Desember 2010, dengan nilai total mencapai US$ 75 ribu. Diduga dia adalah Komisaris Jenderal Ito Sumardi, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Lalu ada nama "Jacobs Alexander Timisela", seorang ajun komisaris besar berinisial "IW", dan "Bu Yeni".
Saat dimintai konfirmasi, Ito Sumardi membantah. "Demi Allah, saya tidak pernah menerima aliran uang apa pun dari Grup Permai, Anugrah, atau Nazaruddin," ujarnya Senin pekan lalu. Ia juga menegaskan tidak pernah mengintervensi kasus vaksin flu burung, apalagi meminta penyidikan dihentikan. "Buktinya, hingga sekarang kasus itu tetap jalan," ujarnya.
Kepala Unit IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Komisaris Besar Jacobs Alexander Timisela tidak bisa dihubungi. Telepon dan pesan elektronik yang Tempo kirim tidak direspons. Namun sebelumnya, dalam sejumlah kesempatan, Jacobs membantah adanya aliran dana ke dirinya itu.
Dugaan intervensi juga muncul dari luar Trunojoyo. Sumber Tempo mengatakan Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi ikut campur. Menurut dia, Sudi pernah menelepon sejumlah anggota Badan Pemeriksa Keuangan, meminta audit kasus vaksin flu burung dihentikan. Sudi adalah Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga. Di kalangan Bio Farma, dia dikenal sebagai kerabat dekat Sam Soeharto.
Kepada majalah ini, Sudi membenarkan pernah menghubungi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Ia mengakui telah melakukan intervensi, namun sebatas supaya proyek vaksin flu burung terus dilanjutkan. "Tapi masalah hukumnya selesaikan dulu. Kalau masalah hukum, saya tidak mau intervensi," katanya.
Tekanan lain datang dari Senayan. Kepentingannya jelas, agar kasus itu tak bergulir dan menyeret anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga ikut mencicipi duit Nazaruddin. Berdasarkan catatan keuangan Yulianis, Ketua Komisi Kesehatan DPR Ribka Tjiptaning dan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Tamsil Linrung ikut menerima aliran duit Nazaruddin. Dalam sejumlah kesempatan, Ribka dan Tamsil membantahnya.
Kepala Subdirektorat V Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Besar Erwanto Kurniadi mengatakan sejak awal tidak tahu KPK menyelidiki kasus ini. Menurut dia, keputusan menaikkan kasus ke tingkat penyidikan murni berdasarkan gelar perkara, bukan untuk mencegah KPK terlibat. "Karena bukti pelanggaran hukum yang kami miliki sudah terpenuhi," ucapnya.
Erwanto menjelaskan, penyidikan kasus vaksin flu burung jalan di tempat "karena kendala teknis". Yang dia maksud kendala teknis adalah kesulitan menghadirkan saksi dari PT Anugrah. Selain itu, dia mengaku polisi kesulitan menemukan alamat beberapa vendornya. "Jadi tidak ada intervensi. Kami berjalan lempeng dotcom," ujarnya.
Saat ini, menurut Erwanto, polisi masih berfokus pada penguatan bukti kasus Tunggul. Setelah berkas Tunggul tuntas, baru mereka bergerak mencari tersangka lain. "Bisa ke pejabat atasan Tunggul, bisa juga ke pelaksana teknis," katanya.
Mengenai dugaan aliran duit Nazaruddin ke sejumlah petinggi polisi, Erwanto menyebutkan mereka menunggu pasokan data lengkap dari KPK. "Setelah itu, baru kami konfirmasi kebenarannya."
Lambannya polisi bergerak membuat Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR Sumarjati Arjoso gerah. Ia mengatakan akan meminta pimpinan Dewan mendorong KPK mengambil alih penanganan kasus ini. Hal senada diungkapkan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Febri Hendri. "Kami tunggu hingga dua bulan ke depan. Jika masih tidak ada perkembangan signifikan, akan kami dorong KPK mengambil alih," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo