Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tubuh-tubuh Kecil Itu Berjatuhan

Lativi menghentikan tayangan SmackDown. Hingga pekan lalu, lebih dari 20 anak jadi korban.

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mila Rukhiyat belum berpikir untuk mengkhitankan anaknya. Reza Pratama Putra masih 5 tahun. Tapi sebuah tendangan ke selangkangan Reza, yang meniru adegan di tayangan SmackDown, telah memaksa warga RT 5/5 Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur itu buru-buru menyunatkan Reza, akhir November lalu.

Saat itu Reza dan kawan mainnya yang sudah kelas satu SD tengah berperan bak John Cena, salah satu jawara SmackDown yang selalu bisa mengalahkan lawan-lawannya. Cena adalah tokoh gulat bebas yang posternya banyak dipajang anak-anak.

Reza mencoba menarik kaki sang teman. Tapi tangan mungilnya tak sekuat kaki sang lawan. Kawannya itu tak tinggal diam. Ia mengentakkan kaki kuat-kuat ke arah selangkangan Reza. Jebrett.… Reza meringis dan melepaskan tangannya dari kaki lawan. Saat itulah tubuh kawannya menindih bocah ingusan itu. Reza pun menangis sejadi-jadinya.

”Bukan hanya bagian luar kemaluannya yang lecet. Bagian dalamnya juga sobek,” kata Mila menirukan ucapan dokter yang memeriksa anaknya. Orang tua Reza pun memutuskan menyunatkan anaknya sekalian. ”Akhirnya saya bikin nasi kuning untuk dibagikan ke tetangga,” ucap Mila.

Lain Reza, lain pula Joy Perkasa, 15 tahun. Siswa SMP Fajar Hidayah, Bukit Sentul, itu baru saja membuka sepatu kets sehabis berolahraga. Tiba-tiba teman-temannya merubung. Salah seorang kawannya yang bertubuh besar segera mencincang pakaiannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. ”Jatuhkan Joy..., banting dia!” teriak salah seorang dari mereka.

Teman-teman kelas Joy yang berempati balas memekik, ”Turunkan Joy!” Tapi terlambat. Joy jatuh dengan pelipis kanan mendarat terlebih dulu di ubin yang keras. Joy terkulai.

Farida, ibu Joy, menuturkan, pada hari ketiga seusai drama 18 November itu, suhu tubuh anak tunggalnya itu mencapai 40,5 derajat Celsius. Joy juga muntah-muntah. Melihat demamnya tak turun, Farida dan suaminya, Hari Sukarsono, membawa Joy ke rumah sakit Bogor Medistra Center untuk menjalani CT scan di kepala. ”Dokter menduga ada radang di bagian otaknya,” ujar Farida.

Di rumah sakit, teman-teman Joy menjenguk, tak terkecuali si anak bertubuh besar yang menjatuhkannya. Kepada Farida, anak tersebut tak menyatakan penyesalan. Ia justru membicarakan tayangan SmackDown yang kini banyak digemari anak muda. ”Tante, acara SmackDown lagi populer lho sekarang,” ujar anak itu.

Reza dan Joy adalah dua dari 20-an korban yang jatuh dalam sebulan ini akibat meniru adegan kekerasan SmackDown, yang ditayangkan Lativi hampir setiap hari. Korban tewas dalam kasus ini adalah Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cincin 1 Katapang, Bandung. Ia meninggal 16 November lalu setelah dipiting dan ditindih tiga temannya di sebuah masjid.

Korban luka tersebar di Jakarta, Bandung, Sukabumi, Yogyakarta, Surabaya, Jambi, hingga Balikpapan. Mereka antara lain Angga, 11 tahun, siswa kelas lima SD 7 Babakan Surabaya Selatan, yang mengalami lima jahitan di kening; Nabila Amal, 6 tahun, siswi kelas satu Margahayu Raya Bandung, yang mengalami patah tulang paha. Seorang bocah, Fayza Rafiansyah, empat setengah tahun, yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak Al-Wahab Bandung, bahkan muntah darah. Daun telinganya ditarik sambil perutnya ditendang.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan tayangan kekerasan di televisi dapat mempengaruhi perilaku dan perkembangan psikologi anak. ”Anak-anak adalah peniru terbaik di dunia,” ujarnya.

Seorang anak, kata Seto, akan cenderung mempraktekkan apa yang ia tonton untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekelilingnya. Sekali mencoba, ia akan terus menunjukkannya, ”biar kelihatan gagah dan hebat.”

Reza yang mendadak disunat itu, misalnya, biasa tidur larut malam menonton program bikinan World Wrestling Entertainment (WWE) itu bersama ayahnya. Selain menyaksikan dari televisi, Reza juga beberapa kali memainkan game SmackDown di PlayStation 2. Karena itu, dia cukup ingat gaya bantingan dan kuncian yang diperagakan para pegulat gaya bebas itu.

Muhammad Akbar, siswa kelas lima SD Al-Azhar Jakarta Selatan, bahkan hafal teknik-teknik unggulan John Cena seperti Spinebuster dan Alabama Slam. Teknik yang pertama adalah berhadapan dengan musuh, lalu secepat kilat juara WWE Championship itu bergerak ke belakang lawan dan memutar tubuhnya. Dengan kecepatan tinggi, ia mencengkeram bahu lawan dan membantingnya. ”Keren abis,” katanya.

Tak cuma John Cena, anak-anak itu juga hafal nama lain seperti Triple H, Undertaker, Edge, Big Show, King Booker, Rey Mysterio, dan Johny Nitro. Muhammad Aldin Pratama, 12 tahun, siswa kelas enam SD Banjarsari, Bandung, membeli kalender, poster, dan topeng bintang favoritnya, Rey Mysterio. Topeng Rey seharga Rp 22 ribu itu bergambar lidah api. Dengan topeng inilah Rey biasa tampil ke altar pertarungan, siap membakar lawan-lawannya.

Meski hafal dan mengagumi para pegulat Amerika itu, sebagian besar anak itu tak tahu bahwa SmackDown dan tayangan sejenis seperti RAW dan Extreme Championship Wrestling (ECW) yang juga ditayangkan Lativi adalah adegan pura-pura. Nathan, siswa kelas dua SD negeri di Sumber, Solo, membantah habis penjelasan ayahnya, Kristanto, yang menyebut perkelahian itu hanya tipuan. ”Nggak mungkin kalau itu bohong-bohongan. Tekniknya saja teknik bantingan, kok,” kata Nathan, yang belajar taekwondo.

Kukuh, anak kelas tiga SD Semanggi, Solo, juga berkeras, ”Kalau hanya main-main, mengapa ada yang sampai marah dan memukul dengan kursi atau benda-benda lain?”

Di Amerika, tak sedikit orang yang tak tahu bahwa adegan dalam SmackDown menggunakan skenario. Di Dallas, seorang bocah 7 tahun yang terinspirasi adegan gulat di televisi memiting adik laki-lakinya yang berusia 3 tahun hingga tewas. Orang tua seorang anak di Philadelphia juga ikut masuk penjara lantaran lalai menemani anaknya menonton SmackDown. Sang anak membanting temannya hingga tewas. Federal Communications Commission, lembaga independen semacam Komisi Penyiaran, menghukum WWE dengan denda yang besar. WWE pun berkewajiban menambahkan tulisan ”Don’t try this at home” selama tayangan berlangsung.

Tayangan SmackDown, RAW, dan ECW di Amerika masuk dalam kategori PG 13. Artinya, anak 13 tahun ke atas boleh menonton tapi harus dengan didampingi orang tua. SmackDown tak ditayangkan setiap hari, tapi pada Jumat pukul 19.00-21.00 lewat jaringan terestrial. Sedangkan RAW ditayangkan melalui televisi kabel.

Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia pada Maret tahun lalu membolehkan Lativi menayangkan SmackDown pada jam tayangan untuk orang dewasa di atas pukul 22.00 sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran 2004 Pasal 39. Pada awalnya, kata Ade Armando, anggota Komisi, Lativi menurut. ”Tapi belakangan mereka memajukannya menjadi pukul 21.00. Promosi acaranya pun berkali-kali muncul jauh sebelum jam tayangnya. Ini jelas melanggar,” ujar Ade.

Korban pun jatuh. Protes merebak. Lativi memundurkan jadwal acara menjadi pukul 22.00 dan mengubahnya lagi pada pukul 23.00. Dan sejak Rabu lalu, kata Manajer Humas Lativi, Raldy Doy, ”Karena telah terjadi kontroversi, kami menghentikannya.”

Lativi adalah stasiun ketiga yang menghentikan tayangan SmackDown setelah RCTI pada 2000 dan TPI pada 2002. Tayangan di RCTI dan TPI itu tak mendapat rating yang bagus.

Seto mengungkapkan, pekerjaan rumah selanjutnya adalah memulihkan trauma psikologis anak-anak, yang tak sebentar. Tak cuma mereka yang terluka, tapi juga para pelaku yang diduga mencederai korban. Enok Maryati, ibu Restu Agung, 12 tahun, tetangga Reza Ikhsan di kompleks Banda Asri Bandung, mengatakan, ”Restu amat tertekan. Dia sering mengungsi ke rumah kakaknya.”

Evieta Fadjar, Suseno, Rinny Srihartini, Ahmad Fikri (Bandung), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus