Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita harus nekat kalau memang ingin melakukan hal yang baik untuk bangsa ini." Pernyataan itu dilontarkan Yohanes Surya dalam wawancara dengan Tempo pada Mei 2013 ketika menjelaskan bagaimana upayanya mencari pendanaan Universitas Surya. Empat tahun berselang, kenekatan itu berbuntut panjang dan berpotensi menimbulkan persoalan hukum.
Perguruan tinggi yang didirikannya itu dirundung banyak masalah, seperti tunggakan gaji dosen, macetnya kredit tanpa agunan (KTA) student loan, serta kondisi keuangan yang serba kekurangan. Lelaki kelahiran Jakarta, 6 November 1963, ini menganggap persoalan itu muncul karena kesalahan dalam mengelola keuangan perguruan tinggi tersebut.
Namun Yohanes yakin persoalan yang mendera itu akan berakhir setelah dia meneken pakta integritas dengan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV, yang mencium silang-selimpat kondisi perkuliahan dan keuangan Universitas Surya. "Sebentar lagi masalah ini akan selesai," katanya di ruang Rektor Universitas Surya, Gading Serpong, Tangerang, 12 Juni lalu.
Awalnya, ketika ditemui Rusman Paraqbueq dan Mustafa Silalahi dari Tempo, doktor lulusan College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat, ini sempat menolak sengkarut kampusnya dipublikasikan. Tapi ia akhirnya menjelaskan dengan serius-sesekali diselingi tawa.
Sebagian orang menganggap Universitas Surya tidak layak berdiri?
Tidak benar, karena waktu itu kami punya gedung yang namanya Gedung Sure (Surya Research and Education Center) di Gading Serpong. Itu aset saya pribadi.
Setelah universitas berdiri, Anda mengajak 200 orang bergelar PhD di luar negeri menjadi dosen dengan iming-iming gaji tinggi, yang belakangan diingkari?
Tentu saya tidak sembarangan. Ada dana yang cukup, bahkan pada tahun pertama kami kasih scholarship kepada mahasiswa. Kami berharap pada tahun kedua dan ketiga banyak mahasiswa yang berbayar. Ternyata jumlah mahasiswa bukannya naik, tapi turun. Di sini kesalahannya. Tidak seperti yang saya harapkan, mahasiswa yang bayar sedikit, sehingga tidak bisa bayar doktor-doktor itu.
Anda mengajak mereka hanya lewat e-mail?
Iya, via e-mail, tapi kami bilang bahwa kami mau membangun universitas. Kalau mau, gaji disepakati dan kami bayar. Setelah dua tahun, kondisi keuangan kami tidak ada pemasukan. Bagaimana mau survive, kecuali dirampingkan.
Dirampingkan seperti apa?
Ada yang kami keluarkan, sebagian keluar sendiri karena kami tidak bisa membayar mereka. Kalau mau bertahan, gajinya diturunkan.
Mereka mengundurkan diri karena kampus terlambat membayar gaji?
Kami sudah bicarakan waktu perampingan dan restrukturisasi. Kami bilang kami beresin dulu universitas, lalu kami cicil gajinya. Sekarang sudah mulai dicicil, tapi belum seluruhnya.
Anda berjanji menggaji mereka Rp 20-30 juta per bulan?
Iya, bahkan ada yang kami bayar Rp 50-65 juta. Dua tahun kami bayar, lalu kami tidak mampu lagi karena sampai harus jual aset.
Sejak 2014, Universitas Surya memperoleh dana SPP lewat KTA student loan atas nama orang tua mahasiswa dari Bank Mandiri, tapi orang tua tidak menyadari itu sebagai student loan….
Saya mendapat info soal KTA ini bahwa ada satu universitas yang pernah melakukannya. Saya pikir ini ada baiknya. Lalu saya minta tim marketing mengurusnya. Saya kurang tahu di lapangan seperti apa. Setahu saya, ada penjelasan dari Mandiri, tapi mungkin ada orang tua yang tidak mendapat penjelasan.
Dalam perjanjian kerja sama tentang student loan, justru yang bertanda tangan adalah PT Surya Research International (SRI) dan Bank Mandiri….
Iya benar. Memang Mandiri tidak bisa melakukan perjanjian dengan Yayasan Surya Institute. Kami pinjam PT SRI untuk melakukan kerja sama ini. Kami harus melakukannya untuk mendapatkan student loan.
Kenapa kampus tidak menyiapkan dana sejak awal?
Kami memang punya gedung. Waktu itu, kami pikir ada universitas yang pernah melakukan student loan, kami coba. Ini bisa ditanyakan ke Bank Mandiri.
Mandiri yang menawarkan ide KTA student loan kepada Anda?
Bukan. Sebenarnya ini ide dari tim marketing yang menyatakan ada satu universitas yang melakukan dan bisa kami coba. Lalu mereka menghubungi Bank Mandiri dan mereka mau memberikan.
Apa pertimbangan Anda memilih membayar gaji dosen dengan student loan?
Kami punya sumber-sumber, gedung dijaminkan, mendapat pinjaman dari bank, itu satu alternatif. Ketika ada student loan, kami pikir jalan dengan Mandiri akan lancar. Namun ternyata ke sininya mandek. Kalau tahu akan seperti ini, enggak usah pakai student loan.
Lalu mengapa menggunakan PT SRI saat mengurus student loan?
Pembicaraan tim marketing kami dengan Bank Mandiri memang bisa. Logikanya, pasti semua pihak sudah setuju. Sebenarnya PT SRI yang cari dana men-support Yayasan, karena Yayasan rugi terus. Seperti Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya, awalnya juga tidak mungkin hidup kalau tidak di-support PT SRI.
Sebenarnya siapa pemilik PT SRI ini?
Dulunya bukan saya, tapi saya ambil alih karena sempat tidak jalan karena saya sibuk urusin krisis ini. Ini perusahaan keluarga.
Pada akhirnya, KTA student loan macet…?
Sampai 2015 lancar, tapi gedung saya jual Rp 200 miliar pada 2014, dipakai untuk membayari utang yang banyak sekali dan saya mesti men-support banyak hal.
Orang tua mahasiswa selalu membayar cicilan ke PT SRI. Kenapa tidak disetorkan ke Mandiri?
Jadi ada beberapa kasus yang mungkin miskomunikasi, tapi kebanyakan kan enggak. Artinya, seharusnya tidak begitu. Mungkin ada satu-dua kasus yang seperti itu.
Bagaimana nasib orang tua mahasiswa penerima student loan yang telanjur masuk daftar debitor bermasalah Mandiri?
Yang pertama, PT SRI akan mencoba mengambil alih masalah ini supaya orang tua jangan dibebankan. Saya sudah bersurat ke Direktur Utama Bank Mandiri untuk menyelesaikan ini.
Anda merangkap jabatan sebagai Rektor Universitas Surya dan Ketua Yayasan Surya Institute, padahal tidak boleh….
Saya sudah berbicara sama Kopertis, untuk rektor dengan yayasan itu sebenarnya tidak ada masalah asalkan di dalam akta pendirian tidak disebut tidak boleh rangkap jabatan. Saya memegang jabatan rektor untuk kepentingan promosi. Posisi saya hanya buat branding universitas. Ada yang mengerjakan tugas rektor sehari-hari, yaitu Martin Tjahjono.
Sesuai dengan surat keputusan pendirian Universitas Surya, penyelenggaraan pendidikan seharusnya dipindahkan dari Tangerang ke Bogor setelah dua tahun berjalan….
Kami sudah mengajukan surat ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada 2014 agar kami diizinkan tinggal di Tangerang. Kalau yang di Bogor, kami tetap ada tanahnya.
Apakah rencana membangun kawasan pendidikan dan riset yang disebut Tenjo Edu City seluas 250 hektare di Tenjo, Kabupaten Bogor, tetap berlanjut?
Waktu itu, kami mau pindah ke Tenjo dengan pertimbangan kami ada kontrak 10 tahun di sana, tapi investornya PT Surepassindo gagal membangun, sehingga tidak jadi. Lalu Surepassindo diserahkan ke Pak Syam (Syam Surya Syamsi, Wakil Rektor I Universitas Surya).
Dalam akta Surepassindo justru Anda sebagai pemegang saham?
Awalnya iya. Waktu itu sudah diserahkan semuanya ke Pak Syam.
Ide siapa Tenjo Edu City ini?
Saya punya ide. Idenya saya bilang begini: prinsipnya saya mau bangun Universitas Surya, tapi tidak akan bisa jalan kalau tidak di-support.
Ketika proyek dimulai, Anda berkeliling mencari investor?
Begini, saya mengajak orang dengan persyaratan universitas tidak bisa dijadikan bisnis, tapi boleh berbisnis di sekitar universitas. Banyak orang yang saya ajak. Mereka bilang itu terlalu idealistis, tidak bakal ada yang mau berinvestasi.
Sebagian investor mengatakan rencana itu terlalu muluk-muluk?
Kalau saya hitung, jika kami bisa mendapat 3.000 mahasiswa yang berbayar dengan SPP Rp 3 juta per bulan, jadinya Rp 9 miliar. Sedangkan gaji 200 doktor cuma Rp 6 miliar. Sisa Rp 2-3 miliar. Seharusnya bisa jalan untuk operasional. Tapi kami kasih beasiswa terlalu banyak, yang berbayarnya sedikit. Itu yang membuat saya salah berhitung.
Anda merasa bersalah?
Saya salah berhitung. Semestinya saya jangan menarik doktor terlalu banyak. Semestinya sepuluh doktor dulu, disesuaikan dengan jumlah mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo