Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, inilah Port Klang! Dalam bahasa Melayu: Pelabuhan Kelang. Terletak 60 kilometer di selatan Kuala Lumpur, tempat ini sohor sebagai pelabuhan kontainer tersibuk di seantero Asia. Pergilah ke Sampit atau Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah, atau ke Tanjung Balai di Sumatera Utara. Jika cukup akrab dengan penyelundup gula setempat, Anda bisa menyaksikan bagaimana mereka menyebut Port Klang dengan mata bermimpi oleh angan-angan. "Waduh, saya dengar di sana semuanya gampang. Gula murah (ilegal?Red.) dijejerkan di warung-warung sepanjang jalan," ujar seorang pemain gula haram kecil-kecilan di Sampit kepada TEMPO.
Ternyata bukan warung gula yang menghadang TEMPO saat wartawan mingguan ini turun di Port Klang tiga pekan silam, melainkan seorang pemuda berwajah tirus, berkulit gelap, dengan logat Batak yang kental. "Hai, Bang," ujarnya sembari menyodorkan secarik kertas lusuh berisi nama dan nomor teleponnya. "Raja," itulah nama yang tertulis?sembari menyebutkan marganya. Dia orang Tanjung Balai. Namanya disodorkan setelah ia tahu TEMPO tengah mencari-cari kapal.
Sudah tiga hari Raja tiba di sana, tidur dan makan dalam sebuah perahu kecil yang bersandar di dermaga. Di seberang stasiun kereta Port Klang terdapat sebuah warung. Raja menyebutnya "markas besar anak buah kapal di Kelang." Ke sana pula Raja membawa TEMPO untuk mencoba susu dingin yang enak.
"Mereka semua pemain gula," bisiknya kepada sang reporter sambil melirik ke teman-temannya yang tengah berkongko. "Kami sedang menantikan gula dari Thailand," ia terus berbisik.
Raja menuturkan, setiap hari sekitar 2.000 ton gula dari Thailand masuk ke Kelang. Tauke pemilik barang akan membayar petugas syahbandar Kelang 900 ringgit (setara dengan Rp 1.935.000) untuk biaya sandar kapal. Dalam istilah anak-anak kapal: "uang tutup mata"?supaya petugas merem saja saban ada muatan gula yang masuk. Tapi Raja mengaku tak tahu ke mana saja uang sandar itu berlabuh. Bila 1.000 ton saja gula selundupan masuk pelabuhan tiap hari, uang yang mengalir ke kantong pejabat pelabuhan Kelang hampir mencapai Rp 2 miliar?hanya dengan modal dengkul.
Kelang berubah menjadi pelabuhan transit barang-barang?terutama barang selundupan?ke Indonesia sejak pemerintah Malaysia gencar mempromosikannya menjadi kawasan perdagangan bebas (free trade zone). Artinya, semua barang yang masuk atau transit tak dikenai bea dan pajak apa pun. Akibatnya, para pedagang?termasuk banyak pedagang besar dari Indonesia?membeli komoditas murah seperti gula, beras, terigu, baju, sepatu, dan rokok untuk diselundupkan ke Indonesia dengan harga lebih mahal.
"Barang boleh diimpor dan diekspor tanpa kontrol. Bila masuk ke Indonesia, itu bukan urusan Malaysia," kata Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato' Hamidon Ali, kepada wartawan TEMPO Purwani Diyah Prabandari. Singkat kata, apa saja bisa dibeli dengan murah di Port Klang. "Kalau Encik bertahan seminggu, bisa beli AK (senapan Kalashnikov?Red.)," ujar Rosliansyah, seorang buruh pelabuhan.
Raja lantas mengajak TEMPO ke lantai dua sebuah bar karaoke yang menghadap ke laut luas. Dari sini, kegiatan bongkar-muat barang dapat disaksikan dengan leluasa. Dia melarang memotret, hanya TEMPO dibolehkan mengintip dari lensa tele kamera. Terbaca nama kapal Tanjung Jaya dan Sunly III. Di belakangnya, satu kapal kayu siap-siap melaut?itulah kapal Thailand yang dimaksudkan Raja?dan telah mentransfer muatan ke Tanjung Jaya dan Sunly III. Sayang, tak ada nama di lambung kapal Thailand itu. Hanya tertulis beberapa huruf Thai berukuran kecil dalam tinta merah.
Kapal-kapal inilah?menurut Raja?yang akan mengangkut gula-gula dari Kelang, menyeberangi Selat Malaka. Sebagian gula itu meluncur ke perairan Tanjung Sarang Elang, ratusan kilometer dari Kota Medan, untuk mengelabui petugas. Dari sini, baru mereka menyisir pantai masuk ke Tanjung Balai Asahan dan membongkar gula di sana. Di sini, status si kristal manis itu berubah menjadi barang ilegal. Sebagian muatan muatan kemudian diteruskan ke Pelabuhan Belawan dan disimpan di kawasan pergudangan Kayu Putih, Medan.
Lalu, siapa yang bertugas "mengurus" petugas bea cukai dan polisi? Ya, para tauke. "Kami tak pernah ditanyai atau ditangkap," ujar Raja seraya menyebut nama dua bos penyelundup gula di Tanjung Balai dan Medan.
Togi Simanjuntak, pemilik gudang nomor 40 di kawasan Tanjung Putih, Medan, mengaku pernah menyewakan gudang kepada dua tauke yang disebut Raja tersebut. Saat TEMPO mendatangi gudang itu pekan lalu, Gunawan, si penjaga gudang, menjelaskan sudah tiga bulan gudang itu kosong. "Pasokan dari Tanjung Balai terhenti," ujarnya. Dia mendengar, kiriman gula menjadi seret gara-gara keamanan yang diperketat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo