Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga serta Penanggulangan Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak (Timdu BBM) pernah dibubarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tetapi kemudian tim ini dibentuk lagi pada April 2005 di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Setelah itu, Timdu langsung ngebut melakukan investigasi ke ratusan SPBU guna mengulik kecurangan yang terjadi. Hasilnya lumayan mencengangkan. Sepanjang Mei 2005 hingga Juni 2006, negara dirugikan Rp 5 miliar akibat pencurian BBM yang terjadi di pom bensin.
Tim investigasi Tempo mewawancarai Timdu BBM, yang diwakili oleh Tuti Anggrahini (wakil ketua), Akmal Darwin (sekretaris), serta Soenarso dan Ari Widoyono, keduanya anggota, di kantornya awal November lalu. Sedangkan Ketua Timdu, Slamet Singgih, absen. ”Beliau dipanggil ke kantor Menko Polhukam,” ujar Tuti.
Kenapa banyak pengelola SPBU melakukan kecurangan?
Dari pengamatan kami, cukup banyak SPBU yang disubkontrakkan kepada pihak ketiga. Ini membuka peluang terjadinya kecurangan karena mereka harus membayar kontrak kepada pemilik SPBU asli sekaligus harus mendapatkan keuntungan.
Artinya, tipisnya margin menjadi motivasi utama mereka?
Kalau memang marginnya tipis, jangan bisnis bensin, dong. Hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran. Sama saja dengan seseorang yang bergaji rendah, apakah lalu diperbolehkan korupsi? Jadi penyebabnya bukan karena soal margin. Buktinya, dari 228 SPBU yang kami sidak, 108 SPBU tidak melanggar. Artinya, masih cukup banyak pengelola SPBU yang jujur.
Selain di lokasi SPBU, modus apa lagi yang biasanya dilakukan?
Kecurangan acap sudah berlangsung sejak dari pangkalan. Kami menemukan mobil tangki yang katup pengaman (valve)-nya dibuat kendur. Jadi, meskipun sudah dicek petugas resmi Pertamina, valve itu lalu akan dikendurkan oleh gate keeper (penjaga pintu pangkalan) yang biasanya pekerja lepas. Para gate keeper ini bekerja sama dengan sopir. Pengenduran itu memungkinkan terjadi pencurian di tengah jalan sehingga ka-tup atau segel pengaman tidak rusak.
Bagaimana dengan pencurian yang terjadi di perempatan lampu merah?
Oh, kalau itu hanya ”kencing”, tak seberapa jumlahnya. Paling hanya beberapa liter. Ini praktek ”kencing tangki kosong” alias tiris. Kalau penyedotan lewat segel yang dikendurkan, itu bisa sampai ratusan liter. Bahkan pernah ditemukan ada pool gelap tak jauh dari Plumpang (pangkalan Pertamina—Red). Di sana BBM curian itu mencapai 8.000 liter.
Kiprah Timdu terasa kurang optimal. Kenapa?
Kami masih kesulitan menjangkau seluruh Indonesia. Dana operasional sebesar Rp 250 juta per bulan belum mencukupi. Kadang memang ada bantuan subsidi tiket penerbangan dari maskapai, tapi masih belum memadai untuk 30-an anggota Timdu yang harus masuk ke lokasi-lokasi yang jauh. Sampai sekarang kami baru bisa memantau Jawa. Rata-rata SPBU di sana bagus.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengontrol penjualan BBM?
Masyarakat bisa memberi laporan mengenai apa yang terjadi di SPBU. Sementara yang tinggal di pinggiran kota bisa memperhatikan lingkungan sekitar. Jika ada lokasi ditutup pagar seng, banyak mobil tangki keluar-masuk, dan ada pos pengintai tinggi, itu ciri-ciri pusat pengoplosan BBM ”irex”—irit dan ekonomis. Misalnya solar dioplos dengan minyak tanah dan dijual sebagai solar. Bisa juga bensin dicampur minyak tanah dan diakui sebagai bensin.
Bagaimana kelanjutan dari temuan Timdu di lapangan?
Kalau kasusnya oplosan, untuk BBM yang tidak disubsidi Pertamina, langsung dilaporkan ke polisi. Sedangkan untuk BBM yang disubsidi Pertamina, selain lapor ke polisi juga ada tembusan ke Pertamina. Untuk pelanggaran yang dilakukan SPBU, sanksi hanya bisa diberikan oleh Pertamina karena Timdu tak punya otoritas. Timdu dibentuk untuk memperbaiki citra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo