Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERJARAK sekitar tiga kilometer dari Stasiun Cikampek, Rumah Sakit Izza tampak mentereng dengan cat hijau yang masih baru. Tempat berobat berlantai dua itu berdiri di lahan sekitar 1,5 hektare. Di samping kiri masih ada lahan kosong sekitar 1.000 meter, plus sebuah baliho bertulisan "Rumah Sakit Izza Sepenuh Hati Melayani Peserta BPJS Kesehatan".
Warga di kawasan Ciselang, Cikampek Utara, Jawa Barat, mengenalnya dengan nama Rumah Sakit Aqma. Itu nama lama sebelum berganti menjadi Izza. Pada 2012, nama rumah RS Aqma masuk radar Komisi Yudisial. Biro investigasi lembaga tersebut menemukan fakta mencurigakan: kepengurusan dan kepemilikan saham rumah sakit itu melibatkan keluarga enam hakim agung dan seorang pengacara sekaligus kurator.
Kisah ini bermula dari putusan perkara peninjauan kembali kasus gembong narkotik Hanky Gunawan pada Agustus 2011. Pemilik pabrik ekstasi di Surabaya itu divonis hukuman mati pada putusan kasasi. Dalam peninjauan kembali, majelis hakim yang beranggotakan hakim agung Imron Anwari, Ahmad Yamanie, dan Nyak Pha mengubah hukumannya menjadi penjara 15 tahun.
Kontroversi meletus pada akhir 2011 menyusul hasil peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Putusan ini membawa ingatan kita pada putusan Imron yang pernah "menyelamatkan" gembong narkotik asal Nigeria, Hillary Chimezie. Pada 2009, Chimezie sudah divonis hukuman mati. Majelis hakim yang dipimpin Imron meninjau kembali perkara ini. Hasilnya? Chimezie hanya kena hukuman bui 12 tahun.
Alasan Imron ketika itu, hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan. Chimezie akhirnya dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap. Dua tahun kemudian, dia kembali ditangkap Badan Narkotika Nasional lantaran mengorganisasi perdagangan narkotik dari dalam penjara.
Segera setelah putusan kontroversial tersebut diumumkan, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim untuk menyelidiki vonis tersebut. Mereka antara lain menemukan jejak tulisan tangan Yamanie yang mengubah putusan peninjauan kembali Hanky dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara.
Temuan tersebut memperkuat dugaan ada kongkalikong dalam vonis peninjauan kembali kasus Hanky. Majelis sebenarnya merekomendasikan Yamanie dipecat secara tidak hormat. Namun Mahkamah Agung hanya memintanya mengundurkan diri.
Senyampang Majelis Kehormatan Hakim bekerja, Komisi Yudisial menerima informasi dari Badan Narkotika Nasional, yang menengarai adanya aliran duit dalam perkara peninjauan kembali tersebut. "Kami langsung menelusuri informasi itu," ujar seorang investigator Komisi Yudisial kepada Tempo. Penyelidikan dilakukan oleh tim dari biro investigasi yang memunculkan nama Safitri Hariyani Saptogino.
Safitri, pengacara sekaligus kurator, terhubung dengan Imron Anwari dan Yamanie melalui RS Aqma. Anak-anak kedua hakim agung ini menjadi direktur utama dan direktur, sekaligus pemegang saham, di RS Aqma. Adapun keluarga Safitri menjadi pemegang saham mayoritas. "Kami terus mengumpulkan bahan mengenai hal ini," kata Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki pekan lalu.
+ + + +
Hakim bermain mata dengan pengacara bukan isu baru dalam dunia peradilan. Juni tahun lalu, misalnya, pengacara Susi Tur Andayani dijatuhi hukuman bui lima tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dia terbukti menjadi perantara suap M. Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu. Pada 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk pengacara Harini Wijoso bersama lima anggota staf Mahkamah Agung. Dalam penangkapan itu, komisi antikorupsi menyita uang US$ 400 ribu dan Rp 800 juta. Diduga uang tersebut akan diberikan kepada sejumlah hakim agung.
Namun baru kali ini terungkap ada pengacara yang menghimpun hingga enam keluarga hakim agung untuk bersama membeli dan mengelola sebuah rumah sakit di pelosok Jawa Barat. Bulan lalu, Tempo bertemu dengan beberapa sumber di Mahkamah Agung untuk mengecek ihwal Safitri. Jawaban mereka rata-rata sama: pengacara dan kurator itu memang aktif mendekati keluarga hakim agung. Dia mengajak Furqon Rizki Utama, anak hakim agung Zaharuddin Utama, magang di Safitri, Ida & Partners Law Firm sekadar contoh.
Seorang anggota staf di Mahkamah Agung bercerita, Safitri mula-mula mendekati istri Zaharuddin Utama dalam pesta nikah seorang anak hakim agung. "Dia menawari Rizki magang di kantornya lewat istri Zaharuddin," katanya. Menurut pejabat eselon IV ini, mula-mula Zaharuddin menolak karena khawatir akan adanya konflik kepentingan. Belakangan Zaharuddin menyerah, membiarkan anaknya melakukan kerja praktek di kantor Safitri.
Rizki membenarkan pernah magang di kantor Safitri. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu sejak empat tahun lalu bahkan bekerja sebagai pengacara di kantor Safitri. Menurut Rizki, Safitri juga mengajak dia menjadi pengurus sekaligus pemilik RS Aqma. "Saya ditawari jabatan komisaris utama," ujar Rizki, pertengahan Desember tahun lalu, kepada Tempo.
Mendapat tawaran itu, Rizki mengajak ayahnya berkongsi dan mengajukan permohonan pinjaman ke bank. Belakangan, kata dia, dana ditarik lagi gara-gara bisnis itu dianggap tak cocok. "Rumah sakitnya jauh dan tak menguntungkan," ujarnya.
Salah satu dokumen yang diperoleh tim investigasi Tempo dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggambarkan fakta pendirian PT Aqmarina Putra Rizky, nama usaha RS Aqma yang kemudian berganti nama menjadi RS Izza. Detail hubungan bisnis keluarga enam hakim agung dengan keluarga Safitri tergambar jelas dalam dokumen tersebut.
Dimulai dengan Rizki sebagai komisaris utama, akta ini mencantumkan nama Rahmafiana Citra Maharani, anak hakim agung Sofyan Sitompul, sebagai komisaris. Direktur utamanya Magdhalyke Ronansjah, putri sulung hakim agung Imron Anwari. Lalu ada Yudha Syahbana sebagai direktur ini anak bekas hakim agung Yamanie. Disriyanti Laila, anak hakim agung Mahdi Soroinda Nasution, juga menjadi direktur. Terakhir Nursidah, yang diduga istri hakim agung Abdurrahman. Dia menjadi komisaris. Anak Imron dan Yamanie tercatat memegang saham paling banyak.
Pada akta tercantum pula nama Adji Saptogino, dokter dan suami Safitri, serta Fadhilah Aliyah Nur Imani, anak Safitri. Adji menjabat direktur, sedangkan Fadhilah menjadi pemegang saham mayoritas.
Tim Komisi Yudisial menduga RS Aqma merupakan sarana cuci uang dan ditengarai terkait dengan kasus Hanky Gunawan. Dugaan ini muncul lantaran ada aliran dana mencurigakan ke rumah sakit tersebut, tak lama setelah perkara peninjauan kembali Hanky diketuk. Ini informasi seorang penegak hukum kepada Tempo: selama tiga bulan, September, Oktober, dan November 2011, ada tiga kali setoran tunai ke rekening rumah sakit itu di BRI dengan jumlah total mendekati Rp 4 miliar.
Soal setoran mencurigakan itu, Soedeson Tandra, pengacara Hanky, mengatakan tidak tahu-menahu. "Saya hanya mengurus materi hukumnya, membuat memori kasasi dan memori peninjauan kembali," ujarnya Rabu pekan lalu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Advokat Indonesia Johnson Panjaitan mengatakan, di kalangan pengacara, cara seperti yang digunakan Safitri dikenal dengan istilah "mafia investasi". "Kalau istri dan anak-anak sudah bisa dikuasai, otomatis bapaknya juga bisa," ujarnya.
Hal lain yang sering dilakukan "mafia investasi", menurut Johnson, adalah memberi pelayanan medis dan mengajak belanja atau pelesir saat para hakim ke luar negeri. "Gratifikasi terhadap hakim kini bergeser dari pola memberi uang secara cash and carry," Johnson menambahkan.
+ + + +
PARA hakim agung yang nama keluarganya ada dalam akta PT Aqmarina mengakui mengenal Safitri. Imron Anwari mengenal Safitri sebagai kurator yang bersuamikan dokter. Saat ditemui di Bogor pertengahan Desember tahun lalu, dia mula-mula membantah kabar bahwa anaknya terlibat bisnis dengan Safitri. Setelah ditunjukkan dokumen yang mencatat jabatan dan kepemilikan saham anaknya di RS Izza, dia menjawab dengan ketus. "Anda dari mana?" ujarnya lalu menolak diwawancarai lebih lanjut.
Zaharuddin membenarkan kabar bahwa anaknya bekerja di kantor Safitri. Tapi dia mengatakan tidak tahu anaknya pernah menjadi komisaris utama di PT Aqmarina. Ia menegaskan, meski anaknya bekerja di kantor Safitri, tidak ada intervensi terhadapnya sebagai hakim. "Tidak ada titipan perkara," ujarnya. Hal yang sama dikatakan Mahdi Soroinda Nasution. "Saya tidak tahu soal rumah sakit," katanya. Sofyan Sitompul memilih tak merespons Tempo dengan alasan terburu-buru mengejar sidang di kantornya.
Yamanie, yang telah mengundurkan diri, mengatakan kenal dengan Safitri. Itu lantaran dia pernah menjalani pemeriksaan radiologi oleh Adji Saptogino, suami Safitri. "Tapi hubungan itu hanya antara dokter dan pasien," ujarnya Senin pekan lalu. Ia membantah kabar bahwa anaknya, Yudha Syahbana, pernah berbisnis dengan Safitri. Ketika diberi tahu bahwa nama Yudha tercatat sebagai pemegang saham dan direktur RS Izza di akta, dia berkeras anaknya tak pernah menerima pekerjaan apa pun yang berkaitan dengan rumah sakit. "De facto tidak pernah."
Tempo berkali-kali menghubungi Abdurrahman untuk menanyakan perihal dugaan ada nama istrinya dalam daftar pengurus dan pemegang saham di Izza. Tapi, hingga berita ini diturunkan, Abdurrahman belum bisa dimintai konfirmasi.
Seorang anggota staf di Mahkamah Agung menyebutkan Safitri punya lobi dan jaringan bagus ke hampir semua hakim agung dan staf Mahkamah Agung. Suatu ketika, kata dia, pegawai kantor Ida & Partners Law Firm datang ke bagian penahanan dan meminta masa tahanan seorang terdakwa diperpanjang. Rupanya, si terdakwa masuk tahanan karena dilaporkan oleh klien kantor pengacara itu. "Biasanya permintaan seperti itu diproses beberapa hari. Ini langsung diproses hari itu juga," tutur si pegawai.
+ + + +
DALAM jawaban tertulis kepada Tempo yang disampaikan melalui Tri Hartanto, rekannya, Safitri mengakui RS Izza milik keluarga. Dia membenarkan kabar bahwa Furqon Rizki, anak hakim agung Zaharuddin Utama, ikut memiliki saham RS Izza. Menurut dia, Rizki melepas sahamnya karena cicilan pembayaran kredit pengembangan bisnis terlalu berat, sementara bisnis rumah sakit belum berjalan normal. "Hubungan dengan Rizki adalah hubungan bisnis," katanya.
Namun Safitri menolak menjelaskan alasan dia mengajak keluarga sejumlah hakim agung berbisnis rumah sakit. Dia juga tak menjawab pertanyaan tentang pelayanan medis kepada para hakim agung. "Itu tidak relevan," dia menulis dalam surat jawaban.
Kode etik para hakim yang tertuang dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2012 dengan tegas mengingatkan bahwa hakim harus "berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya". Juga dilarang menggunakan wibawa jabatannya demi mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga, atau siapa pun dalam hubungan finansial.
Namun Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, yang ditemui khusus untuk dimintai konfirmasi ihwal ini, mengatakan pengacara dekat dengan hakim agung itu biasa. Menurut dia, mereka baru bersikap jika ada yang melapor bahwa bisnis bersama itu melanggar etika dan terbukti ada konflik kepentingan. "Kami lihat dulu korelasinya terhadap Mahkamah Agung," ujarnya.
Tanggapan berbeda disampaikan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki. Bagi dia, bisnis Safitri dan keluarga enam hakim agung melanggar kode etik. "Keluarga hakim berbisnis dengan pengacara jelas menimbulkan konflik kepentingan," katanya pekan lalu.
Tak lama setelah Komisi Yudisial menelisik RS Aqma alias Izza, bisnis bersama keluarga para hakim dengan Safitri pun bubar. Dalam akta terbaru perusahaan, 16 Agustus 2013, tak ada lagi nama keluarga hakim agung sebagai pengurus dan pemegang saham. PT Aqmarina pun telah berganti nama menjadi PT Sapta Kurnia Abadi dan telah sepenuhnya dikuasai keluarga Safitri.
Perubahan data bisnis itu tak menyurutkan langkah Komisi Yudisial dan aparat hukum lain. Kepada Tempo, Suparman menegaskan, lembaganya masih terus mengumpulkan bukti terkait antara bisnis RS Aqma dan vonis ringan Hanky Gunawan pada Agustus 2011. "Konteks penelusuran kami: dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," ujarnya dengan tegas.
TIM INVESTIGASI Penanggung Jawab Proyek: Budi Setyarso, Philipus Parera Pemimpin Proyek: Sukma Loppies Penyunting: Hermien Y. Kleden, Philipus Parera, Yandhrie Arvian Penulis: Sukma Loppies, Agung Sedayu Penyumbang Bahan: Sukma Loppies, Agung Sedayu, Mustafa Silalahi, Agoeng Wijaya (Jakarta), Amar Burase (Palu) Foto: Ratih Purnama Ningsih Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Desain: Djunaedi, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo |
Dulu Lesi, Sekarang Berseri
Hampir tutup pada 2011, Rumah Sakit Aqma tiba-tiba bugar kembali. Wajah pusat pelayanan kesehatan di pelosok di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang tadinya pucat lesi--karena pemiliknya terlibat utang besar--kini tampak lebih berseri. Dan, telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Izza. Kepemilikan rumah sakit ini oleh anggota keluarga enam hakim agung dan seorang pengacara ditengarai melanggar etika kehakiman.
Nama : Rumah Sakit Aqma
Perusahaan : PT Aqmarina Putra Rizky
Berdiri : 14 Desember 2004
Modal dasar : Rp 3,5 miliar (28 November 2011)
Nilai saham : Rp 100 ribu per lembar
2012
Akhir 2011 pemilik lama menjual perusahaan dan rumah sakit karena terlilit utang. Pembelinya keluarga pengacara Safitri Hariyani dan keluarga hakim agung Zaharuddin Utama, Abdurrahman, Sofyan Sitompul, Imron Anwari, Achmad Yamanie, serta Mahdi Soroindah Nasution. Mereka mengganti nama rumah sakit dan perusahaannya.
Nama : Rumah Sakit Izza
Perusahaan : PT Sapta Kurnia Abadi (sejak 4 Juli 2012)
Modal dasar : Rp 14 miliar
Nilai saham : Rp 1 juta per lembar
Komisaris Utama: Furqon Rizki Utama
Saham 700 lembar
Bekerja di kantor pengacara Safitri Hariyani
Anak hakim agung Zaharuddin Utama
(Beri tanda panah ke foto Zaharuddin Utama)
Komisaris: Nursidah
Saham 700 lembar
Diduga istri hakim agung Abdurrahman
(Beri tanda panah ke foto Abdurrahman)
Komisaris: Rahmafiana Citra Maharani
Saham 700 lembar
Anak hakim agung Sofyan Sitompul
(Beri tanda panah ke foto Sofyan Sitompul)
Direktur Utama: Magdhalyke Ronansjah
Saham 2.940
Putri sulung hakim agung Imron Anwari
(Beri tanda panah ke foto Imron Anwari)
Direktur: Yudha Syahbana
Saham 1.680
Anak bekas hakim agung Achmad Yamanie
(Beri tanda panah ke foto Achmad Yamanie)
Direktur: Disriyanti Laila
Saham 1.680 lebar
Anak hakim agung Mahdi Soroinda Nasution
(Beri tanda panah ke foto Mahdi Soroinda Nasution)
Direktur: Adji Saptogino
Tak punya saham
Suami Safitri Hariyani
(Beri tanda panah ke foto Safitri Hariyani)
Fadhilah Aliyah Nur Imani
Tidak ada jabatan
Saham 5.600 lembar
Anak dari Adji Saptogino dan Safitri Hariyani
(Beri tanda panah ke foto Adji Saptogino dan Safitri Hariyani)
2013
Tak lama setelah Komisi Yudisial menyelidiki rumah sakit ini, dalam akta tanggal 16 Agustus 2013 komposisi pemegang saham dan direksi berubah.
Komisaris Utama: Fadhilah Aliyah Nur Imani
Saham 5.600 lembar
Anak dari Adji Saptogino dan Safitri Hariyani
Komisaris: Nugroho Santoso
Tak punya saham
Direktur Utama: Adji Saptogino
Saham 8.400 lembar
Suami dari Safitri Hariyani
Direktur: Safitri Hariyani
Tak punya saham
Setoran Mencurigakan
Rekening PT Aqmarina Putra Rizky di BRI menerima tiga setoran tunai mencurigakan pada 2011, setelah vonis Hanky Gunawan.
26 September: Rp 900 juta
7 Oktober: Rp 700 juta
7 November: Rp 2,25 miliar
Sumber:
"Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
"Resume Tim Komisi Yudisial
"Data Mahkamah Agung
"Investigasi Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo