Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tabung Cacat Di Bus Trans-Jakarta

LEDAKAN tabung di stasiun pengisian gas Pinang Ranti, Jakarta Timur, seperti sengaja dipendam. Padahal Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia, yang bekerja atas permintaan Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, menyimpulkan kualitas tabung di bawah standar pabrikan. Bukannya proaktif memastikan kualitas tabung, Dinas Perhubungan DKI Jakarta—sebagai pembeli bus Koridor 9 dan 10—terkesan lambat dan lepas tangan. Korindo Heavy Industry, pemasok bus, juga berpangku tangan. Sikap itu menimbulkan syak wasangka. Apalagi ledakan itu membuat riwayat pembelian bus mulai tersingkap. Sebagian besar bus sudah jadi sebelum tender digelar. Padahal dokumen lelang mensyaratkan bus harus dirakit per tahap dari awal. Pemberian sertifikat kelayakan tabung juga dipertanyakan. LEDAKAN tabung di stasiun pengisian gas Pinang Ranti, Jakarta Timur, seperti sengaja dipendam. Padahal Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia, yang bekerja atas permintaan Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, menyimpulkan kualitas tabung di bawah standar pabrikan. Bukannya proaktif memastikan kualitas tabung, Dinas Perhubungan DKI Jakarta—sebagai pembeli bus Koridor 9 dan 10—terkesan lambat dan lepas tangan. Korindo Heavy Industry, pemasok bus, juga berpangku tangan. Sikap itu menimbulkan syak wasangka. Apalagi ledakan itu membuat riwayat pembelian bus mulai tersingkap. Sebagian besar bus sudah jadi sebelum tender digelar. Padahal dokumen lelang mensyaratkan bus harus dirakit per tahap dari awal. Pemberian sertifikat kelayakan tabung juga dipertanyakan.

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN nahas itu masih membekas di ingatan Sugiarto. Pagi itu, menjelang jam kerjanya berakhir, petugas stasiun pengisian bahan bakar gas Pinang Ranti di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, ini masih mengisi bahan bakar bus Transjakarta. Bernomor kendaraan B-7228-IV, inilah bus terakhir yang ada di lokasi pengisian. Sesudah itu, ia berencana pulang, setelah bekerja semalam suntuk karena mendapat giliran shift malam.

Sugiarto mengecek sejumlah perlengkapan begitu mesin bus dimatikan. Ia lalu menghubungkan slang ke dalam bus yang mela­yani Koridor 9 Pluit-Pinang Ranti itu. Tak lama kemudian, dispenser gas dinyalakan. Sesaat setelah pengisian dimulai, ia mencatat surat perintah jalan yang disodorkan Yusak Ablegor, pengemudi bus Transjakarta. Berdiri tiga meter dari tangki pengisian, posisi Sugiarto membelakangi bus.

Pengisian gas ke satu unit bus Transjakarta membutuhkan waktu rata-rata 7-10 menit. Saat pengisian menginjak menit keempat, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar. Buuummm!

Tabung gas meledak. Sugiarto terpental. Ia jatuh dalam posisi telungkup. ”Saya syok. Kejadian itu berlangsung cepat,” Sugiarto menceritakan musibah menyesakkan itu kepada Tempo dua pekan lalu.

Ia berusaha bangkit, lalu berlari kecil menjauh dari lokasi ledakan. Kepalanya senut-senut seperti habis terkena hantaman. Ada darah menetes dari kepala bagian belakang pria 24 tahun ini. Setelah yakin situasi aman, ia kembali mendekati lokasi ledakan.

Bersama Rohiat dan Rohim, dua petugas keamanan di lokasi stasiun pengisian, Sugiarto berusaha menolong Yusak Ablegor, yang masih terduduk karena mengalami patah kaki di bagian kiri. Tak jauh dari situ, Marlinda Simarmata, pengemudi cadangan bus Transjakarta, tergolek tak sadarkan diri. Bersama dua pengemudi bus tersebut, Sugiarto dibawa ke Rumah Sakit Haji Jakarta, yang lokasinya masih di sekitar Pondok Gede.

Terjadi pada 20 Oktober tahun lalu, ledakan itu membuat bodi bagian atas bus Transjakarta jebol. Atap bangunan stasiun pengisian miring. Salah satu tabung—ada enam tabung pada satu bus—pecah menjadi tiga bagian.

Suara ledakan terdengar hingga ke kantor Kepolisian Sektor Pinang Ranti, tak jauh dari stasiun pengisian. ”Saat itu kami sedang apel pagi,” kata Inspektur Satu Arif Rahman, juru bicara Kepolisian Sektor Pinang Ranti, Juni lalu. Beberapa polisi segera menuju ke sana. Tak lama kemudian, petugas dari Kepolisian Resor Jakarta Timur dan Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia tiba di stasiun pengisian Pinang Ranti.

Sejumlah barang bukti, di antaranya pecahan tabung yang meledak, dibawa petugas Pusat Laboratorium Forensik. Mereka juga membawa satu tabung yang masih utuh sebagai pembanding. Bangkai kendaraan dipindahkan ke pangkalan bus milik PT Trans Mayapada Busway, yang sehari-hari mengoperasikan bus itu, di kawasan Hek, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Pusat Laboratorium Forensik lalu memberikan pecahan tabung beserta satu tabung yang masih utuh ke Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Sejumlah pengujian terhadap material tabung dilakukan, di antaranya pengamatan visual, uji komposisi kimia, uji kekerasan, dan analisis metalografi.

Dipimpin Bambang Suharno, pengujian itu menyingkap temuan penting. ”Material tabung memiliki sifat keuletan di bawah spesifikasi teknis yang ditetapkan pabrikan,” ucap Bambang saat ditemui Juni lalu. Menurut dia, hal itu disebabkan adanya perlakuan panas yang tidak sempurna pada saat proses manufaktur berlangsung. Situasi ini bisa menaikkan tingkat kegetasan dan menyebabkan terjadinya tabung retak atau pecah.

Dari uji komposisi kimia yang salinannya diperoleh Tempo, misalnya, diketahui bahwa komposisi karbon pada tabung berada di bawah standar yang ditetapkan pabrikan. Produsen asal Korea Selatan, NK Co Ltd, menetapkan spesifikasi karbon pada tabung 0,25-0,38 persen. Kenyataannya, komposisi karbon—baik pada sampel tabung yang pecah maupun yang utuh—masih di bawah kisaran angka itu. Padahal, menurut Bambang, rendahnya komposisi karbon mempengaruhi tingkat kekuatan material tabung.

Hasil uji tarik juga membuktikan persentase regangan (elongation) material tabung di bawah standar yang ditetapkan produsen. Hasil pengujian baik pada sampel tabung utuh maupun pecah menunjukkan persentase regangan 10-12 persen, sementara spesifikasi teknis untuk regangan yang ditetapkan NK tidak boleh di bawah 14 persen.

Hasil pengujian Departemen Metalurgi UI itu diserahkan ke Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI pertengahan Desember tahun lalu. Pusat Laboratorium Forensik lalu melimpahkannya ke Kepolisian Resor Jakarta Timur. Bukannya ditindaklanjuti, hasil penelitian tabung—yang menyangkut nyawa ribuan penumpang bus khusus—berbulan-bulan tidak jelas kelanjutannya. Hasil pengujian tabung seperti dipendam begitu saja.

Sejumlah sumber yang ditemui Tempo menengarai cacat material pada tabung gas ditutup-tutupi karena ada kekhawatiran ”borok” lain terbongkar. ”Urusan tabung gas ini bisa membuka riwayat pembelian bus oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang banyak bikin jalan pintas dan toleransi kepada pemenang tender,” kata salah satu sumber yang paham seluk-beluk pengadaan bus pada 2010 itu.

n n n

SEMUA berawal ketika Dinas Perhubungan DKI Jakarta membuka lelang pengadaan bus pada akhir 2009. Pembelian bus ini diperuntukkan buat mengisi Koridor 9 dan 10, masing-masing 69 dan 45 unit. Jalur 9 melayani rute Pluit-Pinang Ranti, sementara Koridor 10 melayani rute Tanjung Priok-Cililitan. Di saat yang sama, pengadaan 25 bus gandeng digelar buat dua koridor itu.

Tender pengadaan bus tunggal untuk Koridor 9 diikuti PT Dayaguna Motor Indonesia, PT Hudaya Maju Mandiri, dan PT Korindo Heavy Industry. Dayaguna dan Hudaya juga ikut tender pengadaan bus untuk Koridor 10. Di koridor ini, Korindo maju lewat bendera PT Korindo Motor Indonesia, anak usaha Korindo lainnya.

Berdasarkan dokumen lelang yang di­peroleh Tempo, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mematok pagu tender Rp 205 miliar untuk total pengadaan 114 bus tunggal atau sekitar Rp 1,798 miliar per unit—sudah termasuk pajak dan biaya balik nama. Proses pengerjaan diharapkan kelar enam bulan. Targetnya, semua bus sudah diserahkan ke Dinas Perhubungan pada Desember 2010

Sumber di Dayaguna mengatakan perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki­ Hino Motors Ltd, Indomobil Sukses International Tbk, dan Sumitomo Corporation ini mengajukan harga mendekati pagu yang dipatok Dinas Perhubungan, yakni di kisaran Rp 1,7 miliar per unit. Perusahaan ini siap menyuplai 40 unit. Adapun Hudaya—dikenal sebagai dealer resmi Hino—mengundurkan diri di tengah tender karena tidak yakin bisa memproduksi puluhan bus dalam waktu singkat.

Pendek kata, Dinas Perhubungan menetapkan Korindo sebagai pemenang pada pertengahan 2010. Akibat kendala waktu, jumlah bus yang mesti dipasok direvisi, bukan lagi 114, melainkan 69 unit. Nilai proyeknya Rp 106,7 miliar—atau Rp 1,53 miliar per unit.

Proses produksi disebar di sejumlah perusahaan karoseri. Di antaranya 13 unit dikerjakan di Laksana (Semarang), 7 unit di Trisakti (Magelang), dan 7 unit di Restu Ibu (Bogor). Sebanyak 42 unit dikerjakan di pusat karoseri milik Korindo di Balaraja, Tangerang.

Nah, persoalan muncul saat proses produksi dimulai pada Juli 2010. ”Sebagian besar bus di Balaraja ternyata tidak dirakit dari nol alias sudah jadi,” kata sejumlah sumber kepada Tempo.

Padahal salah satu klausul dokumen lelang menyebutkan perakitan bus mesti dikerjakan per modul, yang sekurang-kurangnya dari sasis dan mesin, bodi kendaraan, lalu aksesori. Pengerjaan tiap modul harus diawasi dan diverifikasi tim teknis dari Dinas Perhubungan.

Tim teknis wajib meminta laporan berkala proses pekerjaan yang dilakukan Korindo. Begitu pula sebaliknya, Korindo wajib melaporkan setiap tahap perakitan dan memfasilitasi verifikasi seluruh proses pembuatan bus. Bila klausul ini dilanggar, Dinas Perhubungan berhak menghentikan pengadaan terhadap satu atau beberapa bus, termasuk menjatuhkan sanksi kepada Korindo. Tapi langkah ini tidak pernah ditempuh Dinas Perhubungan.

Sejumlah sumber mengatakan sekitar 80 persen dari 42 bus yang dipasok dari pusat karoseri Korindo di Balaraja sudah jadi. Bus yang ditawarkan Korindo ini merupakan stok kendaraan yang sudah terjemur di parkiran Korindo di Balaraja sejak 2008. ”Bus ini sudah kami buat empat tahun lalu untuk tender Koridor 5 dan 7,” kata sumber yang mengerti proses perakitan di Korindo.

Saat itu bus dipesan Perum PPD melalui skema leasing, lalu diikutsertakan ke dalam tender yang digelar Badan Layanan Umum Transjakarta buat menambah armada di Koridor 5 dan 7. Pemesanan ini sekaligus buat menambah jumlah bus yang sebelumnya dimiliki PPD. Tahun sebelumnya, PPD membeli 24 bus dari Korindo. Melalui konsorsium Jakarta Mega Trans dan Jakarta Trans Megapolitan, 24 bus itu sudah lebih dulu dioperasikan di Koridor 4, 5, 6, dan 7.

Saat dokumen penawaran tender 2008 dibuka, PPD dan Korindo langsung dinyatakan gugur karena di dalam persyaratan tender disebutkan pembiayaan pengadaan bus harus dari bank, tidak boleh memakai skema leasing. Pemenang tender di koridor ini adalah Grup Lorena.

Direktur Utama PPD Pande Putu Yasa mengaku tidak paham soal pembelian itu. ”Kami hanya pesan dan beli satu kali, yakni pada 2007,” ujarnya. Keterangan itu berbeda dengan dokumen tender 2008 yang diperoleh Tempo, yang menjelaskan PPD dan Korindo ikut tender empat tahun silam. Adapun bekas Direktur Usaha PPD A. Kusna, yang terlibat dalam pemesanan bus dari Korindo pada 2008, menolak berkomentar.

Bus yang dirakit Korindo pada 2008 itulah yang kemudian dipasok buat memenuhi sebagian besar kebutuhan armada di Koridor 9 dan 10. ”Bus yang benar-benar baru itu yang dikerjakan oleh karoseri Laksana, Trisakti, dan Restu Ibu,” kata sejumlah sumber kepada Tempo.

Sumber lain mengatakan, tak lama setelah Korindo ditetapkan sebagai pemenang, ada sejumlah rapat di lantai 11 Wisma Korindo, Pancoran, Jakarta. Salah satunya membahas langkah antisipasi bila tim teknis Dinas Perhubungan DKI sewaktu-waktu melakukan verifikasi. ”Ada wacana dari bagian pemasaran untuk melepas bodi kendaraan dari mesin dan sasis, sehingga saat diperiksa yang terlihat cuma landasan,” ujar sumber itu. Usul ini urung dilaksanakan.

Langkah yang akhirnya ditempuh Korindo adalah memodifikasi bus yang sudah jadi agar memiliki spesifikasi sesuai dengan dokumen lelang. Di antara yang dilakukan adalah mengubah model pintu dari sliding ke swing in. ”Ukuran pintu dan tata letak kursi juga diubah,” kata sumber di Korindo. Warna bus yang dulunya abu-abu dicat ulang menjadi merah dan kuning. Penyejuk udara dan ban juga diganti dengan yang baru.

Tak cuma itu. Sejumlah dokumen juga menunjukkan pemberian sertifikat kelayakan tabung patut dipertanyakan. Pada awal Oktober 2010, Korindo mengirim surat kepada Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Isinya meminta BPPT menguji tabung keluaran NK yang diproduksi pada 2006. Tes yang dilakukan mirip dengan pengujian oleh Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia.

Ternyata hasil analisis komposisi kimia yang dikeluarkan BPPT pada 2 November 2010 menunjukkan unsur karbon dan fosfor tidak memenuhi standar yang ditetapkan pabrikan. Komposisi karbon, misalnya, cuma berada di kisaran 0,18 persen. Adapun komposisi fosfor sekitar 0,025 persen. Padahal NK menetapkan unsur fosfor tidak boleh lebih besar dari 0,015 persen. Komposisi fosfor di atas standar membuat tabung kian getas. Pendek kata, tabung yang diuji bermasalah.

Entah disengaja entah tidak, Korindo tidak menyertakan spesifikasi dari pabrikan sebagai pembanding saat pengujian tabung berlangsung. ”Kalau kami diberi data pembanding, kami akan bilang tabung tersebut tidak sesuai dengan standar pabrikan,” kata Edy Sumarsono, peneliti BPPT yang ikut memeriksa tabung tersebut. Itu sebabnya, kata Edy, BPPT hanya melakukan pengujian, tanpa analisis atau kesimpulan.

Data pengujian BPPT itu menjadi salah satu acuan bagi Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat mengeluarkan sertifikat kelayakan tabung pada 8 November 2010. Sayangnya, Kementerian Tenaga Kerja tidak jeli membandingkan hasil pengujian BPPT dengan spesifikasi pabrikan yang mereka terima.

Ditemui untuk ditanyai soal itu, Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Amri A.K. hakulyakin pemberian sertifikat kelayakan tabung sesuai dengan prosedur. Sikap Amri sedikit goyah setelah ia disodori dokumen yang dimiliki Tempo. ”Bisa jadi anak buah saya kurang teliti membandingkan hasil pengujian komposisi kimia yang dilakukan BPPT dengan spesifikasi pabrikan,” ujarnya.

Udar Pristono, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, mengatakan tidak tahu tabung yang dipakai bermasalah atau tidak. ”Kami hanya tahu tabung itu sudah memperoleh sertifikat,” katanya. Menurut dia, bila ternyata di kemudian hari timbul persoalan, itu menjadi tanggung jawab instansi yang mengeluarkan sertifikat.

Ia menampik kabar bahwa Dinas Perhubungan DKI Jakarta lepas tangan. ”Saya sudah memerintahkan Korindo memeriksa ulang, tak cuma tabung, tapi seluruh komponen bus,” ucapnya. Dia juga menyatakan proses pengadaan bus berlangsung sesuai dengan prosedur. Udar yakin bus yang disuplai Korindo merupakan kendaraan baru.

Setali tiga uang, Korindo mengatakan pemeriksaan ulang sudah dilakukan tak lama setelah terjadi ledakan. ”Tapi pemeriksaan saat itu belum menyentuh hingga ke tabung,” kata Bambang Gunarto, Assistant Manager Quality Assurance & Engineering Change Management Korindo.

Perusahaan ini juga membantah tudingan yang menyatakan bus yang mereka suplai telah dibuat dua tahun sebelum tender digelar. ”Kami mengimpor semua komponennya pada 2008-2009,” kata Direktur Korindo Motors Chen Chong Kyeong. ”Tapi bus kami rakit pada 2010.” Proses perakitan, menurut dia, sejak awal diawasi oleh Sucofindo, yang ditunjuk sebagai pihak ketiga oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

Kenyataannya, proses pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan Sucofindo baru berlangsung pertengahan November, atau sekitar empat bulan setelah proses produksi berlangsung. Artinya, Sucofindo tidak mengawasi proses perakitan dari awal. Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan tugas Sucofindo cuma memeriksa apakah spesifikasi teknis bus telah sesuai dengan dokumen lelang. Disebar di empat lokasi, pemeriksaan Sucofindo berlangsung sembilan hari. Tak aneh bila ada yang menuding Sucofindo cuma tukang stempel sebelum bus diserahkan.

Sejumlah sumber mengatakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta bukannya tidak paham bahwa bus yang dipasok Korindo merupakan stok lama. Itu sebabnya mereka melayangkan surat kepada Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Ga­djah Mada, meminta rekomendasi mengenai toleransi tahun pembuatan. ”Jadi, mereka tahu bus itu adalah bus lama,” ujar seorang sumber.

Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM membalas surat itu pada 15 November 2010. Berjudul ”Engineering Judgment”, surat yang dikirim Zainal Arifin itu berisi beberapa butir, yang satu di antaranya menyatakan unit bus yang tidak diproduksi pada tahun saat tender digelar masih bisa diterima asalkan dilakukan pengecekan dan pemeriksaan ulang sebelum diserahkan.

Ambar Prawidityanto, Kepala Subbagian Jaminan Mutu Unit Bisnis Strategi Pemerintahan Sucofindo, mengakui proses supervisi tidak dimulai dari nol. ”Kami memeriksa sudah separuh jalan,” katanya. Namun ia memastikan proses pemeriksaan sangat runtut. ”Kami meminta seluruh laporan terkait proses perakitan yang dibuat produsen,” ujarnya.

Agar ledakan tabung tidak terulang, Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Hasan Basri Saleh meminta Dinas Perhubungan DKI tidak bersikap defensif. ”Persoalan ini harus dijawab tuntas karena bisa berdampak luas kepada publik bila memang kualitas tabung di bawah standar,” katanya. l


Tim Investigasi
Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Pemimpin Proyek: Yandhrie Arvian Penulis: Agung Sedayu, Muchamad Nafi, Philipus Parera, Yandhrie Arvian, Yuliawati Penyumbang Bahan: Amandra Mustika, Mitra TariganPenyunting:Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Yandhrie Arvian Fotografer: Ratih Purnama Ningsih, Tony Hartawan, Wisnu Agung Prasetyo, Eko Siswono Toyudho Bahasa:Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi Desain: Djunaedi, Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus