Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekeranjang emping. Pengamen di atas kereta api yang melaju. Seorang reporter mingguan berita. Dan sebelas kaki tangan mafia gula. Gabungkan semua unsur ini, lalu tarik seutas benang merah. Ujungnya akan berakhir pada kapal-kapal yang menggelontorkan gula selundupan ketika pekatnya malam turun membungkus Tanjung Balai. Terletak di pesisir Kapias?anak Sungai Asahan?kota kecil di Sumatera Utara, kota ini dikenal satu titik sohor dalam lalu lintas penyelundupan gula pasir di Indonesia.
Adegan "transfer" gula selundupan dari kapal ke gudang di pesisir sungai bisa disaksikan langsung di kota itu dengan beberapa syarat: longgarkan urat bertualang, sudi berpetak umpet dengan kaki tangan bos-bos mafia gula, jangan sekali-kali putus akal. Dan apa boleh buat, mesti berani mendada risiko.
Stasiun Tanjung Balai, suatu Minggu petang akhir Mei silam. TEMPO datang ke sana bersama Rusdi Randy, pemandu lokal yang khatam akan peta mafia gula setempat. Menemani TEMPO yang tengah berpura-pura mencegat kereta ke Medan, Rusdi berbisik sambil mengedarkan pandangannya ke halaman stasiun tua yang suram itu. "Mereka (sejumlah kaki tangan mafia gula?Red.) ada di sini semua," ujar Rusdi. Sebetulnya, informasi tersebut sudah diketahui TEMPO dari Sang-Sang Rusgianto, petugas Bea Cukai Tanjung Balai:"Mereka mengejar Anda sampai ke hotel tadi malam. Mereka sudah tahu kedatangan kalian sejak kalian masih di Medan," ujarnya.
Dia menambahkan, para preman gula setempat merasa kesal karena tahu ada reporter Jakarta yang kesengsem mengintip aksi bongkar-muat gula selundupan di Tanjung Balai. "Intel saya mendapat pesan dari para preman ini, kalau (TEMPO) tidak berjalan bersama kami, keselamatan kalian tidak dijamin," Sang-Sang melanjutkan. Ancaman?
Wallahualam. Yang jelas, menurut Sang-Sang?yang dibenarkan Rusdi?kaki tangan mafia gula tak segan meletuskan senjata api jika hajat hidupnya terganggu: "Walau kalian sekadar mengintip kegiatan bongkar-muat gula ilegal." Selama dua hari, kegiatan bongkar memang sepi betul di Sungai Asahan dan Kapias. Maka TEMPO berpura-pura kembali ke Medan petang itu. Rencananya, begitu kereta meluncur, reporter mingguan ini diam-diam kembali ke Tanjung Balai?dan menyelinap ke tepian Sungai Kapias pada malam harinya.
Apa lacur, sebelas orang "pengantar" tadi ikut naik, untuk "mengawal" TEMPO. Keputusan harus diambil cepat. "Stasiun terdekat adalah Kisaran, 30 menit dari sini. Anda turun di sana saja," bisik Rusdi. Kereta melaju. Jarak Kisaran kian mendekat. Beradu cepat dengan para preman yang terus menguntit, TEMPO berusaha menyelinap ke gerbong lain.
Tiba-tiba serombongan pengamen menerobos ke dalam gerbong. Si reporter membaurkan tubuhnya di tengah pengamen, lalu mengenyakkan tubuh di sebuah bangku di samping seorang tukang emping. Dia memborong seluruh dagangan itu?senilai Rp 50 ribu?dengan satu syarat. Tukang emping itu harus menutupi TEMPO yang secara kilat saja menyarungkan rok panjang, kebaya muslim, dan kerudung guna mengelabui pandangan kaki tangan mafia tadi. Maka berubahlah nona reporter yang berjins denim dan T-shirt menjadi "wanita Melayu berkerudung".
Tukang emping juga meminjamkan keranjang dagangannya agar penampilan si reporter kian tersamar. Di Stasiun Kisaran, tukang emping itu menemani "wanita berkerudung" meloncat turun. "Antarkan kakak ini ke stasiun bus," ujarnya kepada seorang tukang ojek yang telah dia beri briefing begini: "Kakak ini tengah dikejar penjahat." Sang-Sang si pegawai Bea Cukai itu membenarkan hal itu ketika dikontak TEMPO setelah kejadian tersebut. Katanya: "Ada sebelas orang yang mengelilingi Anda."
Toh malam itu, rasanya terbayar juga peluh berkejaran dengan preman gula di atas kereta. Lalu-lintas selundupan kembali bernyawa. Di tepian Sungai Kapias, bersandarlah Kapal Britanica VI bermuatan 400 ton gula, pakaian bekas, dan bijih plastik. TEMPO menyaksikannya membongkar muatan di satu gudang yang dikenal masyarakat sebagai gudang "ADM". Dalam lindungan tabir malam, kapal itu mengucurkan butir-butir putih bernilai miliaran rupiah ke dalam truk-truk kontainer. Dan teringatlah TEMPO pada pesan pendek yang dikirimkan seorang pemain gula kepada Sang-Sang.
Inti pesan, dia ingin memastikan bahwa reporter mingguan ini sudah betul-betul hengkang dari Tanjung Balai ketika Britanica VI "melakukan tugas"-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo