Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
+ SUDAH 40 menit lebih kok tidak ada bus yang datang?
- Enggak tahu.
+ Anda petugas di sini, masak tidak tahu. Seharusnya berapa menit sekali sih bus datang?
- Kami cuma jual tiket. Telepon saja ke pengaduan.
Dialog di halte busway Pasar Senen itu terjadi sebelum Lebaran lalu. Tempo, yang tengah mereportase perjalanan menggunakan Transjakarta, lalu mengikuti anjuran petugas penjual tiket untuk menelepon nomor pengaduan, 021-7228727. Tapi, hingga sebuah articulated bus alias bus gandeng dari arah Kota tujuan Salemba datang, sekitar sepuluh menit kemudian, telepon pengaduan tidak juga diangkat.
SUDAH lebih dari delapan tahun, sejak 15 Januari 2004, pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyelenggarakan angkutan khusus Transjakarta. Jalur yang dilayani terus bertambah, demikian pula kapasitas dan jumlah penumpang. Tapi gerutu, geram, dan keluhan terhadap pelayanan bus ini tak pernah putus.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mencatat kebanyakan konsumen mempersoalkan waktu tunggu dan waktu tempuh yang tidak pasti. ”Karena tidak jelas berapa menit sekali bus itu sampai,” kata anggota pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, pekan lalu. Yang juga menjengkelkan penumpang, sering terjadi bus kosong melintasi halte tanpa mau berhenti, padahal mereka sudah menunggu cukup lama.
Persoalan ini, menurut Tulus, seharusnya bisa dengan mudah diatasi bila ada standar pelayanan minimum. Dalam aturan itu, kewajiban operator berkaitan dengan pelayanan transportasi diatur jelas, lengkap dengan sanksinya. Secara normatif, penetapan standar ini hanya membutuhkan peraturan gubernur. ”Tapi tampaknya gubernur belum berani karena ada banyak faktor lain, seperti suplai gas dan sterilisasi jalur, yang bukan menjadi kewenangan pemerintah provinsi,” ujarnya.
Karena belum ada aturan dari pemerintah, rambu-rambu dalam penyelenggaraan Transjakarta akhirnya hanya muncul pada perjanjian kerja antara operator dan Badan Layanan Umum Transjakarta. Publik tidak pernah tahu isi perjanjian itu.
Dalam draf publikasi teknis berjudul ”Cost Premises and As Is Condition Report” yang dipublikasikan melalui website, Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) Indonesia menyatakan ada tiga hal yang mempengaruhi kualitas pelayanan Transjakarta. Selain persoalan aturan dan problem stasiun pengisian gas, menurut ITDP, penyebab buruknya pelayanan Transjakarta adalah rendahnya kapabilitas operator.
Pada Agustus lalu, Tempo mengunjungi beberapa bengkel Transjakarta untuk melihat dari dekat proses perawatan bus oleh operator di sana. Memang, rata-rata memprihatinkan. Bengkel PT Jakarta Trans Metropolitan di pool Kramat Jati, Jalan Raya Pondok Gede Nomor 2, Jakarta Timur, misalnya, tampak tak terawat. Plafon bengkel terbuka bekas milik Perum PPD itu berlubang di sana-sini. Oli berceceran di mana-mana. Lantai bengkel tampak hitam berkerak.
Hari itu ada empat bus yang tengah diperbaiki. Tapi, karena kapasitas bengkel cuma cukup untuk dua bus, sisanya terpaksa diservis di luar bengkel, di bawah terik matahari.
Seorang teknisi, sebut saja Rudi, menjelaskan, biasanya bus kembali ke pool setelah beroperasi seharian cuma untuk parkir. Esok pagi dipakai lagi. Bus baru diperiksa kalau ada keluhan dari sopir. Pemeriksaan rutin hanya dilakukan sebulan sekali.
Perawatan tabung gas apalagi, sangat jarang dilakukan. Paling-paling instalasinya dicek tiga bulan sekali. Padahal tabung merupakan komponen krusial yang perlu mendapat perawatan serius. Misalnya, tabung gas perlu dikuras secara teratur untuk membuang air. Maklum, kadar air dalam gas di Jakarta masih cukup tinggi. Tabung yang tidak dirawat berisiko meledak dan terbakar.
Dalam catatan Tempo, setahun terakhir sejak Agustus 2011 saja, ada sembilan bus Transjakarta yang terbakar. Kebakaran terbesar terjadi pada 20 Oktober tahun lalu. Bus Transjakarta Koridor 9 Pluit-Pinangranti hangus setelah tabung gasnya meledak saat mengisi gas di stasiun pengisian bahan bakar Pinang Ranti. Bus oranye berkode TMB 07 itu kini teronggok di luar bengkel PT Trans Mayapada Busway. Kebetulan bengkel ini berada di pool yang sama dengan bengkel milik JTM. Hampir separuh lantai bus nahas itu, terutama bagian tengah, jebol berantakan akibat ledakan. Kaca-kacanya pecah. Pintu tengah, kiri, dan kanan hilang. Beruntung ketika itu tak ada penumpang yang celaka.
Siang itu empat teknisi terlihat serius membongkar mesin Transjakarta TMB 12. ”Mesin jebol, harus turun mesin total, padahal usia bus ini belum ada dua tahun,” kata seorang montir tanpa mau menyebutkan nama. Menurut dia, itu bukan kerusakan pertama. Hingga Agustus lalu, setidaknya sudah delapan bus Koridor 9 dan 10 yang mesinnya terpaksa mereka bongkar.
Seperti di bengkel JTM, bengkel TMB pun tak punya prosedur rutin perawatan tabung gas.
Operator bus Transjakarta juga kerap dipandang sewenang-wenang terhadap pramudi. Jika terjadi kecelakaan ataupun tabrakan di busway, selalu pramudi yang disalahkan.
Yuan, bukan nama sebenarnya, sopir Transjakarta untuk Koridor 2 Pulo Gadung-Harmoni, bercerita dia pernah menabrak sepeda motor yang tiba-tiba memotong busway. Pengendara motor terluka dan dirawat di rumah sakit. Bagian pengurusan kecelakaan di PT Trans Batavia, tempat Yuan bekerja, meminta dia membayar biaya pengobatan dan uang ganti rugi Rp 2 juta. Yuan juga dipaksa mengganti biaya ”penebusan” SIM dan bus yang disita polisi. Katanya mencapai Rp 11 juta. ”Dulu ada teman yang memprotes kebijakan ini, tapi dia malah dipecat,” ujar Yuan.
Kebijakan yang mewajibkan sopir mengganti biaya akibat kecelakaan di busway diterapkan oleh hampir semua operator Transjakarta. Sopir juga harus membayar sejumlah uang jika mobil rusak akibat kecelakaan. ”Padahal kami tahu pasti bus diasuransikan,” ujar Wahyu, juga nama samaran, rekan Yuan. Kondisi ini, menurut dia, membuat sopir tidak nyaman dan tak tenang bekerja.
Mereka juga akhirnya berusaha melampaui target agar bisa mendapat uang tambahan. ”Dulu, saat awal diluncurkan, saya bangga jadi sopir busway, dielu-elukan. Sekarang kami seperti menyandang label tukang tabrak orang dan sering mengalami kecelakaan,” Wahyu menambahkan.
Direktur Teknik dan Operasi JTM I Gusti Ngurah Oka menolak menjawab pertanyaan untuk konfirmasi. Adapun Direktur Operasional Trans Batavia Jabes Sihombing, ketika ditanyai mengenai keluhan sopirnya, hanya menjawab, ”Saya tidak tahu.”
MESKI banyak masalah, masyarakat tetap menaruh harapan besar pada Transjakarta. Lagi pula, para pegiat transportasi di Jakarta optimistis sebagian besar persoalan yang melilit penyelenggaraan Transjakarta akan teratasi jika sudah ada standar pelayanan minimum, dan Transjakarta dijadikan sebagai perusahaan daerah. Tapi realisasi dua hal ini bergantung pada Gubernur DKI Jakarta dan dua rancangan peraturan daerah yang tengah dibahas Badan Legislasi Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta: Raperda Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Busway dan Raperda Sistem Bus Rapid Transit (BRT).
”Selain soal standar pelayanan, menempatkan pengelolaan Transjakarta pada unit pelayanan di bawah Dinas Perhubungan membuat banyak urusan jadi lambat. Masak, untuk memperbaiki satu halte yang rusak saja harus menunggu persetujuan DPRD,” kata Azas Tigor Nainggolan, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, sebaiknya Transjakarta segera diubah menjadi perusahaan daerah agar bisa lebih gesit.
Ketua Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta Triwisaksana, yang dihubungi melalui telepon, hanya mengatakan DPRD akan mengesahkan Raperda BUMD Busway dan Raperda Sistem BRT dalam waktu dekat. Tak jelas benar seberapa dekatnya. Cuma, politikus yang kerap disapa Bang Sani ini berharap, setelah peraturan daerah mereka teken, gubernur segera mengeluarkan peraturan mengenai standar pelayanan minimum Transjakarta. ”Dengan demikian, nantinya busway dapat diawasi tak hanya oleh pemerintah, tapi juga masyarakat,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo