Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Rimba Liar Bisnis Obat

Persaingan sangat ketat. Produsen bisa menghalalkan cara untuk bertahan.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis obat di Indonesia tak ubahnya sebuah hutan belantara yang liar. Persaingan sangat ketat karena begitu banyak pemain dan begitu banyak merek yang bertarung. Menurut Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi), saat ini ada 198 perusahaan yang bergerak dalam produksi obat, 33 di antaranya perusahaan asing, 4 milik negara, dan selebihnya swasta.

Jumlah merek obat yang diproduksi di Indonesia pun luar biasa banyaknya: 16 ribu merek. Untuk jenis analgesik (penghilang rasa sakit), misalnya, ada 240 merek yang dijual di pasar, mulai dari merek lokal seperti Oskadon, Panadol, sampai Aspirin, yang sudah diproduksi Bayer (Jerman) sejak 100 tahun silam.

Ermawati, analis Danareksa, mengatakan bahwa persaingan di bisnis farmasi memang mendekati sempurna. Hampir tak ada halangan apa pun di bisnis ini, baik untuk mengimpor bahan baku maupun obat jadi. Dengan bea masuk yang rendah (cuma 0-5 persen untuk bahan baku dan 5 persen plus pajak pertambahan nilai 2,5 persen untuk obat jadi), praktis siapa pun bisa mengimpor obat. Selain itu, regulasi hampir tidak ada. "Pasarnya benar-benar kompetitif dan tidak ada yang memonopoli," kata Erma.

Persaingan menjadi lebih gila karena pasarnya memang tidak terlalu besar. Sebelum krisis, penjualan obat di Indonesia rata-rata mencapai US$ 1,5 miliar. Namun, begitu krisis menghantam pada pertengahan 1997, pasar obat dalam hitungan dolar mengerut luar biasa. Baru mulai tahun lalu, industri obat Indonesia pulih dan penjualannya mencapai US$ 1,1 miliar (lihat tabel). Dari jumlah itu, 65 persen merupakan obat ethical (harus ditebus dengan resep dokter).

Tahun depan, banyak kalangan yang memperkirakan pasar obat akan tumbuh sekitar 20 persen. Namun, jika dibandingkan dengan pasar obat dunia yang mencapai US$ 400 miliar, pangsa pasar Indonesia cuma di bawah 0,5 persen. Dengan pasar yang secuil itu, para pemain terus berdatangan.

Sebelum krisis, jumlah perusahaan farmasi pernah mencapai 224 perusahaan. Tapi, setelah krisis, banyak perusahaan yang tutup dan tinggal 198 buah. Diramalkan, jumlah pabrik obat akan makin berkurang di masa-masa mendatang karena kalah bersaing. "Bagaimana bisa bersaing jika mereka cuma punya 1-2 produk," kata Ermawati. Apalagi, 90 persen bahan baku obat masih diimpor, sehingga melemahnya rupiah akan menjadi ganjalan serius bagi pabrik obat.

Dan lagi, perusahaan asing yang masuk ke Indonesia kelasnya tidak main-main. Sebut saja Pfizer-Warner Lambert, Glaxo Wellcome Smith, dan Brystol-Myers-Squibb. Pada 1999, tiga raksasa dunia ini mencatat penjualan sekitar US$ 22 miliar. Bandingkan, misalnya, dengan Darya-Varia Laboratoria, perusahaan lokal, yang cuma punya penjualan US$ 50 juta. Bahkan perusahaan lokal besar seperti Kalbe Farma hanya mampu menjual sekitar US$ 190 juta atau menguasai pangsa pasar cuma 12 persen.

Tidak mengagetkan jika perusahaan asing itu mampu mendominasi pasar obat di Indonesia. Dari 20 perusahaan dengan penjualan terbesar di apotek-apotek, 13 di antaranya merupakan perusahaan asing. Diduga, perusahaan asing kini menguasai sekitar 35 persen pasar obat di Indonesia. Artinya, rata-rata penjualan pabrik obat asing jauh lebih besar ketimbang perusahaan milik negara dan swasta lokal.

Tapi tak semua perusahaan asing mampu mencatat sukses di Indonesia. Squibb Indonesia, misalnya. Selama sembilan bulan pertama tahun lalu, dia hanya mampu mencatat penjualan US$ 12 juta. Beberapa perusahaan yang lain seperti Merck Indonesia dan Schering Plough juga hampir sama.

Bagaimana semua itu bisa terjadi? Persaingan antarpabrik obat di Indonesia memang unik. Bisa dibilang, ada segmentasi pasar yang sangat kuat antara perusahaan bermodal asing, perusahaan swasta lokal, dan perusahaan obat milik negara. Produsen asing banyak bermain di obat ethical, sementara produsen lokal lebih banyak menjual obat di pasar over the counter (OTC) atau obat bebas. Di luar mereka, masih ada perusahaan milik negara yang bermain di obat generik.

Dengan peta seperti itu, tabrakan di pasar apotek dan toko obat sering hanya terjadi antara produsen asing dan perusahaan lokal yang besar. Maklumlah, selain melibatkan biaya produksi yang besar, pembuatan obat ethical juga membutuhkan riset yang lebih rumit; berbeda dengan obat bebas, yang bisa diproduksi setiap pabrik obat. Karena itu, harga obat ethical biasanya jauh lebih mahal.

Sedikit berbeda adalah posisi obat generik. Upaya pemerintah menggenjot produksi obat generik untuk menyiasati harga obat yang makin melambung ternyata gagal. Penjualan obat generik yang murah meriah ini tak bisa meningkat karena tergencet oleh kepentingan dokter yang enggan menggunakannya dan konsumen yang emoh mengonsumsi obat generik karena sangsi terhadap khasiatnya. Tak mengherankan jika pangsa pasar obat generik tak pernah bisa lebih besar dari 7 persen dari total pasar obat di Indonesia.

Namun, tak jarang tabrakan terjadi di pasar obat bebas. Di pasar obat jenis analgesik, misalnya. Dari 240 merek, sebagian besar memang obat lokal, tapi ada juga produk asing yang mencoba bertarung di sana, yakni Aspirin. Dan sampai sekarang, Aspirin sulit menggoyahkan dominasi Bodrex, yang diproduksi Tempo Scan Pacific. Begitu pula dengan Promag dan Waisan, yang diproduksi Kalbe Farma, yang mendominasi pasar obat sakit maag.

Kendati demikian, hal itu belumlah memberikan gambaran yang nyata tentang industri obat di Indonesia. Dalam jangka panjang, produsen asing bisa saja melalap perusahaan lokal. Tren yang ada di pasar internasional sekarang ini adalah merger dan akuisisi. Raksasa dunia tadi, misalnya, merupakan perusahaan hasil merger. Nah, jika mereka mau menggarap pasar Indonesia dengan serius, bukan tidak mungkin, perusahaan lokal akan tergencet habis.

Kalaupun perusahaan asing kini belum mampu menguasai sepenuhnya pasar obat di Indonesia, itu karena mereka memiliki standar produksi yang lebih tinggi dari pabrik lokal. Misalnya, dalam soal riset dan bahan baku. Menurut seorang analis farmasi di perusahaan sekuritas asing, produsen lokal kebanyakan memproduksi obat dengan formula yang sudah lama beredar di masyarakat. Sebaliknya, produsen asing memiliki riset yang jauh lebih bagus. "Produsen lokal sering hanya meniru obat luar negeri yang patennya sudah habis," katanya.

Bahan baku juga membuat banyak produsen asing sulit bersaing di Indonesia. Ermawati dari Danareksa mengungkapkan, produsen asing biasanya membeli bahan baku dari pabriknya sendiri yang berada di luar negeri. Sebaliknya, banyak produsen obat lokal mengakali mahalnya bahan baku dari negara maju dengan mengimpornya dari Cina atau India. "Harganya bisa lebih murah 50 persen," kata Ermawati. Akibatnya, harga produk asing lebih mahal, terutama ketika dolar makin perkasa.

Meskipun begitu, semua itu tak membuat produsen asing hengkang dari Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang 210 juta terang terlalu kecil untuk diabaikan. Dengan pemakaian obat per kapita yang hanya US$ 4-6, pasar Indonesia masih bisa digenjot, terutama jika perekonomian Indonesia bisa segera pulih. Memang, saat ini pendapatan per kapita Indonesia masih sekitar US$ 700 dan belum menyamai sebelum krisis, tapi sudah lebih bagus ketimbang tiga tahun lalu, ketika pendapatan per kapita jatuh sampai di bawah US$ 500.

Tumbuhnya industri asuransi juga menjadi salah satu titik terang yang bisa menaikkan tingkat konsumsi obat resep. Karena itu, kata Ermawati, "Produsen asing masih saja bertahan kendati kapasitas pabrik mereka cuma terpakai 40 persen. Mereka melihat potensi di masa depan." Kesadaran masyarakat yang makin tinggi tentang konsumsi obat juga membuat mereka makin hati-hati dalam membeli obat. Ini jelas pertanda buruk bagi produsen lokal. Bukan tak mungkin mereka akan kian kalap sehingga menghalalkan segala cara untuk bisa bertahan—termasuk menyuap para dokter.

Raja Obat Indonesia
(Kinerja Emiten Farmasi Per September 2000) *(Rp miliar)
Perusahaan Penjualan* Laba Operasi* Laba (Rugi) Bersih* Return on Equity(%) Net profit Margin(%)
Kalbe Farma 1.177,45 299,58 (23,93) (16,12) (2,03)
Tempo Scan Pacific 1.100,41 285,98 237,63 33,81 21,59
Bayer Indonesia 501,86 83,81 64,76 45,60 12,90
Dankos Laboratories 396,55 104,31 36,73 31,90 9,26
Darya-Varia Laboratoria 327,00 47,66 (5,21) (3,83) (1,59)
Merck Indonesia 140,36 46,54 40,57 55,12 28,90
Squibb Indonesia 99,79 2,97 (23,22) 86,12 (23,27)
Schering Plough Indonesia 69,27 (1,79) (6,76) (78,21) (9,76)
Sumber: BEJ

Kecil tapi Meningkat
(Penjualan Obat 1997-2001, dalam Rp miliar)
Penjualan 1997 1998 1999 2000* 2001*
Apotek 1.607 2.038 2.571 2.960 3.410
Toko Obat 733 1.028 1.510 1.872 2.197
Rumah Sakit 569 800 1.021 1.189 1.410
OTC 612 687 1.380 2.004 2.410
Ethical 347 520 1.006 1.589 1.798
Jumlah 3.868 5.073 7.488 9.614 1.225
* Proyeksi. Sumber: IMS Health

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Lima yang Terbesar
(Peringkat perusahaan farmasi di masing-masing ceruk)
Apotek Toko Obat Rumah Sakit
Sanbe Farma Kalbe Group Kalbe Group
Kalbe Group Tempo Scan Pacific Hoechst
Dexa Medica Group Merck Otsuka
Novartis Biochemie Darya-Varia Dexa Medica Group
Pfizer Group Medifarma Roche
Catatan: Huruf tebal adalah perusahaan asing
Sumber: IMS Health