Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Para Pengawas Ompong

BPJS Kesehatan punya dua lembaga pengawas. Tapi tanpa anggaran cukup dan kedudukan kuat.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota DJSN, Tono Rustiano di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 23 Mei 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak mampu menjalankan fungsinya dengan optimal.

  • Keterbatasan anggaran dan pemangkasan wewenang menyebabkan DJSN seolah-olah tidak bertaji.

  • Selama menjabat tidak pernah dipanggil presiden untuk memberikan pendapat tentang BPJS Kesehatan.

TONO Rustiano fasih menguraikan bolong-bolong pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengalami defisit bertahun-tahun. Suara anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ini bergetar ketika mengucapkan satu per satu ketidakberdayaan lembaganya sehingga tak bisa menambal lubang-lubang yang terlihat di depan mata itu. “Seolah-olah kami hanya jadi penonton,” katanya pada Sabtu, 23 Mei lalu. “Banyak mandat untuk kami, tapi kami ompong.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, DJSN dibentuk untuk merumuskan kebijakan serta sinkronisasi sistem jaminan sosial nasional. Ada tiga tugasnya: membuat kajian dan penelitian terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial, mengusulkan kebijakan investasi, serta mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran kepada pemerintah. DJSN juga bisa mengawasi penyelenggaraan jaminan sosial hingga kesehatan keuangan BPJS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota DJSN komplet. Ada 15 orang dalam dewan ini. Lima orang mewakili pemerintah di bidang keuangan, tenaga kerja, kesehatan, kesejahteraan, serta pertahanan dan keamanan. Enam orang merupakan tokoh atau ahli keuangan, asuransi, atau aktuaria. Sisanya, dua orang perwakilan pemberi kerja dan dua dari organisasi buruh. Nyatanya, ujar Tono, DJSN tidak pernah dilibatkan dalam perumusan rencana kerja dan anggaran tahunan BPJS Kesehatan. “Kami baru tahu ada defisit dan tunggakan pada akhir tahun,” tuturnya.

Di samping DJSN, BPJS Kesehatan memiliki Dewan Pengawas. Bedanya, sementara DJSN adalah organ Presiden untuk mengawasi BPJS melalui Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Dewan Pengawas bagian integral dari BPJS sehingga anggaran kerjanya berasal dari lembaga yang diawasi.

Menurut Tono, kedudukan Dewan Pengawas ini menimbulkan konflik kepentingan dan tidak independen. Akibatnya, Dewan Pengawas selalu memberikan nilai bagus meski tiap tahun defisit BPJS kian besar dan banyak temuan kecurangan di lapangan yang membuat anggaran BPJS tekor.

Adapun anggaran DJSN berasal dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Jumlahnya Rp 20 miliar setahun. Menurut Tono, anggaran ini terlalu kecil untuk memantau kinerja BPJS di lebih dari 500 kabupaten/kota. “Jangankan merumuskan kebijakan, mengevaluasi saja kesulitan,” ujarnya.

Toh, seperti DJSN, Dewan Pengawas mengeluhkan terlalu sempitnya kewenangan dalam mengawasi BPJS. Padahal, menurut aturan, lembaga ini juga harus melaporkan kerja mereka kepada Presiden. Namun kewenangannya yang hanya mengawasi serta memberikan saran dan nasihat kepada BPJS membuat mereka juga ompong. “Kendala kami ada pada regulasi yang hanya diatur dalam satu pasal di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS,” kata Roni Febrianto, anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

Walhasil, struktur yang gemuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional membuat lembaga ini lamban. BPJS memiliki dua lembaga pengawas, internal dan eksternal, tapi mereka tidak berdaya lantaran tak independen dan tanpa kedudukan yang kuat serta anggaran yang cukup.

Padahal DJSN rutin membuat laporan per semester dari temuan-temuan mereka di lapangan, terutama soal kecurangan anggaran BPJS. Di antaranya rumah sakit yang memanipulasi kelas, perusahaan yang merekayasa data upah karyawan, pemerintah daerah yang menahan dana kapitasi untuk pusat kesehatan masyarakat dan klinik, juga kekacauan data peserta. Semua laporan itu hanya berakhir di nota kerja sama DJSN dengan kementerian dan pemerintah daerah. Tak ada tindak lanjut, apalagi sanksi, sehingga penyelewengan berjalan terus.

Yang lebih ironis, menurut anggota DJSN dari perwakilan buruh, Subiyanto, laporan per semester tersebut juga diserahkan kepada Presiden melalui menteri. Namun, sejak dilantik pada 2014, para anggota DJSN tak pernah sekali pun dipanggil Presiden untuk menjelaskan problem BPJS dan sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Laporan mereka mentok di meja Kantor Staf Presiden, dibahas, dikeluhkan, berulang setiap tahun.

“DJSN memang lemah,” ucap mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho. “Mereka seperti tak punya suara, apalagi anggaran juga tergantung kementerian.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus