Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rumah Sakit Umum Bunda, Sidoarjo, memberikan upah rujukan kepada klinik-klinik untuk meningkatkan jumlah pasien.
Manajemen mengubah diagnosis untuk meningkatkan klaim.
Rumah sakit di Medan memanfaatkan celah dalam pengadaan obat untuk mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan dan komisi dari distributor obat.
KUITANSI berwarna pink tanggal 14 Mei 2017 mengungkap praktik Rumah Sakit Umum Bunda, Sidoarjo, Jawa Timur, mendapat pasien rujukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rumah sakit di Jalan Kundi Wadungasri itu memberikan komisi kepada klinik yang merujuk pasiennya ke rumah sakit mereka. Nilainya Rp 70 ribu per pasien April 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klinik yang merujuk pasien mendapat layanan BPJS ke Rumah Sakit Bunda adalah Klinik Pratama Surya Giri Jaya di Jalan Raya Wadungasri, tak disebutkan kelas pasien dan penyakitnya. Praktik pemberian upah untuk klinik agar rumah sakit mendapat pasien BPJS ini tak lazim. “BPJS bisa rugi dua kali,” kata Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch—organisasi non-pemerintah yang mengawasi layanan kesehatan BPJS—Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukti kuitansi fee rujukan untuk Klinik Surya Giri Jaya. TEMPO/Nur Hadi
Kerugian pertama, menurut Timboel, BPJS tetap membayar dana kapitasi untuk klinik, sementara pasiennya ditangani rumah sakit. Akibatnya, BPJS merugi yang kedua: membayar tagihan untuk penanganan yang tak perlu (unnecessary treatment) karena penyakit pasien sebenarnya cukup ditangani klinik atau pusat kesehatan masyarakat.
Praktik transfer pasien dari klinik ke rumah sakit yang menyedot pembayaran tak perlu ini tecermin dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2017 dan 2018. BPK menemukan pembayaran kepada rumah sakit sebesar Rp 671 miliar dan Rp 364,9 miliar dari dana kapitasi sebesar Rp 12 triliun dan Rp 13,2 triliun. Nilai klaim berasal dari pembayaran untuk 144 jenis penyakit yang seharusnya bisa ditangani di klinik atau puskesmas, yang dikategorikan sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Direktur Rumah Sakit Umum Bunda, Sidoarjo, Aditya Aridita, terkejut ketika disodori kuitansi Klinik Pratama Surya Giri Jaya. “Ini arsip lama,” ujarnya. “Anda dapat dari mana?” Aditya mengakui ada kekeliruan pemahaman manajemen rumah sakit ketika awal mula mereka mengikuti program BPJS pada 2016. Setelah ditegur BPJS Kesehatan Sidoarjo pada akhir 2017, manajemen rumah sakit menghentikan transfer pasien dengan iming-iming upah itu.
Masalahnya, hingga Mei tahun ini, praktik pemberian upah atas transfer pasien kepada klinik dan puskesmas masih terjadi. Tina, karyawan sebuah klinik di Surabaya timur, mengaku masih menerima fee transfer pasien dari Rumah Sakit Umum Bunda.
Klinik Surya Giri Jaya di Ruko Wadung Asri Permai Blok A, Waru, Sidoarjo, 3 Juni 2020. TEMPO/Nur Hadi
Sementara itu, penanggung jawab Klinik Pratama Surya Giri Jaya, Danik Ika, membantah jika kliniknya disebut mendapat upah rujukan dari rumah sakit, terutama Rumah Sakit Umum Bunda. Ia kaget ketika kuitansi itu ditunjukkan kepadanya. “Kalau saya praktik pribadi di rumah memang mendapatkan 5 persen, tapi kalau di klinik tidak ada,” katanya.
Setidaknya ada 30 klinik atau puskesmas yang mendapat fee karena merujuk pasiennya ke Rumah Sakit Umum Bunda. Menilik pengakuan pegawai klinik dan kuitansi, klinik yang merujuk pasien tersebar di kota-kota di sekujur Sidoarjo hingga Surabaya. Komisi tiap pasien berbeda-beda tiap klinik.
Misalnya, untuk Klinik Sehati di Waru, Sidoarjo, nilainya hanya Rp 50 ribu per pasien buat rujukan pada 13 April 2017. Pengelola klinik ini menolak menjawab pertanyaan Tempo ketika didatangi pada Mei lalu. Pegawai Klinik Sehati menolak menghubungkan dengan penanggung jawab klinik dan tak merespons pertanyaan seputar upah rujukan ke Rumah Sakit Umum Bunda.
Untuk memompa semangat klinik merujuk pasien, manajemen Rumah Sakit Umum Bunda membuat semacam lomba. Klinik yang paling banyak merujuk pasien akan mendapat hadiah Rp 1-3 juta. Program pemasaran Juni-September 2017 itu disetujui manajemen dalam sebuah rapat pada 30 Mei 2017. Tujuannya, seperti tercantum dalam risalah rapat: meningkatkan jumlah rujukan pasien serta meningkatkan pendapatan.
Program ini dibagi dua segmen: rujukan BPJS dan umum. Untuk rujukan BPJS, klinik yang berhak mendapat hadiah adalah klinik yang memberikan pendapatan minimal Rp 70 juta dari nilai klaim rujukan pasien kepada BPJS. Sedangkan untuk kategori umum, jika klinik merujuk pasien persalinan caesar, pasien diberi paket promo Rp 6,5 juta dengan imbalan Rp 1 juta buat klinik. “Sejak ditegur BPJS, program itu sudah berhenti,” tutur Aditya.
Selain terpantau memberikan upah rujukan untuk menggenjot pendapatan BPJS, Rumah Sakit Umum Bunda terdeteksi mengubah diagnosis dokter. Seorang dokter di sana menuturkan bahwa ia pernah mengecek catatan diagnosisnya kepada seorang pasien dengan pembayaran yang diklaim manajemen kepada BPJS. “Diagnosis dan bukti pembayaran berbeda,” kata dokter ini.
Menurut seorang mantan pegawai Rumah Sakit Umum Bunda yang paham praktik itu, diagnosis yang acap diubah adalah kasus pada pasien anak, pasien saraf, dan pasien penyakit dalam. Ada banyak penanganan penyakit di tiga layanan ini yang belum ada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, yang menjadi aturan pemeriksaan tiap jenis penyakit pasien BPJS. Ia mencontohkan pemeriksaan benjolan diklaim sebagai tumor sehingga mendapat bayaran lebih mahal.
Menurut Aditya, praktik-praktik tersebut sudah tak dilakukan rumah sakitnya setelah manajemen rumah sakit bertemu dengan BPJS Kesehatan Sidoarjo dan menandatangani perjanjian penghentian program upah rujukan. “Persisnya saya lupa karena sudah lama, tapi kami sudah membersihkan diri dari praktik-praktik seperti itu,” ujarnya.
Pembayaran untuk penanganan yang tak perlu hingga pembayaran akal-akalan naik kelas perawatan tak hanya tercium oleh audit BPK. Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengendus praktik ini, yang membuat inefisiensi dana BPJS. Dalam rekomendasi 30 Maret 2020 untuk Presiden Joko Widodo, KPK merumuskan enam hal yang bisa menghemat dana BPJS. Rekomendasi KPK itu dibuat sebagai alternatif agar pemerintah tak perlu menaikkan tarif untuk menutup defisit.
Dalam perhitungan KPK, pembayaran klaim untuk penanganan tak perlu (unnecessary treatment) mencapai 5-10 persen dari nilai klaim Rp 100 triliun tahun lalu. Sedangkan pembayaran klaim terhadap rumah sakit akibat kelas yang tak sesuai mencapai Rp 6 triliun per tahun—lebih dari sepertiga nilai defisit BPJS tahun lalu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan upah rujukan oleh Rumah Sakit Umum Bunda untuk menaikkan pendapatan dari klaim BPJS bukan penyelewengan atau fraud. Menurut dia, praktik tersebut hanya menyalahi kode etik pelayanan kesehatan. “Tapi bukan berarti itu dibolehkan. Akan kami telusuri,” ucapnya. Tapi, dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Pasal 5 ayat 3-C, disebutkan bahwa menerima komisi atas rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut sebagai tindakan kecurangan.
Modus penyelewengan lain oleh rumah sakit untuk mendapat klaim BPJS juga terjadi di Medan. Pasien BPJS acap tak mendapat obat karena apotek rumah sakit kehabisan stok. Usman dan istrinya, misalnya. Laki-laki 75 tahun itu menderita radang kelenjar prostat, sementara istrinya mengalami gangguan psikologis.
Tiap hendak menebus obat, Usman hanya menerima bon dari apotek Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi. Dia dan istrinya harus menahan rasa sakit karena obat yang mereka butuhkan tak tersedia. Sebagai penganggur yang mengandalkan hidup dari menyewakan kamar untuk kos mahasiswa, Usman tak sanggup membeli obat tanpa bantuan BPJS. “Harga satu tablet obat Rp 30 ribu, obat istri Rp 150 ribu satu tablet,” katanya. Tak semua apotek menyediakan obat untuk istrinya sehingga ia harus menambah Rp 80 ribu ongkos becak bolak-balik dari rumah ke apotek.
Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHDaR), organisasi non-pemerintah di Medan, pada Juni 2018-Februari 2019 menemukan 100 pasien di ibu kota Sumatera Utara itu bernasib seperti Usman. Dari penelitian SAHDaR bersama Indonesia Corruption Watch terungkap ketiadaan stok obat akibat permainan petugas rumah sakit mendapatkan keuntungan dari distributor obat.
Humas RSUD dr. Pirngadi, Medan, Edison Perangin-angin di ruang kerjanya, Selasa, 2 Juni 2020. TEMPO/Mei Leandha
Modusnya memakai kode “cito” atau “segera” dalam pengadaan obat. Kode cito biasa dipakai jika keadaan darurat rumah sakit membutuhkan obat karena stok habis. Padahal, untuk menghindari kelangkaan, setiap tahun rumah sakit menyusun rencana kebutuhan obat yang dilebihkan 5 persen dari stok obat tahun sebelumnya. Dengan kode cito, rumah sakit bisa memesan obat kepada distributor mana pun dengan harga berapa saja.
Menurut Rudy Chairuriza Tanjung, mantan pemasar obat di Medan, kode cito kerap disalahgunakan manajemen rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan. Karena bebas memilih distributor, mereka akan mencari distributor yang memberikan diskon dan komisi yang besar. Dari pengalamannya, komisi dari distributor obat sebesar 30-40 persen dari total pesanan.
Menurut Ibrahim, Koordinator SAHDaR, penyelewengan kode cito mendorong kelangkaan obat dan merugikan BPJS. Soalnya, dalam laporan penggunaan dan pemakaian obat, rumah sakit melaporkan telah menyalurkan obat untuk pasien tanpa telat sehingga BPJS tetap membayar klaimnya.
Dasarnya adalah bon obat seperti yang diterima Usman dan istrinya. Edison Perangin-angin, juru bicara RSUD Dr Pirngadi, membantah jika disebut tak menyediakan obat bagi pasien BPJS rumah sakitnya. Ketika bon obat Usman ditunjukkan kepadanya, Edison mengatakan kertas itu sebagai “bon gantung”. “Begitu obat kami terima, segera diberikan kepada pasien,” ujarnya. Faktanya, Usman pernah tak mendapat obat hingga satu bulan.
BPJS Kesehatan Medan telah mengendus modus penyelewengan di balik kelangkaan obat ini. Hanya, mereka tak memakai istilah “fraud”, melainkan “dispute”. Untuk rumah sakit yang mengalami dispute, BPJS menahan klaim obat sehingga menjadi utang. Akibatnya, distribusi obat terganggu karena rumah sakit memakai dalih penahanan klaim untuk tak membayar tagihan obat mereka kepada distributor.
Tahun lalu utang BPJS kepada Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, mencapai Rp 14 miliar. Namun, menurut juru bicara RSUP Haji Adam Malik, Rosario Dorothy Simanjuntak, dispute adalah hal biasa dalam tagihan rumah sakit. “Masalah administrasi,” katanya.
Dispute dan modus cito ini telah diselidiki Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Penyidik menemukan setidaknya 40 rumah sakit terindikasi bermasalah dalam penyediaan obat. Kelebihan pembayaran obat mencapai Rp 5 miliar di satu rumah sakit. Kejaksaan juga menemukan dugaan permainan komisi dari distributor obat kepada manajemen rumah sakit. “Kami mendukung penegakan hukum,” ucap Kepala BPJS Kesehatan Medan Sari Quratul Ainy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo