Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah proyek yang sangat mendesak tapi tak pernah digarap serius. Direncanakan sejak 1973, lebih dari tiga dekade kemudian pembebasan tanah untuk proyek Banjir Kanal Timur belum juga selesai. Padahal, jika sudah jadi, proyek ini diyakini bisa mengurangi dampak banjir di Ibu Kota. Ketidakseriusan itu harus dibayar mahal: dalam kurun waktu 34 tahun, empat banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya.
Terakhir, banjir besar menenggelamkan Jakarta dan sekitarnya pada Februari lalu. Berdasarkan perhitungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tak kurang 70 persen wilayah Jakarta digenangi air. Banjir yang menyebar luas di seantero Ibu Kota tahun ini juga yang terluas sejak banjir besar pada 1976. Kerugian yang bisa dihitung saja mencapai Rp 8,8 triliun, hampir dua kali lipat ongkos membangun Banjir Kanal Timur yang hanya Rp 4,9 triliun.
Celakanya, semua itu tak juga membuat pemerintah bergegas menyelesaikan pembangunan kanal sepanjang 23,6 kilometer ini. Sampai pekan lalu, pembebasan lahan proyek yang melewati 13 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara ini baru 169 hektare (61 persen) dari 275 hektare yang dibutuhkan. Pusat sudah mencanangkan pembebasan tanah akan selesai tahun ini, tapi melihat kondisi di lapangan, target itu bisa jadi sulit dipenuhi.
Lihat saja apa yang terjadi pada Sigit Mubianto. Sudah 18 tahun laki-laki berusia 64 tahun ini memperjuangkan haknya. Ia bersama 11 warga Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, terus menanti pembayaran uang pengganti tanah dan rumah mereka yang bakal tergusur proyek Banjir Kanal Timur. ”Ini tanah keringat, bukan warisan,” kata pemilik rumah di atas tanah seluas 90 meter persegi itu.
Sigit tak mengerti kenapa proses pembebasan la-han hingga kini belum juga selesai. Pada 1989, mere-ka sebetulnya sudah setuju dengan tawaran ganti rugi pemerintah. Ketika itu, setiap meter persegi tanah dihargai Rp 62 ribu, lebih tinggi Rp 12 ribu dari harga pasar. Sebanyak 55 warga mengajukan tanah dan rumahnya agar dibebaskan. ”Tapi urung; kata-nya dananya habis,” ujarnya.
Sejak itu, sudah terlihat urusan pembebasan la-han ini bakal berlarut-larut. Pada 1992, mereka kembali mengajukan pembebasan tanah, tapi harga yang ditawarkan pemerintah hanya separuh harga pasaran. Sebelas tahun berlalu, harga pembebasan yang didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak atawa NJOP itu tak banyak berubah. Ketika harga pasar sudah Rp 1,1 juta per meter persegi, NJOP-nya hanya Rp 537 ribu. ”Mana bisa kami beli tanah lagi?” katanya.
Baru pada akhir tahun lalu, harga NJOP naik menjadi Rp 1,15 juta per meter persegi, terpaut Rp 300 ribu dengan harga pasaran. Sebanyak 36 warga yang tersisa berharap segera mendapatkan ganti rugi. Eh, kepentok lagi. Pemerintah Kota Jakarta Timur mengembalikan 12 berkas karena kepemilikannya hanya didasarkan pada akta jual beli. Yang diganti cuma yang bersertifikat atau girik. Padahal, di zaman dulu, yang hanya berbekal kuitansi pun diganti.
Di Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, sama saja. Saat ini, harga tanah rata-rata di sana sudah di atas Rp 1,5 juta per meter persegi, tapi ganti ruginya cuma Rp 916 ribu per meter persegi. Itu pun masih dipotong 10 persen jika dokumen kepemilikannya berupa girik.
Warga Pulo Gebang juga dipusingkan oleh perbedaan luas tanah antara yang tercantum di girik dan hasil verifikasi Tim 9, tim yang dibentuk pemerintah untuk mengurusi pembebasan lahan. Pada umumnya, tanah warga menjadi lebih sempit setelah diukur Tim 9. Sialnya, yang dipakai untuk dasar pemberian uang ganti rugi adalah hasil verifikasi.
Yang dialami Muhyidin Ahmad lain lagi. Luas tanah di girik hanya 780 meter persegi, tapi dari hasil verifikasi tanahnya justru lebih luas: 1.033 meter persegi. ”Anehnya, uang ganti rugi saya didasarkan pada girik,” kata Muhyidin. Perlakuan yang berbeda-beda ini membuat warga tidak mau melepaskan tanahnya. Sebagian bertahan, sebagian lagi tak tahan karena diancam akan dibawa ke pengadilan.
Yang terjadi di Cipinang Besar Selatan dan Pulo Gebang sejatinya hanya secuil dari persoalan besar yang dihadapi Pemerintah Kota Jakarta Timur dan Jakarta Utara dalam membebaskan lahan untuk proyek Banjir Kanal Timur. Saat ini, di Jakarta Timur masih ada 72 hektare yang harus dibebaskan, sedangkan di Jakarta Utara 34 hektare. Itu bukan jumlah yang kecil untuk dibereskan tahun ini.
Wali Kota yang juga Ketua Tim 9 Jakarta Utara, Muhammad Effendi Anas, mengungkapkan, timnya memang menghadapi banyak persoalan di lapangan. Ada tanah yang tidak jelas pemiliknya, bidang kosong tak bernama, saling klaim beberapa pihak, atau sengketa keluarga. Sertifikat ganda bukan barang aneh lagi dalam kasus pembebasan tanah proyek ini. ”Saya sudah merobek tiga sertifikat palsu,” katanya.
Belum lagi masalah dana yang cairnya sering tak sesuai skedul. Ini juga menghambat pembayaran gan-ti rugi. Sudah begitu, sistem yang dipakai pun acap kali malah membuat ruwet. Di Jakarta Timur, misalnya, dipakai model paket. Mereka mengurus pembebasan tanah secara berkelompok. Namun, gara-gara berkas salah satu anggota kurang lengkap, yang lain tetap harus menunggu.
Baru pada tahun ini, Pemerintah Kota Jakarta Timur memangkas sistem pembayaran paket. Berkas yang sudah lengkap langsung dibayar, sedangkan untuk tanah yang bermasalah, uang pengganti dimasukkan ke pengadilan. Tim Panitia Pengadaan Tanah yang menggantikan Tim 9 juga diperbanyak anggotanya untuk mempercepat pembebasan. Juga, dibentuk tim khusus untuk menangani tanah-tanah bermasalah.
Sudah begitu pun, tetap saja pembebasan lahan berjalan lambat. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas, Max Pohan, mempersoalkan lambatnya pembebasan lahan ini. Dia menduga itu terjadi akibat pemerintah daerah tidak bisa menyerap seluruh anggaran pembebasan pada tahap-tahap awal proyek. ”Mungkin pada saat itu anggaran diberikan jorjoran, diserapnya sedikit,” katanya.
Biasanya, pemerintah pusat kemudian mengurangi anggaran sesuai dengan persentase yang diserap pada tahun-tahun sebelumnya. Inilah yang mungkin membuat pencairan dana tak selancar masa-masa sebelumnya. Akibatnya, proses pembebasan tanah juga melambat. Ditambah berbagai masalah yang lain, jadilah proyek Banjir Kanal Timur ini yang ditargetkan selesai pada 2010 terus terkatung-katung.
Ide Banjir Kanal sudah muncul dari tahun 1920-an ketika Jakarta bernama Batavia. Ketika itu, Herman van Breen dari Kantor Dinas Peng-airan Pemerintah Kolonial Belanda mengusulkan dibangunnya dua kanal, yakni Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Namun, pemerintah Belanda hanya membangun Banjir Kanal Barat, dari Manggarai ke Kali Angke dan bermuara di Laut Jawa, pada 1922. Hanya dalam setahun, Banjir Kanal Barat sudah beres.
Proyek Banjir Kanal Timur urung dilaksanakan. Puluhan tahun dilupakan, baru pada 1973 pemerin-tah Indonesia melirik lagi proyek itu untuk mengendalikan banjir di Jakarta. Kanal dimulai dari Kali Cipinang menuju Marunda dan berakhir di Laut Jawa. Biayanya ditetapkan Rp 50 miliar. Tapi, proyek ini berkali-kali gagal direalisasi karena berbagai sebab, terutama soal dana yang membuat pembebasan tanahnya berlarut-larut.
Tiga konsultan dari Belanda, Prancis, dan Jerman pun sudah diundang untuk mematangkan rencana ini, tapi proyek ini tetap saja gagal diwujudkan. Lima tahun lalu, Gubernur Sutiyoso kembali mencanangkan pembangunan Banjir Kanal Timur dengan dana Rp 4,12 triliun. Belakangan, angkanya membengkak menjadi Rp 4,9 triliun.
Memang, banyak kemajuan selama lima tahun ini. Kendati demikian, melihat besarnya masalah banjir yang dihadapi Jakarta, realisasi proyek itu tetap saja terbilang lamban. Bukan tidak mungkin dananya akan membengkak terus. Bisa jadi juga banjir besar bakal datang lagi sebelum proyek itu kelar. Itulah harga yang harus dibayar jika pemerintah te-rus mengulur-ulur waktu.
Tanah
Jakarta Utara 60% Total = 2 kelurahan Luas = 91,2 hektare Tanah bebas = 56,8 hektare Sisa = 34,4 hektare Biaya = Rp 217 miliar Kebutuhan tambahan = Rp 300 miliar
Jakarta Timur 61% Total = 11 kelurahan Luas = 183,31 hektare Tanah bebas = 111,36 hektare Biaya = Rp 800 miliar Sisa = 71,95 hektare Tanah bermasalah = 13,3 hektare Kebutuhan tambahan = Rp 859,32 miliar
Tahap Pembangunan
2007 Tahap I Cipinang Besar-Pondok Kopi Panjang = 7,97 kilometer Biaya = Rp 792 miliar
Tahap II Pondok Kopi-Marunda Panjang = 15,54 kilometer Sudah dibangun = 5,54 kilometer Sisa = 10 kilometer Kebutuhan biaya = Rp 830 miliar
Sumber: Wali Kota Jakarta Utara, Wali Kota Jakarta Timur, Bappenas *) data 2002–2006
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo