Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purwantoro amatlah tenar. Namanya begitu sohor di Kelurahan Marunda dan Rorotan, Jakarta Utara, terutama di kalangan warga yang tanahnya diincar proyek Banjir Kanal Timur. Rumahnya di Kompleks TNI Angkatan Laut Dewa Kembar, Cilincing, Jakarta Utara tiada pernah sepi dari antrean orang.
Rumahnya memang menjadi markas Badan Pengurus Pertanahan Ahli Waris. Di sana pria 48 tahun ini duduk sebagai ketua. Tugasnya begitu mulia, memudahkan pemilik tanah mengurus ganti rugi proyek Banjir Kanal Timur.
Purwantoro cukup disegani di kalangan ”pemain tanah”, khususnya Rorotan dan Marunda. Saat Tempo berkunjung ke rumah ayah satu anak ini, dia pamerkan salinan dokumen buku Leter C (buku catatan bukti pemilikan tanah di kelurahan), beberapa peta kawasan, hingga peta Banjir Kanal Timur. Saking banyaknya data, lemarinya nyaris tak muat.
Purwantoro mengaku mendapatkan kuasa dari pemilik 45 bidang tanah seluas 60 hektare. Lebih dari separuh tanah itu dilintasi Banjir Kanal Timur. Kalau dihitung dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang rata-rata Rp 395 ribu per meter persegi, uang yang diperjuangkan Purwantoro nilainya Rp 154 miliar. Konon komisi yang bakal diterimanya puluhan miliar.
Tapi, banyak klien yang kemudian ”lari” dari Purwantoro. Ali Basa, misalnya. Dia sempat tertarik memakai jasa Purwantoro. Gara-garanya, dia melihat sendiri Purwantoro bertemu Walikota Jakarta Utara. Saat itu, Purwantoro mengaku perwira TNI Angkat-an Laut berpangkat Letnan Kolonel—Purwantoro sendiri membantahnya.
Belakangan Ali curiga. ”Saya lihat Babinsa kok tidak hormat kepada dia,” katanya. Ternyata, pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu cuma pegawai negeri sipil di Detasemen Markas Kolinlamil Tanjung Priok. Ali pun mencabut kuasa Purwantoro.
Meski Ali lepas, banyak klien lain yang masih percaya pada Purwantoro. Tapi, Walikota Jakarta Utara Muhammad Effendi Anas meragukan dokumen yang dibawa Purwantoro karena kebanyakan bermasalah dan tumpang tindih. Sebagian lahan yang diklaimnya dalam sengketa dengan Kawasan Berikat Nusantara. ”Lokasi yang ditunjuk tidak tepat,” katanya.
Seorang sumber Tempo menambahkan, sebagian dokumen Purwantoro palsu. Dia dan kelompoknya biasa membuat girik baru, tanpa sepengetahuan pemilik tanah yang sah. Di kelompok ini, ahli pembuat girik baru adalah Sarnubi, warga Rorotan.
Tempo kemudian menemui Sarnubi. Eh..., dia membenarkan. Perintah Purwantoro, katanya, mengumpulkan dokumen tanah, sebagian didapat dari pemilik tanah yang sudah menjual tanahnya. Sebagian lagi, tanah tak bergirik. Untuk yang kedua ini, Sarnubi membuatkan girik dengan bantuan bekas pegawai pajak yang biasa membuat girik pada 1970-an. ”Mereka masih menyimpan blangko girik ini,” kata-nya. Blangko kosong diisi nama dan nomor persil yang dicomot dari buku Leter C di kelurahan.
Sumber Tempo menyebut, tarif membuat girik baru sekitar Rp 3 juta. Biaya itu untuk membeli blangko, komisi bagi ketua RT, RW, hingga lurah, termasuk ongkos legalisasi dan surat keterangan riwayat tanah. Lurah Segara Makmur, Amran kabarnya ba-nyak memberi rekomendasi dan legalisasi.
Kepada Tempo, Amran mengakui beberapa kali membuatkan surat keterangan tanah untuk Purwantoro. Tapi dia hanya menerangkan nama dan nomor persil sesuai buku Leter C. ”Tidak peduli apakah tanah tersebut sudah diperjualbelikan,” katanya.
Purwantoro membenarkan pernah mendapat girik palsu dari Sarnubi. ”Saya punya sampai 70 lembar.” Tapi, dia sudah mengeliminasi Sarnubi sejak tahu dokumennya banyak yang palsu. Dia kini cuma meng-urus girik asli yang dibawa langsung pemilik tanah.
Sayang, pengakuan Purwantoro tidak klop dengan keterangan Walikota Effendi. Dia yakin, dokumen Purwantoro masih seperti dulu. Akibatnya, Panitia Pengadaan Tanah tak berani membayarkan ganti rugi kepada Purwantoro. Mereka angkat tangan dan menyerahkan persoalan ini ke Propinsi.
Repotnya, tak cuma Purwantoro yang ”rajin” mengurus pembebasan tanah. Masih ada yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo