Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Misteri Kristal Putih

56 ribu ton gula ilegal ditimbun di Jakarta. Pengimpornya buang badan. Mengapa mendadak Inkud mengakui sebagai pemiliknya? Inilah hasil investigasi TEMPO.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINTU gudang Hobros (Hokiato Bersaudara) di kawasan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta, digerendel aparat Bea Cukai. Padahal, dua minggu sebelumnya, segel tampak cuma ditempel seadanya di atas karung-karung gula asal Thailand yang bertumpuk rapi di dalam.

Namun yang berubah bukan cuma itu. Tumpukan gula pun terlihat tak lagi sama. Di tengah gudang kini ada ruang kosong yang sangat lapang. Tak ada yang tahu apakah jumlahnya masih genap 8.400 ton atau tidak. "Kami jamin tak ada yang kurang," Direktur Jenderal Bea Cukai Eddy Abdurahman menegaskan.

Inilah gunungan gula tak bertuan yang belakangan jadi pemberitaan ramai di media massa. Pengimpornya sembunyi tangan. Sejak dua minggu lalu status gula itu dinyatakan sebagai barang ilegal oleh pemerintah. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi mengatakan si putih diharamkan lantaran diimpor melewati batas izin per 30 April 2004. "Supaya tidak merusak harga gula di Jawa, nantinya akan dilelang di luar Jawa," kata Rini kepada TEMPO.

Sebulan lalu, gula bermerek TRR (Thai Roong Ruang) bernilai Rp 30 miliar lebih itu dibongkar dari Pelabuhan Tanjung Priok, dari tanggal 21 hingga 24 Mei. Saat itulah reporter Tempo News Room menyetopi truk-truk yang mengangkutnya menuju gudang. Kepada satu per satu sopir, ia bertanya tentang dokumen impor yang mestinya menyertai si gula putih. Hasilnya? Hanya berdiam seribu basa, tak satu pun pengendara truk yang mampu menunjukkannya.

Lantas siapa pemilik sebenarnya? Belakangan, beredarlah empat lembar manifes kapal (daftar muatan) dengan kop surat Panthai Shipping Limited. Di dalamnya tercatat muatan dari dua kapal, Sonamu I dan Cakra Kembar, yaitu 176 ribu karung gula, terdiri dari 10 B/L (bill of lading, dokumen pengapalan). Sedangkan di lajur consignee (penerima barang), tertera ada tiga pihak: PT Perkebunan Nasional (PTPN) X, PT Phoenix Commodities Indonesia, dan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) Jakarta. "Sesuai dengan manifes itu, Inkud dan PTPN X harus mengakuinya," kata Arum Sabil, Ketua Asosiasi Tebu Rakyat Indonesia.

Kenyataannya, tak satu pun dari ketiga pihak itu yang mengakuinya. Direktur Utama PTPN X, Duduh Sadarachmat menyanggah telah mengimpornya. "Izin impor kami telah habis per 30 April dan permohonan perpanjangan izin pada 14 April belum disetujui," ujar Duduh melalui sambungan telepon. Dalam surat sanggahan yang dikirimkannya ke Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, 27 Mei kemarin, Duduh menyatakan kontrak mereka dengan pemasok gula Tate and Lyle sudah hangus.

Demikian pula halnya Inkud. Ketua umumnya, Nurdin Khalid, mengaku tak tahu-menahu soal impor gelap ini dan meminta TEMPO menanyakannya ke Direktur Utama Chairuddin. "Tidak benar, bagaimana mau mengimpor, kami tidak memiliki izin," Chairuddin berkilah.

Lantas, dokumen manifes gula itu dengan demikian palsu? Majalah ini memiliki dua versi manifes. Satu diperoleh dari seorang sumber, dan yang lainnya didapat resmi dari kantor pelayanan Bea Cukai. Sepintas keduanya tampak sama. Tapi, jika diteliti, dalam setiap lembar letak dan besarnya cap agen pelayaran Newship Nusabersama ternyata berbeda. Juga, dalam kedua manifes itu tidak tertera tanggal kedatangan kapal sebagaimana lazimnya.

Lebih janggal lagi, dalam setiap B/L terdapat tiga pihak penerima barang?satu hal yang muskil. "B/L itu tanda kepemilikan untuk menebus barang di agen pelayaran. Jadi tidak mungkin semua memiliki B/L yang sama," ujar Edwin, seorang pengusaha impor. Yang lazim, satu consignee dapat memiliki beberapa B/L.

Aneh memang. Apalagi pada awalnya Newship mengaku tidak menyimpan manifes itu. "Seseorang dari Inkud menelepon saya meminta manifesnya dikirim langsung ke mereka," ujar seorang sumber di Newship. Belakangan Newship baru mengakui mendapat salinan manifes yang bentuknya sama persis dengan yang dimiliki mingguan ini.

Kejanggalan tak berhenti sampai di situ. Belakangan juga terungkap ada dua lembar surat bernomor MA-DJBDT/04.047 dan MA-DJBDT/04.048 tentang pengajuan bongkar muat yang ditandatangani oleh Irwan Basri, Direktur Pemasaran PTPN X. Dalam surat bertanggal 6 Mei itu Irwan mohon izin membongkar muat 8.800 ton gula dari dua kapal (Sonamu I dan Cakra Kembar) di kantor pelayanan Bea Cukai tipe A Tanjung Priok. Keduanya diajukan untuk digudangkan di gudang Hobros, Cilincing. Alasannya, selain untuk menghindari kerusakan gula, dokumen terkait untuk pengajuan impor barang (PIB) masih tersangkut di bank dan prosesnya tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Toh, Irwan mati-matian membantah pernah menulis surat itu. Saat dihubungi, dia bolak-balik mengatakan akan membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi hingga kini dia tidak bisa lagi dikontak. "Kami tidak pernah mengeluarkan nomor surat berawalan MA-DJBDT, surat kami selalu berawalan MA-INSIP," salah satu stafnya, Dadya Indrakso, menjelaskan.

Duduh sendiri, dalam surat bantahannya tanggal 7 Juni kepada Bea Cukai, tidak menyatakan surat itu palsu. "Itu bukan surat permohonan PTPN X," demikian tertera dalam surat Duduh.

Toh, siapa pun yang membuatnya, pada 11 Mei 2004 pihak Bea Cukai menyetujui surat permohonan itu. "Ada seorang kurir bernama Ade yang mengantar surat permohonan dan mengambil surat persetujuan dari Bea Cukai," ujar Wahyono Herwanto dari Kantor Pelayanan I Bea Cukai . Ia mengaku surat persetujuan itu dikeluarkan berdasar tata cara bongkar-muat yang diatur dalam Keputusan Dirjen Bea Cukai No. 07 Tahun 2003?tanpa mengindahkan izin impor gula dari si pengaju surat yang sudah kedaluwarsa.

Sumber TEMPO di agen pelayaran Newship sendiri mengakui baru dihubungi oleh seseorang bernama Andi Badar dari Inkud sekitar lima hari sebelum kapal itu bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok pada 21 Mei. "Yang dimaksud adalah Andi Badar Saleh," ujar Hansen Hutagalung, Kepala Sub Direktorat Pencegahan Penyelundupan Bea Cukai.

Andi Badar Saleh, menurut sebuah sumber, adalah kemenakan Nurdin Khalid. Segala cara telah ditempuh TEMPO untuk menghubungi dia, tapi Andi tetap bungkam. Sempat dia bicara melalui ponselnya, tapi ketika dimintai waktu untuk wawancara, jawabnya hanya,"Nanti ya, nanti...," lalu memutus sambungan telepon.

Chairuddin, Direktur Utama Inkud, mengaku tidak mengenal nama Andi Badar Saleh. "Seingat saya dia hanya seorang pengusaha forwarding," kata Chairuddin. Dalam dunia ekspor-impor, yang dimaksud dengan "pengusaha forwarding" tak lain adalah pengusaha ekspedisi muatan kapal laut (EMKL). "Atau kerennya customs broker (makelar urusan bea cukai)," kata Edwin lagi.

Kantor Bea Cukai sendiri mengaku telah memanggil beberapa pejabat Inkud sejak diperintahkan Menteri Rini Soewandi mengusut kasus ini. "Kami juga menghubungi Andi Badar Saleh," ujar Kepala Seksi Pencegahan Penyelundupan Bea Cukai, Hansen Hutagalung.

Selain Andi Badar, seorang pegawai Inkud yang selama ini kerap mengurus kepabeanan impor gula atas nama PTPN X juga dipanggil petugas. Dari pengusutan ini terungkap bagaimana pola kerja sama impor antara Inkud dan PTPN X.

Hubungan kerja sama itu tertuang dalam berkas perjanjian kerja sama tanggal 16 Februari 2004 yang didapat TEMPO. Surat perjanjian itu bermeterai cukup, disahkan notaris, dan ditandatangani Direktur Utama PTPN X Duduh Sadarachmat dan Kepala Divisi Pemasaran Inkud Abdul Waris Halid, yang berlaku hingga 31 Mei 2004. Perjanjian ini lalu disempurnakan dalam adendum perjanjian kerja sama tertanggal 1 Maret 2004.

Dalam surat itu, di pasal I, jelas tertera kesediaan Inkud mengimpor 108 ribu ton gula. Inkud jugalah yang dinyatakan akan menyediakan dana membuka L/C (letter of credit) untuk impor, membayar bea masuk dan pajak impor, mengurusi kepabeanan, menangani bongkar gula dari kapal hingga ke gudang Inkud, termasuk menalangi segala macam biaya sewa gudang maupun mendistribusikannya atas nama PTPN X.

Untuk menyelesaikan semua urusan itu, ditulis dalam perjanjian tambahan bahwa PTPN X memberikan surat kuasa penuh kepada Inkud. Bahkan dinyatakan juga bahwa gula yang sudah masuk gudang berpindah kepemilikannya pada Inkud.

Dari kerja sama ini PTPN hanya mendapat bagian Rp 110 per kilogram, termasuk di dalamnya Rp 25 per kilogram untuk dana revitalisasi tanaman tebu petani. Belakangan, dalam adendum, pembagian keuntungan ini menjadi 50-50 jika harga jual gula di bawah Rp 3.450 per kilogram.

"Ini terjadi karena PTPN X, sebagai importir terdaftar resmi sesuai dengan tata niaga, tidak memiliki pengalaman impor dan dana impor," ujar Satrio Iwantono, pengamat ekonomi yang juga Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Lebih parah lagi, belakangan juga ketahuan bahwa lebih dari 56.000 ton gula ditimbun di gudang Hobros dan BGR (gudang yang sama dengan gula 8.800 ton itu). Sebanyak 42.900 ton dari gula itu dibongkar muat dan digudangkan pada bulan Mei 2004. "Gudang-gudang itu semua milik Inkud, mereka harus bertanggung jawab," Ketua Asosiasi Pengusaha Tebu Rakyat, Arum Sabil, menegaskan.

Dari dokumen yang didapat Arum Sabil (dia mengaku mendapatkannya dari penanggung jawab gudang) sebagian gula yang berasal dari tujuh kapal digudangkan dari tanggal 1 Mei hingga 26 Mei 2004 . Hal ini dibenarkan seorang penjaga gudang, sebut saja namanya Sulaiman, kepada TEMPO. "Gula-gula itu memang datang bersamaan, bahkan ada yang sebelum gula berkasus itu," katanya.

Tapi bagaimana mungkin puluhan ribu ton gula bisa lolos begitu saja melewati pelototan mata petugas? Wallahualam. "Saat ini kami sudah memeriksa 3 orang, mereka adalah Kasubdit Intelejen Bea Cukai, Kepala Kantor Pelayanan Tanjung Priok I dan Kepala Seksi P2 (Pencegahan dan Penyelidikan) Tanjung Priok I," kata Dirjen Bea Cukai Eddy Abdurahman pada TEMPO.

Yang pasti, menurut seorang distributor gula di Jakarta, kasus 8.800 ton gula itu sigap ditindak karena telanjur diendus pers. Menurut dia, si kristal manis bisa lolos lewat batas izin impor setelah ada jaminan bahwa izin impor yang diajukan Duduh pada 14 April 2004 bakal diperpanjang Sudar S.A., Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. "Ini pemutihan izin. Gula-gula itu sengaja dimasukkan dulu, begitu izin keluar gula jadi legal," ujarnya.

Sang pengusaha juga membisiki TEMPO bahwa di belakang Inkud sebenarnya ada lagi para penyandang dana impor untuk gula yang 56.000 ton ini. "Mereka adalah pengusaha gula yang tergabung dalam konsorsium bersama Inkud."

Setelah pemberitaan pecah di berbagai media, Rabu pekan lalu, dalam sebuah acara konferensi pers Inkud mengakui bahwa gula sebanyak 42.900 ton itu miliknya. "Hal ini sesuai dengan perjanjian kerja sama antara Inkud dan PTPN" ujar Freddy Simatupang, pengacara Inkud.

Anehnya, Nurdin Khalid masih membantah bahwa gula "gelap" itu milik Inkud. "Itu bukan gula Inkud, tapi milik konsorsium," ujar Nurdin pada TEMPO melalui telepon, Kamis siang pekan lalu.

Yang dimaksud Nurdin dengan konsorsium adalah gabungan sepuluh pengusaha yang merupakan penyandang dana Inkud. "Mereka hanya penyandang dana, tapi tidak mengimpor gula itu. Bisa ditangkap berdiri kita," ujar Chairuddin, Direktur Utama Inkud tentang hubungan Inkud dengan konsorsium.

Jack Tanim, salah satu anggota konsorsium, mengatakan bahwa dia hanya berhubungan dengan Inkud dan bukan dengan Departemen Perindustrian atau PTPN dalam kemelut gula ini. Wangsing, anggota konsorsium yang lain, ketika diwanwancara TEMPO hanya menjawab "no comment". Hingga saat terakhir pihak PTPN X tidak bisa dikonfirmasi ulang soal gula yang diakui pengacara Inkud sebagai milik pihaknya. Dari keterangan Bea Cukai diketahui bahwa direksi PTPN X masih diperiksa hingga akhir pekan lalu.

Yang jadi pertanyaan, mengapa gula di gudang-gudang Jakarta itu lama sekali tak bertuan. Alhasil, siapa "jin" di belakang lika-liku tumpukan gula siluman itu belum lagi jelas penampakannya. Barangkali pekan ini, setelah aparat selesai memeriksa semua yang terlibat akan muncul sosok yang masih samar-samar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus