Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENCANA selalu memiliki sisi lain yang terkadang tak kasatmata. Selain solidaritas internasional—yang tak mengindahkan batas-batas ideologi, kebangsaan, dan agama—yang membangkitkan optimisme buat masa depan kemanusiaan, diam-diam berlangsung sebuah kompetisi di antara negara-negara pemberi bantuan.
Pemirsa televisi atau pengamat berita yang kritis tentu bisa menangkap betapa bencana udara yang menewaskan lebih dari seratus penumpang pesawat AirAsia itu juga merupakan sebuah panggung raksasa. Perairan yang membentang di sepanjang Laut Jawa hingga Selat Karimata adalah arena adu canggih antara kapal-kapal berteknologi mutakhir Singapura, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru—antara lain.
Diakui atau tidak, bintang panggung dalam bencana ini adalah pahlawan yang menawarkan informasi kepada mereka yang haus keterangan, mengumumkan koordinat jatuhnya pesawat bagi yang penasaran, juga: menemukan kotak hitam untuk menjawab teka-teki penyebab bencana di Selat Karimata itu. Kalau sudah demikian, mungkin tak ada yang ragu bahwa Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko merupakan bintang panggung yang paling mencorong.
Ketika pencarian bangkai pesawat mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, Panglima TNI ini memilih hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Tiga hari tiga malam ia terkatung-katung di perairan dangkal tapi berarus liar Selat Karimata bersama awak KRI Banda Aceh, sampai akhirnya ia memantau pengangkatan ekor AirAsia ke kapal Crest Onyx milik Rusia. Moeldoko membanggakan prajuritnya yang mampu menemukan flight data recorder (FDR), bagian dari kotak hitam pesawat, dalam dua pekan.
Tim selam TNI Angkatan Laut berhasil mengangkat kotak FDR berwarna oranye itu pada pukul 07.10 WIB ke kapal Jadayat, lalu memindahkan kotak hitam ke KRI Banda Aceh dengan pengamanan ketat. Seusai pengangkatan, Moeldoko membawa kotak hitam berisi FDR dari KRI Banda Aceh ke Pangkalan Udara Iskandar. Ia mengumumkan penemuan timnya sambil menunjukkan sebuah kotak kaca berisi FDR yang terendam air. Penemuan kotak hitam adalah suatu finale—alias puncak dari pencarian panjang selama ini.
Tentu saja ada orang yang memandang kejadian ini dengan sinis: seorang jenderal bintang empat sedang membutuhkan panggung yang lebih besar untuk mendongkrak citra. Bukankah diam-diam ia telah menggeser posisi Badan SAR Nasional, yang sebelumnya memainkan peran sentral dalam pencarian bangkai pesawat dan evakuasi jenazah? Apa pun motivasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, boleh jadi bangsa ini belum terbebas dari asumsi bahwa ambisi itu merupakan cacat.
Masih banyak orang yang tidak percaya dengan anggapan penuh prasangka buruk di atas. Namun Moeldoko kiranya perlu menjelaskan urgensinya selalu berada di tengah sorotan, di antara pengumuman yang menentukan kelanjutan proses evakuasi ini—meski asumsi itu sebetulnya tidak cukup ditangkis dengan penjelasan atau penyangkalan semata. Koordinasi yang baik dengan Badan SAR Nasional mutlak diperlukan, sedangkan ego sektoral, apalagi ego pribadi, sebaiknya tidak diberi tempat yang layak.
Kita yakin jalan pikiran Moeldoko tidak seegois dan sedangkal itu. Sebagai pemimpin yang baik, sangat disesalkan jika Panglima TNI ini sampai menomorduakan hal-hal di luar kepentingan pribadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo