Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Misteri Hari Terakhir

Kata BIN, Al-Faruq dideportasi karena paspor palsu. Tapi banyak kejanggalan seputar penangkapannya.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selepas asar pada 5 Juni 2002 lalu, terjadi keributan kecil di halaman Masjid Raya Bogor. Namun keramaian di Jalan Pajajaran di depan masjid, dan keriuhan di Terminal Bogor yang tak jauh dari situ, membuat orang tampaknya tidak terlalu hirau ketika sekitar 10 orang mengepung dua orang di masjid itu dan meringkusnya. Itulah hari ketika Mahmud bin Ahmad Assegaf raib. Tiga bulan kemudian, tokoh tak dikenal itu—kali ini muncul dengan nama Umar al-Faruq—menjadi pusat pembicaraan sebagai "tokoh" Al-Qaidah yang menyusup ke Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi pada awal Juni itu? "Saya bertemu Al-Faruq di masjid itu ketika mereka menangkap kami," kata Abdul Haris, orang yang ditangkap bersama Al-Faruq dalam penggerebekan kilat itu, kepada TEMPO via telepon dua pekan lalu. Haris membantu menguruskan paspor Mira Agustina, istri Al-Faruq, yang berencana pergi bersama suami dan dua anaknya ke Selangor, Malaysia. Haris berjanji menyerahkan paspor hari itu. Sebelum pertemuan, Haris mengaku sempat berbicara lewat telepon genggam dengan Al-Faruq. Dalam teleponnya yang pertama, kata Haris, terdengar suara Al-Faruq dengan nada gelisah dan ragu. Ia minta Haris datang ke Rawamangun bersama paspor pesanan itu. Tapi, kata Haris, tak sampai sejam kemudian Al-Faruq menelepon lagi untuk minta bertemu di Bandar Udara Cengkareng, sekalian menjemput kawannya yang tiba dari luar negeri. Belum sempat Haris meluncur, Faruq menelepon lagi. "Tunggu saja di Masjid Raya Bogor," begitu ucapan Haris menirukan Al-Faruq. Bersama Mira dan dua anaknya, Al-Faruq memang tinggal di Cijeruk, Bogor. Pembicaraan telepon itu mengesankan Al-Faruq gelisah karena mencium ada yang tak beres hari itu tapi tak tahu di mana dan kapan bahaya akan menerkamnya. Firasatnya benar. Selepas salat asar, mereka sempat mengobrol dalam bahasa Arab di beranda masjid. Nahas, ketika itulah serombongan orang datang menangkap mereka. Al-Faruq, kata Haris, ditangkap dengan tuduhan memalsukan paspor. Haris, yang berada di sampingnya, kena getah ikut diciduk. Dalam ingatan Haris, penangkapan itu berlangsung cepat. "Tahu-tahu tangan kami sudah diborgol," tuturnya. Haris dimasukkan ke mobil Toyota Kijang, lalu kedua matanya ditutup. Faruq digelandang ke mobil terpisah. Mereka berputar-putar di Kota Bogor hampir sejam dan tiba-tiba saja berhenti. Menurut Haris, mereka berdua disekap dalam sebuah rumah tinggal. "Saya sulit mengingat di mana lokasi rumah itu karena pusing setelah mata ditutup," katanya. Dua hari kemudian Haris dibebaskan dan sejak itu tak pernah sekalipun ia bertemu lagi dengan Al-Faruq. Siapa menangkap Al-Faruq? Benarkah Al-Faruq ditangkap aparat imigrasi atau polisi karena pemalsuan paspor? Kantor Departemen Kehakiman di Jakarta mengaku tidak tahu-menahu penangkapan itu. "Kami tak mengirim tim ke Bogor," kata Ade Dachlan, juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi. Polisi pun mengatakan tak terlibat dalam penangkapan itu. Muchyar Yara, Asisten Kepala Bidang Sosial dan Kemasyarakatan Badan Intelijen Negara (BIN), mengatakan penangkapan itu dipimpin oleh Mayor Andika Perkasa, perwira pasukan elite Kopassus yang diperbantukan dalam operasi BIN. Andika sendiri adalah menantu Letnan Jenderal A.M. Hendropriyono, ketua badan intelijen itu. "Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan," kata Muchyar kepada TEMPO pekan lalu. "Kami memperoleh informasi awal dari intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika bahwa ada orang asing di kampung (Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Bogor) yang terlibat dalam jaringan terorisme," tutur Muchyar. (Lihat wawancara dengan Muchyar Yara: "Haris Teman Lama Hendro") Namun, bukannya diadili di Indonesia, tiga hari setelah ditangkap Al-Faruq dibawa ke Bandar Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, tempat ia diterbangkan dengan sebuah pesawat khusus ke Amerika. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, BIN-lah yang mencap paspor Faruq dengan cap kedatangan Malaysia agar berkesan ia telah dideportasi ke negara itu, dan menghindari kesan BIN telah menyerahkan Al-Faruq kepada Amerika. Beberapa hari setelah penangkapan di Masjid Raya Bogor itu, Mira Agustina mengaku menerima telepon dari Haris, yang bercerita perihal penangkapan suaminya tanpa penjelasan rinci. Belakangan Mira mengatakan kehilangan kontak dengan Haris, yang memintanya tidak lagi menelepon "karena ditekan oleh orang-orang yang menangkapnya". Sejak itu pula Mira tak tahu ke mana gerangan suaminya pergi, sampai September lalu ketika pengakuan Al-Faruq diangkat menjadi laporan utama majalah Time.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus