Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA puluhan tahun, Makmur Tandeatmadja, 56 tahun, didera sakit kepala yang tak berkesudahan. Berbagai obat tak mempan melawan denyut memusingkan di kepalanya. Rupanya, sakit kepala yang diderita Makmur itu memang bukan sembarang pening. Di kepalanya bersarang tumor yang menjadi sumber sakit kepala kronis itu. Ia menderita chordoma, sejenis tumor otak jinak. Tak ada jalan lain, ia memerlukan bedah otak.
Syukurlah, tingkat keberhasilan operasi bedah otak yang dulu hanya berkisar 60 persen itu kini telah makin besar. Melalui lensa yang tersambung dengan mikroskop, jaringan yang menjadi target operasi bisa diperbesar 25-40 kali lipat. Dengan demikian, ruwetnya jalinan jutaan sel saraf otak bisa terlihat lebih jernih. Alhasil, pisau bedah berukuran mini lebih mampu mereparasi tepat pada sasaran. Teknik ini, disebut operasi bedah mikro, berhasil menggenjot tingkat keberhasilan operasi sampai 90 persen.
Dan operasi semacam ini tak lagi monopoli rumah sakit pendidikan seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, atau Rumah Sakit dr. Soetomo di Surabaya. Pekan lalu, Rumah Sakit (RS) Siloam Gleneagles, Tangerang, mendemonstrasikan teknik bedah mikro ini. Makmur, pasien RS Hasan Sadikin, Bandung, yang dirujukkan ke RS Siloam, menjadi pasien pertama di rumah sakit itu yang menjalani teknik bedah mikro otak untuk menjangkau tumor di dasar tengkorak. Melalui operasi bedah mikro, tim gabungan yang terdiri dari para dokter RS Siloam Gleneagles, RS Hasan Sadikin, dan ahli dari Universitas Nagoya, Jepang, akhirnya berhasil mengangkat tumor berdiameter 3 sentimeter.
Menurut Eka Wahjoepramana, ketua tim operasi, lokasi tumor Makmur ini tergolong rumit. Tumor ini berkembang di tulang clivus, yang terletak tepat di tengah dasar tengkorak. Lokasi tumor makin sulit terjangkau karena berhimpit dengan batang otak. "Bagian batang otak ini tak boleh sedikit pun terganggu. Risikonya kematian," katanya.
Untuk mengatasi kerumitan ini, Eka menerapkan trans-basal approach, dengan membuka tempurung kepala dari depan dan membuat sebuah lubang di atas hidung. Melalui lubang inilah, dengan alat khusus, tim dokter menjangkau tulang clivus dan mengangkat tumor. Sepuluh tahun lalu, menurut Eka, tak seorang pun bisa menjangkau dasar tengkorak. Kini, hal itu bisa dilakukan dengan teknik bedah mikro, yang memerlukan waktu operasi sekitar 12 jam.
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) awal Juli lalu juga mencatat sukses yang sama untuk operasi sejenis, yang dilakukan pada pasien chordoma dengan tiga tumor. Menurut Ketua Jurusan Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Padmosantjojo, teknik bedah saraf mikro sudah bisa dilakukan rumah-rumah sakit yang memiliki unit saraf. Bedah seperti ini tak lagi menjadi monopoli ahli Jakarta. Selain RSCM, Padmosantjojo menyebut RS dr. Soetomo (Surabaya), RS dr. Karyadi (Semarang), RS Telogorejo (Semarang), RS Hasan Sadikin (Bandung), dan RS dr. Sardjito (Yogyakarta) sebagai contoh rumah sakit yang cukup memiliki tenaga andalan untuk melakukan bedah mikro.
Bahkan, menurut Zainal Muttaqien, neurolog dari RS Karyadi, dua rumah sakit di SemarangRS Karyadi dan RS Telogorejotelah mencatat prestasi dengan mengoperasi 12 pasien epilepsi. Pada pasien epilepsi, terdapat sel saraf pada otak yang berubah. Sel yang bermutasi inilah yang memicu loncatan rangsang yang tidak terkontrol sehingga menyulut kejang-kejang. Melalui teknik bedah mikro, sel yang bermasalah dibersihkan sehingga kejang-kejang tak datang lagi.
Dalam operasi epilepsi, kesulitan terbesar adalah mengidentifikasi sel saraf yang bermutasi di antara jutaan sel saraf normal itu. Operasi ini juga menuntut satu syarat mutlak: tak boleh membuat satu pun fungsi saraf terusik. Sedikit saja ada gangguan, fungsi saraf bergeser dan tak bisa dipulihkan lagi. Itulah sebabnya, kasus epilepsi termasuk kategori bedah otak yang paling rumit dan butuh waktu belasan jam. "Harus ekstrahati-hati. Jangan sampai sesudah operasi, pasien justru menjadi enggak bisa ngomong," kata Zainal.
Tingkat kehati-hatian para ahli bedah saraf di Indonesia, menurut Umar Hasan, ahli bedah saraf dari RS dr. Soetomo, telah cukup teruji. Bedah mikro sudah masuk Indonesia sejak 1984, dan adalah RS dr. Soetomo yang pertama kali mengadopsi teknik ini. Kala itu, tim dr. Soetomo menangani kasus bedah otak pasien arterio venous malformation (AVM)semacam varises pada pembuluh darah otak. Bila tak dioperasi, pasien akan selalu dilanda pusing-pusing hebat, pembuluh darah pecah, dan stroke. Menurut Umar, operasi AVM itu tergolong kasus yang berat. Saking beratnya, Umar mengenang, "Operasi menelan waktu 30 jam."
Dengan kualitas para dokter ahli saraf Indonesia, yang menurut Umar sudah makin terlatih, Umar menyarankan masyarakat tidak perlu lagi terbang ke rumah sakit di luar negeri, yang mematok tarif operasi belasan ribu dolar. Operasi semacam itu bahkan bisa diperoleh dengan ongkos yang relatif murah di rumah sakit pemerintah. Menurut Pamdosantjojo, rumah sakit pemerintah bisa memberi pilihan biaya sesuai dengan kondisi ekonomi pasien dan, tentu saja, bergantung juga pada tingkat kerumitan kasus. Variasi biaya operasi bisa Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Ini memang lebih murah dibandingkan dengan biaya di rumah sakit swasta dalam negeri, yang umumnya menawarkan fasilitas lebih nyaman. Biaya operasi Makmur di RS Siloamtergolong operasi rumit dan tingkat kesulitannya tinggimisalnya antara Rp 15 juta dan Rp 20 juta.
Sebelum menjadi lebih rumit dan kompleks, siapa pun disarankan segera memeriksakan diri bila mengalami gejala tumor otak seperti pusing berkepanjangan tanpa sebab, sering mengantuk, muntah terutama di pagi hari, dan daya penglihatan menurun. "Tak perlu khawatir bila harus menjalani operasi," kata Umar. Reparasi otak bukan lagi momok mengerikan.
Mardiyah Chamim dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo