Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Menjarah Dana Tak Bertuan

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepucuk surat melayang dari Munster, Jerman Barat, ke meja Komisi III DPR RI, pekan lalu. Pengirimnya, Bustanil Arifin. Ia membatalkan kehadirannya di DPR— mantan Kabulog itu seharusnya datang ke Komisi III DPR untuk didengar keterangannya soal dana nonbujeter, pada Rabu, 19 Juli. Sejak Juni lalu, setelah pemanggilan DPR, Bustanil memang keliling Amerika, dan kini ke Jerman, untuk mengecek kesehatannya yang terganggu. Kesehatan mantan Kabulog ini boleh jadi akan kian terganggu oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR, Widjanarko Puspoyo.

Pekan lalu, Widjanarko memastikan ada tujuh mantan pejabat Bulog yang akan dipanggil DPR dalam waktu dekat. "Para Kabulog, mulai dari Bustanil, Beddu Amang, Rahardi Ramelan, akan menjadi calon tersangka. Presiden memang tahu (penggunaan dana nonbujeter) tapi yang kotor tangannya adalah mereka," ujar anggota DPR lain yang terlibat dalam Tim Penelusuran Dana Nonbujeter Bulog Komisi III itu.

Di luar para mantan Kabulog, beberapa bekas pejabat penting Bulog seperti M. Jakub Ishak, Ruskandar, Yusnadi Suwarta, dan M. Amin juga akan segera masuk "daftar kehormatan". Sebenarnya, para pejabat bukan satu-satunya pihak yang mengeruk dana dari kantong nonbujeter Bulog. Ada pula sejumlah pengusaha yang selama ini telah turut bergelimang dalam kesenangan bersama mereka. Berikut beberapa profil yang diharapkan bisa mempertanggungjawabkan dan menjelaskan gelapnya dana nonbujeter Bulog kepada rakyat.

BUSTANIL ARIFIN

Beberapa orang dekatnya mengenang Bustanil Arifin, arsitek dana nonbujeter, sebagai sinterklas. Ia gemar membagikan hadiah kepada siapa pun, yang mungkin membuatnya berkenan. Beberapa kali ia menenteng uang kontan berjuta-juta rupiah yang bisa diubah menjadi angpau dalam seketika.

Kemakmuran yang dia peroleh sebagai Kepala Badan Urusan Logistik alias Kabulog selama 20 tahun (1973-1993) membuat Bustanil adalah salah satu pejabat Orde Baru paling "kinclong". Selama masa jabatannya, agaknya ia bahkan tak mempedulikan gajinya. Maka, kini, Bulog mesti menyetor Rp 500-an juta ke rekeningnya. "Itu gaji dan pensiun saya sejak menjabat Kabulog selama 20 tahun," ujarnya dalam suatu wawancara dengan TEMPO.

Mekanisme dana non-neraca dia bentuk di Bulog sejak 1982. Sumber TEMPO, yang mengaku pernah sangat dekat dengan Bustanil, menuturkan betapa bos Bulog itu gemar menyumbang pemerintah dan melempar angpau. Sekali waktu, ia mampir ke kantor Menteri Sekretaris Negara. Begitu tahu sekretaris menteri mau cuti, ia memerintahkan ajudannya agar membungkus segepok uang kontan bagi nona sekretaris.

Di lain hari, ia memanggil, sebut saja T, seorang pelaku transaksi operasional Bulog. Setelah mengobrol ke sana-kemari, ia menyarankan agar Tuan T lebih sering membawa anak-istri "jalan-jalan ke bioskop". Seiring dengan nasihat itu, ia menyodorkan amplop tebal "untuk biaya nonton". Sumber TEMPO yang selalu mengiringi Bustanil ini lantas menceritakan keakraban sang bos dengan sejumlah wartawan Sekneg. Begitu bertemu, ia menyapa, "Hayo…, mau rupiah atau dolar? Lalu sang ajudan bergegas mengedarkan amplop. Ia juga tak segan menawarkan hadiah mobil Volvo atau membukakan deposito jika yang mau diberi hadiah enggan menerima uang kontan.

Jika orang lain mendapat kemurahan hati serupa ini, apa pula keluarga sendiri? Arni Arifin dan Alwin Arifin, dua anaknya, disebut-sebut berbisnis dengan modal dana nonbujeter Bulog. Arni Arifin dikaitkan dengan Bulog melalui Indocitra Leasing dan pembangunan gedung Bukopin (1986-1987), yang menghabiskan dana Rp 20 miliar lebih. Adapun Alwin Arifin, putra Bustanil yang lain, pernah mencicipi pinjaman tanpa agunan, melalui PT Sriboga Raturaya, senilai Rp 76 miliar pada September 1999.

Tapi Bustanil membantah keras semua informasi ini. "Itu sama sekali tidak benar, hanya isu yang diembuskan orang," ujarnya kepada TEMPO, yang menemuinya pertengahan Juni lalu. Ia juga membantah keterkaitan Cendana dengan Bulog. "Pak Harto tidak pernah sekalipun meminta uang dari Bulog," kata Bustanil, yang dikenal amat setia kepada Soeharto. Menurut Bustanil, ia menggunakan sebagian dana untuk biaya kampanye Golkar, bantuan bencana alam, bantuan sosial, serta biaya pendidikan dan kesejahteraan pegawai Bulog.

Maka, ia mengaku heran mengapa dirinya dituduh menyelewengkan dana. "Apanya yang diselewengkan? Apakah saya melanggar hukum? Apakah salah kalau saya memakai dana dan keuntungan dari hasil kegiatan usaha sendiri?" ujarnya berkali-kali. Bustanil tampaknya melupakan satu hal penting: aliran dana triliunan rupiah ke kas non-anggaran Bulog itu adalah uang negara yang tercetak karena aturan-aturan yang diciptakan Bulog, bukan karena kesaktian dirinya. Dan uang itu, tentu saja, harta negara yang tak bisa dialirkan ke kantong angpau saban kali ia ingin memberikan hadiah.

BEDDU AMANG

Salinan catatan rekening yang dikirimkan sebuah lembaga audit ke TEMPO menunjukkan rekening Kabulog Beddu Amang (1993-1998) pernah digerojoki dana lebih dari Rp 35 miliar selama periode Januari 1997 hingga September 1998. Aliran dana juga masuk ke Moch. Jakub Ishak, mantan Kepala Biro Pembiayaan Bulog. Jumlahnya? Rp 27 miliar.

Sumber TEMPO memastikan uang yang masuk ke rekening kedua pejabat ini bersumber pada dana nonbujeter dan dimutasikan dari sejumlah bank ke rekening pribadi sang Kabulog. Sumber di lembaga audit ini juga menyebutkan, dana-dana tersebut tidak akan pernah dapat muncul di laporan pembukuan Bulog dan hanya bisa terlacak dari bank-bank yang ikut bekerja sama dengan si pemilik rekening. Ada sekian pertanyaan yang bisa muncul melihat angka di rekening Beddu Amang, mengingat penghasilan resminya sebagai Kabulog adalah Rp 5 juta lebih—jumlah yang hampir sama diterima Jakub setiap bulan.

Kendati sama-sama bergelimang duit, mantan anak buah Bustanil ini tak sefavorit pendahulunya. Seorang pejabat di Bulog, kepada TEMPO, mengatakan, "Di zaman Pak Bus, semua dana dibagi, sedangkan Beddu Amang memasukkan semua keuntungan ke dalam kantongnya sendiri."

Nama Beddu amat populer ketika kasus tukar guling PT Bathara Sakti—milik Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael—yang merugikan negara Rp 30 miliar lebih, disidangkan dan mendudukkannya sebagai terdakwa. Tapi ia menganggap dirinya sukses berkarir di lembaga itu. "Saya kan sukses memimpin Bulog, jadi sekarang saya diangkat menjadi staf ahli,'' katanya ketika dicopot dari Kabulog pada Agustus 1998.

Sebenarnya, bagaimana duduk soal dana miliaran rupiah yang nongkrong di dalam rekening atas nama pribadi mereka? Beddu dan Jakub, yang dikontak berkali-kali melalui telepon, surat, faks, dan kunjungan ke rumah serta kantor, rupanya tidak berminat memberikan jawaban apa pun terhadap konfirmasi yang diupayakan TEMPO.

RAHARDI RAMELAN

Hasil pemeriksaan khusus terakhir yang diserahkan BPKP kepada Komisi III DPR, pertengahan Juni lalu, mencatat nama Rahardi Ramelan sebagai penerima dana Rp 51,5 miliar. Dalam catatan, transaksi uang itu dicatat sebagai "biaya untuk kepentingan kenegaraan"—salah satu transaksi yang membuat nama Rahardi tercantum dalam daftar "calon tersangka" versi DPR.

Langkah Rahardi yang mudah mengundang curiga adalah surat sebagai Kabulog, yang dia kirimkan pada April 1999 kepada presiden RI saat itu, B.J. Habibie. Surat itu dia kirimkan dalam rangka audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap dana nonbujeter Bulog yang tersimpan di 116 rekening.

Intinya, ia meminta agar kedua pejabat moneter itu tidak mengabulkan permohonan BPKP untuk menelusuri rekening di luar neraca Bulog tersebut. "... Sehubungan dengan masih diperlukannya dana taktis, penempatan dana di luar neraca masih dibutuhkan," tulis Rahardi dalam surat tersebut.

ANTHONY SALIM

Pada 1995-1997, Grup Salim mendapat proyek besar dari Bulog. Taipan muda Anthony Salim oleh Bulog ditunjuk untuk mengurus usaha menstabilkan harga minyak goreng. Dengan kata lain, dia mendapat wewenang dari Bulog, tanpa tender, untuk menangani bisnis minyak goreng dari hulu sampai hilir. Ketika pemerintah menderegulasi pajak ekspor minyak goreng mentah (CPO) pada 1997, harusnya kerja sama kedua pihak ini bubar. Alih-alih bubar, kontrak usaha baru malah dibuat antara Bulog dan Salim, yang tetap membolehkan Salim menjalankan usaha, dan Bulog harus menyuntikkan modal usaha Rp 52 miliar.

THAREQ HABIBIE

Putra presiden RI ke-3, Thareq Habibie, pernah mendapatkan kontrak pengadaan beras oleh Bulog dari Thailand sejumlah 400 ribu ton pada 1998. Dalam surat kontrak, harga yang disepakati US$ 287 per ton. Padahal, harga beras di Thailand ketika itu berkisar US$ 235 per ton. Artinya? Untuk setiap ton beras ia meraup laba sekitar US$ 50. Dalam hitungan kasar, ia mendapat untung sekitar US$ 20 juta dari urusan jual-beli beras Bulog. Ini urusan sekali bisnis. Bagaimana kalau berkali-kali? Thareq Habibie ketika dikonfirmasikan lewat pengacaranya Jhon Pieter Nazar, membantah ikut terlibat dalam tender beras Bulog. "Saya pernah menanyakan kebenaran tender itu. Tetapi, sampai bersumpah-sumpah Thareq mengatakan tidak pernah ikut. Bahkan Thareq mengancam akan menuntut orang yang mencatut namanya," kata Pieter Nazar.

KELUARGA CENDANA

Selain urusan tukar guling PT Goro-Bulog yang melibatkan Tommy Soeharto, BPKP memberi poin lain tentang hubungan Keluarga Cendana dan Bulog. Hasil pemeriksaan khusus BPKP Juni silam mencatat ada dana Rp 8 miliar "untuk keperluan Cendana"—tanpa penjelasan lebih rinci. Dana itu adalah satu dari 33 item dana Rp 2,7 triliun yang dibelanjakan pada tahun anggaran 1994/1995 hingga akhir Februari 1999.

Pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, ketika dimintai konfirmasi tentang masalah ini, membantah hubungan kebenaran informasi ini. "Sudah saya tanyakan ke seluruh keluarga Pak Harto, termasuk ke semua anaknya. Tidak satu sen pun mereka pernah menerima dana nonbujeter. Jadi, ini berita bohong yang baru lagi," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus