Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
20 September 2001.
MENTERI Hari Sabarno memanggil empat bawahannya ke ruang kerja di lantai dua gedung Departemen Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Mereka adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sudarsono Hardjosoekarto, Inspektur Jenderal Sinyo Harry Sarundajang, Sekretaris Jenderal Siti Nurbaya, dan Sekretaris Direktur Jenderal Otonomi Triyuni Soemartono.
Agendanya membahas dana upah pungut pajak. Ini adalah duit yang disisihkan dari penerimaan pajak daerah-pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor-yang mesti disetorkan ke pemerintah pusat. Kepada tiga pejabat eselon satu dan satu di level eselon dua itu, Hari meminta laporan dana kontribusi pajak yang sudah diterima dari pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota setiap tahun.
Berdasarkan aturan, setiap daerah menyetor lima persen dari total penerimaan dua jenis pajak itu. Uang ini sebagai insentif bagi para pemungut pajak di lapangan. Separuh dibagi untuk kepolisian serta aparat di daerah, setengahnya lagi jatah Departemen Dalam Negeri yang menyebut diri "pembina pusat".
Hari bercerita, ia mengadakan rapat itu lantaran diprotes Markas Besar Kepolisian RI, yang tak lagi menerima bagian. Di pojok-pojok kantor Departemen juga menyebar gosip: sejumlah direktur menilap duit miliaran itu. Padahal Departemen sedang butuh duit untuk pelbagai kegiatan menteri dan pejabat. "Saat itu tak ada dana operasional sama sekali," kata Sarundajang, yang kini Gubernur Sulawesi Utara, Selasa pekan lalu.
Dana upah pungut pun dilirik sebagai salah satu pilihan sumber dana. Auditor internal ketika itu melaporkan, setoran pemerintah daerah yang tersimpan di Bank DKI atas nama Direktur Jenderal Otonomi Daerah itu mencapai Rp 23 miliar. Jumlah itu merupakan akumulasi dari jatah penerimaan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sejak 1976.
Setelah mendengar laporan empat anak buahnya, Hari meminta pertimbangan buat mengelola "upeti" itu. Sarundajang mengusulkan agar pedoman pemakaiannya diatur melalui keputusan menteri. "Agar transparan dan tertib," katanya.
Masalahnya, sejak dulu pos nonbujeter ini juga dipakai untuk "pembinaan politik", tunjangan hari raya pegawai, pembuatan seragam, atau perayaan yang digelar Departemen. Sudarsono lalu mengusulkan agar penggunaan dana dibagi 40 persen untuk kesejahteraan dan 60 persen untuk operasional.
Deal, semua peserta rapat setuju. Hari, Sarundajang, Sudarsono, Triyuni, dan Siti menandatangani hasil rapat setengah jam yang dituangkan dalam notulensi dua halaman.
Kini, sewindu setelah rapat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mempersoalkannya. Pertemuan ini dianggap sebagai cikal-bakal pemakaian uang yang menabrak peraturan pemerintah tentang pajak daerah. Pencairan duit untuk pelbagai keperluan ini juga mengabaikan pertimbangan Menteri Keuangan, yang membolehkan dana hanya untuk keperluan pemungutan pajak.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada Maret lalu menemukan, uang tersebut ternyata dipakai juga untuk keperluan pribadi para pejabat, seperti biaya pernikahan, ulang tahun istri menteri, renovasi rumah, beli mobil, dan ongkos berobat. Dari kuitansi pengeluaran yang dimiliki Tempo, uang yang dicairkan sekurangnya Rp 255,9 miliar selama 2001-2008. Juli lalu, Indonesia Corruption Watch juga melaporkan soal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Asal-muasal praktek tak sedap itu bermula pada 2001, ketika otonomi daerah diberlakukan. Setelah 56 tahun harus tunduk kepada Jakarta, kepala daerah diberi kekuasaan penuh mengelola wilayahnya, termasuk urusan keuangan. Menurut Sugiarti, bekas Direktur Pengelolaan Keuangan Daerah, pemindahan kewenangan itu mengubah peta birokrasi di pusat dan daerah.
Apalagi sebelumnya pemerintahan Abdurrahman Wahid membentuk Kementerian Otonomi Daerah pada 1999. Pegawai dari Direktorat Jenderal Otonomi dipindah ke kementerian baru. "Sistem anggaran masih kacau karena Kementerian Otonomi tetap menginduk ke Departemen Dalam Negeri," kata Sugiarti, yang pensiun empat tahun lalu.
Tak sampai setahun, kementerian yang dipimpin Ryaas Rasyid ini kembali digabung dengan Departemen Dalam Negeri. Perubahan dalam waktu cepat itu tak pelak mempengaruhi kegiatan rutin. Salah satunya "manajemen" upah pungut. Ketika Surjadi Sudirdja menjadi Menteri Dalam Negeri pada 1999-2001 itulah, setoran jatah upah pungut untuk kepolisian mandek.
Seorang pejabat Departemen bercerita, otonomi juga membuat Departemen Dalam Negeri hanya berperan sebagai pembina politik daerah, tak lagi mengurus dan memilah anggaran. Dampaknya dirasakan langsung oleh para pejabat eselon satu dan dua. Ketika itu mereka tak lagi mendapat tambahan penghasilan selain gaji. "Pendapatan mereka pun melorot drastis," kata sumber ini.
Karena itu, tak lama setelah dilantik menggantikan Surjadi, Hari Sabarno mengadakan rapat yang membahas soal itu. Apalagi dana dari APBN tak cukup untuk membiayai kegiatan yang bejibun. Selain itu, menurut Triyuni, saat itu banyak undang-undang dibuat di tengah tahun anggaran. Contohnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Kebutuhan darurat itulah yang mendorong Menteri Hari melirik upah pungut sebagai sumber dana untuk kegiatan operasional. Dan juga: tunjangan pejabat, karyawan, biaya perjalanan dinas, biaya lobi pembuatan undang-undang, dan seminar otonomi. Mereka menyebutnya dana taktis. Setoran yang terkumpul dari sekitar 400 daerah ini rata-rata Rp 40 miliar per tahun.
Maka sebuah tim dibentuk untuk mengonsep pengelolaan upah pungut. Sugiarti bersama beberapa direktur dari Departemen Keuangan merumuskan pasal demi pasal. Setelah revisi beberapa kali, tim selesai membuat peraturan yang diteken Hari Sabarno pada 24 Mei 2002.
Peraturan bernomor 27/2002 ini mengatur pembagian 5 persen untuk pusat, serta menambah setoran dari pajak bahan bakar minyak dan penerangan jalan. Dengan aturan ini pula, petugas yang tergabung dalam Sistem Manajemen Satu Atap bertambah menjadi polisi, Pertamina, PLN, dan Departemen Dalam Negeri.
Pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor dibagi 70 persen untuk aparat pemungut dan 30 persen untuk aparat penunjang. Dari jatah ini Departemen Dalam Negeri mendapat 2,5 persen, sisanya untuk kepolisian dan aparat lain. Dari pajak bahan bakar, Departemen mendapat 5 persen. Lalu dari pajak penerangan jalan memperoleh 6 persen.
Meski besarnya ditentukan, setiap kepala daerah dibolehkan mengatur sendiri setoran ke pusat sesuai dengan jumlah pajak yang mereka kumpulkan. Menurut peraturan itu, dana upah pungut hanya boleh dipakai untuk kegiatan pemungutan pajak. "Pasal ini mengakomodasi saran Menteri Keuangan," kata Sugiarti.
Sebelum membuat pedoman pemakaian upah pungut, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, Menteri Dalam Negeri wajib meminta pertimbangan Menteri Keuangan. Lewat surat bertanggal 19 April 2002, Menteri Boediono menyarankan insentif untuk petugas pemungut pajak diserahkan ke masing-masing daerah saja. Artinya, ekonom yang kini wakil presiden itu menolak usul Hari Sabarno.
Menurut Boediono, biaya pembinaan oleh Departemen Dalam Negeri untuk petugas di daerah sudah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Besarnya Rp 100 juta per tahun. Boediono mengakui itu uang kecil yang jauh dari cukup. "Jika masih diperlukan, dana untuk tim pusat hanya untuk menunjang kebijakan perpajakan dan retribusi," kata Boediono dalam suratnya.
Sampai sini kebijakan upah pungut masih sesuai dengan peraturan mana pun. Masalah muncul ketika uang tersebut akan dicairkan dan dipakai sebagai tunjangan kesejahteraan pegawai dan biaya operasional menteri serta pejabat di bawahnya, seperti sudah dibicarakan dalam rapat pada 20 September 2001.
Rupanya, pasal 2 ayat 2 dan pasal 9 yang mengatur penggunaan dana itu menjadi bumerang. Meski setoran terus naik dari tahun ke tahun, Departemen Dalam Negeri tetap tak bisa memakainya untuk keperluan di luar kegiatan pemungutan pajak. Tim pusat, kata seorang pejabat Departemen, sebetulnya tak banyak andil dalam pemungutan pajak.
Karena uangnya tak bisa dipakai, utak-atik pasal pun mulai ditempuh. Pada 14 Juli 2002, Hari meneken revisi aturan yang menghapus pasal 9 itu. Maka, sejak itu, setoran upah pungut pajak daerah tak hanya boleh dipakai untuk kegiatan pemungutan, tapi bisa untuk kegiatan apa saja, termasuk upah tim pengelola yang bervariasi dari Rp 1 juta sampai Rp 5 juta per bulan.
Peraturan nomor 35 ini mengubah jatah tim pusat dari pajak bahan bakar. Lima persen itu dipecah menjadi 80 persen untuk petugas pelaksana yang terdiri dari 20 persen untuk instansi pengelola dan 60 persen untuk Pertamina. Sebesar 20 persen sisanya dibagi lagi 15 persen untuk aparat penunjang dan 5 persen untuk tim pusat.
Anehnya, meski peraturan revisi belum diteken, pencairan uang sudah terjadi sebulan sebelumnya. Pada 27 Juni 2002, misalnya, Triyuni yang ditunjuk menjadi atasan bendahara mengirim nota dinas kepada Oentarto Sindung Mawardi, Direktur Jenderal Otonomi Daerah pengganti Sudarsono, mencairkan Rp 300 juta untuk biaya operasional menteri.
Pada saat yang sama, Oentarto mencairkan Rp 75 juta dari kas upah pungut untuk dirinya sendiri. "Seingat saya uangnya untuk kunjungan ke daerah dan menyumbang yayasan-yayasan," kata Oentarto, dua bulan lalu. Selama menjadi direktur jenderal, Oentarto menarik sekurangnya Rp 3,1 miliar.
Pengesahan peraturan nomor 35 ini juga aneh bin janggal. Sekretaris Jenderal Siti Nurbaya baru memberi tahu Boediono lima hari setelah beleid revisi diteken. Pasal 2 dan 9 dihapus, menurut Siti dalam suratnya, karena "menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pemungutan pajak di lapangan". Boediono tak menanggapi surat ini.
Begitulah, upeti ala Majapahit itu dipaksa menjadi halal dengan mengutak-atik peraturan yang mereka buat sendiri. Sejak peraturan nomor 35 diteken, menteri beserta pejabat eselon satu dan dua seperti berlomba mencairkan uang. Tak jarang, dalam sehari lima direktur jenderal bersamaan mengirim surat permintaan duit ke Triyuni.
Dari 13 jenis pengeluaran, dana taktis menempati urutan tertinggi sebesar Rp 79 miliar dari total penerimaan Rp 278 miliar selama 2001-2008. Hari menjadi pemakai terbanyak karena ia menteri paling lama (2001-2004), yakni Rp 36,1 miliar. Biaya dinas istri menteri, menjamu anggota DPR, dan membayar wartawan adalah jenis pengeluaran selain kegiatan berkunjung ke daerah.
Hari berang istrinya disebut memakai uang publik. "Istri saya seorang penakut, tak mungkin minta-minta duit seperti itu," katanya. "Kalau dipakai pribadi, sudah sugih aku." Menurut dia, duit itu dipakai untuk biaya pemekaran daerah yang marak waktu itu, juga persiapan pemilihan umum. Hari menganggap uang itu sah dipakai karena sudah diperiksa auditor pada saat masuk ke setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Anehnya, Hari mengaku tak tahu ada surat dari Menteri Boediono. "Saya tak pernah diberi laporan," katanya (lihat Saya Tak Mengurusi Hal Teknis). Ketika peraturan direvisi dengan menghilangkan pasal 9 pun, Hari mengaku hanya meneken draf yang sudah diparaf bawahannya.
Siti Nurbaya, yang kini Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah, memaklumi jika mantan bosnya itu lupa ada penolakan Menteri Keuangan. "Jangankan dia, saya saja lupa." Tapi ia sangsi jika Hari juga tak mengetahui perubahan pada dua peraturan itu.
Menurut Siti, seluruh proses membuat aturan upah pungut sudah selesai di Direktorat Jenderal Otonomi. "Saya meneken karena dari sana sudah diparaf. Sebab ini menyangkut uang eksklusif yang hanya diketahui mereka," katanya. Begitu juga dengan surat pemberitahuan ke Boediono yang telat lima hari, Siti hanya meneken pengantarnya, tanpa memeriksa isinya.
Siti mengakui bahwa ia mencairkan sekitar Rp 5,7 miliar dari pos itu. Tapi ia menyangkal memakai duit itu untuk keperluan pribadi. "Kalau saya meneken kuitansi, itu berarti Siti Nurbaya sebagai lembaga Sekretariat Jenderal," katanya. Menurut dia, pencairan dana operasional dari upah pungut ditopang aturan dan diawasi Inspektorat Jenderal.
Sarundajang menyangkal telah mengaudit pemakaian dana taktis. Laporan yang dia buat untuk materi rapat 20 September 2001, katanya, hanya pemeriksaan biasa. "Bahwa uangnya memang ada," katanya. Gubernur Sulawesi Utara sejak 2005 ini setuju pemakaian dana taktis karena sangat membantu pelbagai kegiatan. Ia sendiri tercatat menarik Rp 4,1 miliar selama menjadi inspektur jenderal pada 2001-2005.
Tapi Sarundajang mengaku tak mengerti penggodokan aturan pemakaian duit itu hingga terbit dua keputusan menteri. "Maret 2002 saya jadi pejabat Gubernur Maluku Utara," katanya. "Yang tahu persis kebijakan menteri ini Direktur Jenderal Otonomi Daerah."
Sudarsono, yang diharapkan menjernihkan persoalan, malah bungkam. Di sebuah restoran Jepang pada pertengahan Ramadan lalu, ia bersedia menemui tim Tempo. "Saya memakai hak saya untuk tidak mengatakan apa yang saya tahu," katanya. Dosen sosiologi Universitas Indonesia itu juga menolak melihat kuitansi pencairan uang yang ia tanda tangani sebesar Rp 187,5 juta.
Penarikan uang tersebut terus berlanjut hingga rezim berganti dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono. Mochamad Ma'ruf, yang menggantikan Hari Sabarno pada 2004, juga tercatat menarik duit itu. Mantan ketua tim pemenangan Yudhoyono ini bahkan menegaskan aturan pemakaian setoran upah pungut. Ia memindahkan pengelolanya dari Direktorat Otonomi ke Badan Administrasi Keuangan Daerah.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan bahkan menunjukkan bahwa Ma'ruf menjadi menteri yang paling sering memakai uang itu untuk keperluan pribadi dan keluarganya. Pada 2005, misalnya, ia memakai Rp 200 juta untuk biaya pernikahan putrinya. Juga biaya pengobatan di Singapura ketika terserang stroke pada Maret 2007, sehingga ia digantikan Mardiyanto.
Ma'ruf kini masih menjalani terapi dan masih sulit bicara. Susyati, istrinya, yang menjawab pertanyaan ketika Tempo mengkonfirmasi temuan itu. "Kami tak pernah meminta uang semacam itu," katanya. Susyati menganggap Rp 1,4 miliar untuk keperluan pribadi suami dan keluarganya terlalu dibesar-besarkan. "Coba hitung lagi yang benar," ujarnya (lihat Ini Tak Masuk Akal).
REKENING upah pungut itu dibekukan begitu kasusnya diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Menteri Mardiyanto juga pernah diperiksa Komisi karena tercatat memakai Rp 603 juta. Saldo terakhir dana upah pungut di Bank DKI Rp 71 miliar.
Departemen Dalam Negeri sedang menimbang ulang perlu-tidaknya mempertahankan setoran upah pu-ngut. Menurut juru bicaranya, Saut Situmorang, mekanisme pertanggungjawaban dan sistem pelaporannya sedang diperbaiki seperti disarankan BPK.
BPK menilai penerimaan dan pemakaian uang itu ilegal karena tak mendapat restu Menteri Keuangan. Mestinya, menurut anggota BPK Hasan Bisri, uang tersebut dilaporkan dulu ke APBN sehingga transparan sebelum dipakai untuk pelbagai kegiatan.
Meski sudah diaudit melalui APBD di setiap daerah, kata Hasan, uang tersebut tetap dihitung sebagai pemasukan bagi Departemen Dalam Negeri. Ia menambahkan, "Dana upah pungut ini satu dari ribuan rekening liar yang ada di departemen."
TIM INVESTIGASI
Penanggung Jawab: M. Taufiqurohman
Kepala Proyek: Budi Setyarso
Koordinator: Bagja Hidayat
Penyunting: M. Taufiqurohman, Budi Setyarso
Penulis: Bagja Hidayat, Muchamad Nafi, Yuliawati
Penyumbang Bahan: Budi Setyarso, Bagja Hidayat, Muchamad Nafi, Yuliawati, Erick P. Hardi
Foto: Mazmur A. Sembiring Novi Kartika.
Redaktur Bahasa: Sapto Nugroho, Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W.
Desain: Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Kiagus Aulianshah, Agus Darmawan, Aji Yuliarto, Tri W. Widodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo