Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Curang Culas Pengusaha SPBU

Inilah kejahatan yang tidak mudah dibuktikan: pencurian bahan bakar minyak melalui stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Para pemilik dan pengelola pompa bahan bakar ini mengurangi takaran, mempercepat putaran meteran, dan mengoplos. Mesin-mesin baru yang digital pun tak terlepas dari upaya pencurian bahan bakar. Mereka sudah menggunakan remote control, bukan lagi kawat seperti pada mesin lama.

Celakanya, jumlah stasiun yang mencurangi konsumen lebih besar ketimbang yang bagus. Paling tidak, itulah hasil inspeksi Tim Terpadu BBM pada kurun waktu Mei 2005-Juni 2006. Dari 228 SPBU yang diperiksa, hanya 108 stasiun yang tidak melanggar. Kerugian konsumen dari 110 stasiun yang curang mencapai Rp 5 miliar. Diperkirakan, kerugian konsumen akibat SPBU yang curang mencapai Rp 42 miliar per tahun.

Para pengelola dan pemilik berdalih jumlah BBM yang mereka terima lebih kecil dari yang mereka bayar karena banyak bocor di jalan ketika diangkut ke SPBU mereka. Tempo memang menemukan banyak tempat di Jakarta yang dijadikan tempat pencurian BBM. Nilai pencurian di sini jauh lebih besar lagi, sekitar Rp 500 miliar per tahun. Tapi, tentu saja itu tak bisa dijadikan alasan pembenar untuk mengakali konsumen.

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mobil Mitsubishi Kuda itu meluncur pelan memasuki pompa bensin di Jalan Wahidin I, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Oktober lalu. Antrean cukup panjang. Siang itu keadaan sekitar pompa bensin amat tenang. Tetapi empat orang yang ada di dalam Mitsubishi itu justru dirayapi ketegangan. Ya, ada sesuatu yang akan mereka lakukan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tersebut.

Begitu tiba di depan mesin penggelontor BBM (dispenser), Soenarso, pimpinan tim, segera turun dari mobil. Dia tak menemui petugas pengisian, tetapi langsung mencari pengawas pompa bensin bernomor 34.10xxx itu. Sementara itu, Ari Widoyono, anggota tim, lang-sung menuju operator nozzle. Dua rekan lainnya bertahan di mobil, awas memperhatikan sekeliling.

Detik berjalan. Sedikit ketegangan mulai merambat. Kepada pengawas, Soenarso menjelaskan mereka adalah anggota Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga serta Penanggulangan Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak (Timdu BBM). Tim itu hendak memeriksa kelaikan peralatan SPBU.

Lalu Ari menjalankan dispenser, mengisi Aykan-alat takar BBM berukuran 20 liter. Saat itulah dua anggota tim di dalam mobil melihat seorang petugas yang berdiri dekat dispenser melakukan gerakan mencurigakan. Dia seperti mencari sesuatu di saku celana dengan tergopoh-gopoh.

Tanpa ba-bi-bu, mereka memeriksa petugas itu dan menemukan sebuah remote control di dalam saku celananya. Alat seukuran korek api itu memiliki tombol on-off. Kepada Timdu, pemilik SPBU tersebut mengaku alat canggih itu ia beli di Glodok dengan harga Rp 5 juta. Dengan alat itulah konsumen kerap dikerjain.

Dengan posisi control yang masih on, Timdu lalu mengecek salah satu nozzle premium. Hasilnya, volume bensin yang keluar tak sesuai dengan meteran: berkurang hingga 1,245 liter per 20 liter! Temuan itu langsung dilaporkan ke Pertamina. Sejak hari itu juga pompa bensin tersebut diskors dua bulan.

"Saat itu kami datang seperti konsumen biasa," kata Ari Widoyono menceritakan kembali aksi mereka kepada Tempo. Timdu menyelidiki pompa bensin itu setelah mendapat pengaduan beberapa sopir Pertamina Pusat yang merasa dicurangi.

Ketika disambangi Tempo dua pekan lalu, SPBU itu masih tutup. Mukid, petugas pengawas, berdalih mereka tengah melakukan renovasi. Dia membantah jika dikatakan stasiunnya melakukan kecurangan. "Setiap bulan kami diperiksa oleh Badan Metrologi dan tak pernah ada masalah," ujarnya. "Lagi pula, kalau berani begitu, konsumen kabur. Kami juga yang rugi."

l l l

Pencurian BBM bukan cerita baru. Sudah beberapa kali majalah ini menurunkan berita dan investigasi berkaitan dengan hal itu. Pertengahan tahun ini praktek pencurian BBM kembali menyedot perhatian publik. Pemicunya adalah hasil investigasi Timdu BBM terhadap 228 SPBU di Jakarta dan Jawa Barat. Hasilnya, lebih dari separuh (110 buah) telah melakukan aksi pencurian BBM yang merugikan konsumen. Tak tanggung-tanggung, selama Mei 2005-Juni 2006 uang yang dicolong dari masyarakat mencapai Rp 5 miliar!

Celakanya, bukan cuma SPBU swasta yang melakukan pencurian. Penyelidikan Timdu terhadap sem-bilan SPBU milik Pertamina yang dikelola swasta-yakni SPBU dengan nomor awal 31-menunjukkan lima di antaranya bermasalah. Mereka mengurangi volume BBM yang menjadi hak konsumen di atas batas toleransi. Caranya, antara lain, dengan merekayasa dispenser (mengurangi takaran atau mempercepat putaran pulsar atau angka meteran). Selama ini, pemerintah hanya mentoleransi kesalahan hingga 50 ml per 10 liter pengisian atau 0,05 liter setiap 10 liter.

Tetapi Timdu menemukan selisih angka lebih dari ketentuan itu. Angkanya bervariasi dari 120 ml per 20 lt hingga 1,3 lt per 20 lt. Lebih "gila" lagi, 24 persen di antaranya mencuri hingga 500 ml per 10 lt. Konsumen benar-benar diakali di depan mata kepalanya sendiri.

Gebrakan Timdu memang sempat membikin keder pengelola pompa bensin. Hingga November kemarin Timdu terus melakukan inspeksi mendadak dan sudah 236 SPBU mereka datangi. "Belakangan pelanggaran sudah berkurang," ujar Soenarso.

Toh, masih ada saja yang nekat. Di kawasan Jawa Barat, belum lama ini sebuah stasiun pengisian diketahui mencuri hingga 1,6 lt per 10 lt. "Padahal, ketika kami datang, antreannya sangat panjang. Apa orang-orang itu nggak sadar bensinnya dicuri?" kata Ari.

Apa yang menyebabkan SPBU menjadi nakal hingga mengutil bensin hak konsumen?

Menurut Ari, yang mantan perwira Kopassus, hal itu antara lain karena kebanyakan SPBU nakal tidak dikelola sendiri oleh pemiliknya, tetapi disubkontrakkan. "Si pengontrak tentu harus membayar kepada pemilik setiap bulan, sementara dia mesti juga mencari untung," ujar Ari (baca: Kalau Margin Tipis, Jangan Jualan Bensin).

Penyebab lain, bisa jadi karena adanya rantai pencurian sepanjang jalur distribusi BBM. Sejak dari depo di Plumpang, Jakarta Utara, hingga SPBU terjadi pencurian di beberapa titik. Saat BBM diterima pengelola, jumlahnya sudah jauh berkurang. Kerugian itu akhirnya dioper ke konsumen (baca: Kencing Minyak Sepanjang Jalan).

l l l

Paling tidak ada dua cara SPBU menjaili konsumen. Pertama, menyetel dispenser dengan mengurangi takaran. Ini terutama dilakukan pompa bensin yang mesin dispensernya masih model lama. Dan kedua, mempercepat putaran pulsar sehingga angka pembelian BBM yang tertera di dispenser lebih besar dari BBM yang dikucurkan ke mobil konsumen. Untuk mesin lama, mereka menggunakan kayu atau kawat. Tapi untuk mesin baru, para pencuri ini sudah menggunakan remote control.

Biasanya alat tambahan digunakan untuk mengakali perangkat pengubah volume cair menjadi volume ukur. Untuk mesin digital, alat itu terbungkus dalam satu blog yang dinamakan transducer. "Sebenarnya transducer ini termasuk yang kami segel," ujar Lili Suwarli, Kepala Seksi Pengujian dan Peneraan Balai Metrologi DKI Jakarta. "Tapi yang mau mencuri selalu saja ada akalnya." (lihat infografik)

Kamis siang dua pekan lalu, Tempo mengunjungi SPBU No. 34.17xxx, di Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Di tempat inilah, Juni lalu, Timdu memergoki perangkat elektronik ber-remote control terpasang pada salah satu dispenser.

Berdiri di atas lahan seluas 1.000 m2, SPBU itu memiliki tiga dispenser yang menjual solar dan premium. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, saat didatangi tempat itu ramai oleh motor, mobil pribadi, dan angkot. Menurut salah seorang pekerja di sana, pompa bensin yang berdiri sejak 1999 itu telah tiga kali berganti pemilik. "Sekarang pemiliknya orang Cina, tinggal di Pondok Gede," ujarnya. Dia mengakui beberapa bulan lalu stasiun itu sempat ditutup sementara, "Karena ada kasus," katanya.

Sesaat kemudian datang Nasan Sucipto, pengawas SPBU ini, mengendarai mobil Daihatsu Taruna hitam. Kepada Tempo, semula ia membantah telah melakukan kecurangan seperti temuan Timdu. Belakangan ia mengakui telah mengurangi takaran ke konsumen sebesar 30 mililiter setiap pembelian 20 liter (temuan Timdu menunjukkan pengurangannya lebih besar dari itu). Nasan berdalih, hal itu tidak disengaja. "Waktu itu kita masih pakai mesin tua," ujarnya (baca: Penyusutan itu Sudah Ditoleransi).

Dia juga membantah keras telah menggunakan remote control. Dia menegaskan bahwa inspeksi mendadak (sidak) Pertamina hanya menemukan kelebihan penyusutan, dan setelah mereka melakukan renovasi peralatan kini semua sudah sesuai peraturan. "Bulan Juli disidak, dan Agustus sudah beroperasi setelah selesai renovasi," kata dia.

Tempo juga mendatangi SPBU 34.13xxx di Pulomas, Jakarta Timur. Menurut laporan Timdu, stasiun pengisian ini telah mencuri lebih dari 50 mililiter per 10 liter yang dibeli konsumen. Mereka menggunakan kawat untuk mengakali dispensernya. Tetapi data itu dibantah Awal, penanggung jawab operasional. Dia mengaku menyetel dispenser agar konsumen tidak mendapatkan bensin sesuai dengan pembelian, tapi jumlahnya hanya 30 mililiter. Alasannya untuk menutup kerugian. "Dan itu tidak memakai alat," ujar dia.

Kerugian? Awal menunjuk pasokan BBM yang tak sesuai dengan pesanan sebagai pemicu aksi pengutilannya itu. "Rata-rata kurang 150 sampai 200 liter setiap pemesanan 16 kiloliter," katanya. Nasan idem ditto. Celakanya, Nasan mengaku tak bisa apa-apa karena penyusutan sampai 0,01 persen (80 liter per 8.000 liter) masih ditoleransi. "Alasannya karena terjadi penguapan di perjalanan," ujarnya.

Penelusuran Tempo menunjukkan penyusutan itu tak disebabkan oleh penguapan saja. Tetapi truk tangki yang jadi moda pengiriman juga telah menjadi bagian dari rantai pencurian minyak. Modusnya macam-macam, dari praktek "kencing" di beberapa titik hingga pencurian dalam jumlah besar di pos-pos tertentu.

Kepala Divisi Komunikasi Pertamina, Toharso, mengatakan Pertamina sudah lama mengetahui praktek "kencing" itu, tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Untuk mengurangi hal itu, Pertamina menerapkan sistem baru. "SPBU hanya membayar senilai jumlah BBM yang mereka terima," ujarnya. Jadi, kalau pesan 8.000 liter tapi yang diterima cuma 7.800 liter, 200 liter yang hilang tak perlu dibayar.

Tetapi sistem ini menuntut setiap SPBU memakai alat digital untuk mengukur timbunan minyak di tangki mereka. Dan di Jakarta baru 10 SPBU yang sudah memiliki alat canggih itu. Jadi, ya, sistem lamalah yang masih dipakai.

l l l

Awal sebetulnya tak begitu percaya pada teori penguapan minyak di jalanan. Suatu saat ia memutuskan mengawal truk tangki dari depo Plumpang. Ternyata, ketika sampai di pom bensin, jumlah BBM tetap berkurang banyak. Dia yakin mesin milik depo Pertamina di Plumpang juga bermasalah. "Harusnya pihak Metrologi juga memeriksa alat di Pertamina," ujarnya. Tetapi tudingan itu dibantah Toharso. Kata dia, jika ada masalah di Plumpang, besar kemungkinan karena operatornya nakal.

Peran kenakalan operator boleh jadi benar. Penelusuran Tempo di area Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri (UPPDN) Wilayah III Perta-mina, Plumpang, Jakarta Utara, menemukan praktek tipu-tipu itu melibatkan sopir truk tangki, petugas depo, dan penjaga pintu kawasan (baca: Kencing Minyak Sepanjang Jalan).

Tetapi bagaimana dengan alat? Kali ini mata memicing pada Balai Metrologi DKI Jakarta. Lembaga inilah yang berwenang melakukan tera alat dari hulu hingga hilir. Untuk bidang BBM, wewenang Balai Metrologi meliputi peneraan dan pengawasan tangki milik Pertamina di Plumpang hingga dispenser-dispenser di SPBU.

Tudingan itu bukan tanpa alasan. "Ada SPBU yang baru saja ditera oleh Balai Metrologi DKI Jakarta, ketika kami periksa, minusnya di atas batas toleransi," ujar Tuti Anggrahini, Wakil Ketua Timdu, heran. Dia kian heran karena dari ratusan pom bensin yang curang, hanya sembilan yang mengakalinya dengan alat. Sedangkan yang lain tampak normal dan tak ada bekas dispensernya seperti pernah diutak-atik.

Apakah Badan Metrologi ikut "bermain"?

Marilah kita simak sepenggal cerita berikut. Suatu saat Timdu BBM melakukan sidak kepada SPBU No. 34.43xxx, yang berlokasi di Cipanggulaan, Parungkuda, Sukabumi, Jawa Barat. Saat itu Timdu menemukan ada pengurangan takaran minyak hingga 130 ml per 10 lt. Jelas ini pelanggaran berat.

Tapi pengawas pengganti di SPBU, Bowo, menolak menandatangani hasil pemeriksaan. Bahkan, di depan anggota Timdu, dia menghubungi Metrologi. "...yang lalu saya kan minta dibuat saja minus 80 per 10lt, kenapa saat diperiksa Timdu BBM hasilnya minus 120 ml per 10 lt?" katanya.

Seluruh cerita itu termuat dalam kopi surat resmi Timdu kepada Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI Jakarta. Surat nomor 256/Timdu BBM/IX/2006 berklasifikasi biasa itu diperoleh Tempo dari sebuah sumber.

Dikonfirmasi soal ini, Bambang Setiadji, Kepala Sub-Direktorat Pengawasan dan Penyuluhan Kemetrologian Direktorat Metrologi di Bandung, mengaku tak tahu-menahu. Sejak otonomi daerah digulirkan pada 2001, menurut dia, tera-menera menjadi kewenangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan daerah masing-masing. Metrologi cuma membantu. "Tetapi hal semacam itu mungkin saja terjadi," tuturnya. Di hadapan Tempo, Bambang menghubungi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bandung. Tapi mereka pun mengaku baru tahu ada temuan seperti itu.

Di Jakarta, Kepala Balai Metrologi, Tarigan, me-nepis keras keterlibatan kantornya dalam mengakali alat. "Buktikan," ujarnya pendek. Sebaliknya, dia malah menuding rentanya usia mesin sebagai sumber masalah. Kata dia, sebagian besar SPBU di Jakarta masih menggunakan dispenser lama. Usia rata-ratanya bahkan di atas 10 tahun. "Akibatnya, hasil ukur tidak stabil," ujarnya.

Ketua Bidang Humas Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana) DKI Jakarta, Soyano Zakaria, berpendapat sama. Menurut dia, bahkan ada SPBU yang selama 20 tahun tak pernah ganti dispenser. "Saya berani bertaruh ada mesin yang baru ditera Metrologi, sejam kemudian hasilnya bisa beda. Bisa minus, bisa plus."

Metrologi, menurut Tarigan, sudah berkali-kali minta SPBU bermasalah mengganti dispenser. "Tapi tak dihiraukan. Katanya tak ada perintah dari Pertamina," ujar dia.

Sebaliknya, Pertamina merasa itu bukan wewenang mereka. Menurut Toharso, penggantian dispenser seharusnya menjadi kesadaran pengusaha. "Tugas kami mengawasi dan memberi sanksi kepada yang melanggar," kata Toharso.

l l l

Di tengah rantai kecurangan itulah konsumen menjadi korban paling menderita. Masyarakat harus "mengambil alih" kerugian yang diderita pengelola SPBU. Sumber Tempo di kalangan pengusaha SPBU mengungkapkan, mereka menanam investasi Rp 10 miliar untuk stasiun pengisian dengan 10 dispenser. "Tetapi keuntungannya sangat tipis," kata dia.

Lalu dijelentrehkanya sebuah hitung-hitungan. Untuk setiap penjualan 1 liter, pengelola pom bensin mendapatkan fee Rp 180. Artinya, dengan rata-rata penjualan 30 kiloliter per hari-bervariasi dari 12 hingga 40 kiloliter per SPBU-para pengusaha bisa mengantongi penghasilan kotor sekitar Rp 162 juta setiap bulan.

Setelah dipotong pengeluaran, antara lain gaji, setiap bulan sekitar Rp 100 juta dapat mereka raup. Tetapi, kata sang pengusaha, itu bukan angka yang bagus untuk investasi puluhan miliar. Apalagi dalam bisnis BBM ini rawan terjadi perubahan. Misalnya jika tiba-tiba Pertamina mengizinkan SPBU baru berdiri di dekatnya, atau jalur lalu-lintas berubah, keuntungan langsung menyusut. "Saat itulah kami mulai bermain," dia mengaku.

Dan korban permainan ini siapa lagi kalau bukan konsumen. Sialnya, konsumen sering kali hanya bisa merasakan dan tidak bisa membuktikan adanya kecurangan itu. Belum lagi soal seringnya petugas pompa bensin yang tak mau mengembalikan recehan kembalian. Jumlahnya mungkin kecil, tapi bayangkan jika yang tidak dikembalikan itu milik ratusan ribu orang.

Selain itu, banyak SPBU juga mengakali konsumennya dengan mengoplos produk BBM yang dijual di sana. Yang sering dioplos adalah solar (dicampur minyak tanah) dan pertamax (dicampur bensin biasa). Pendeknya, banyak akal menipu konsumen. Sudah saatnya Pertamina lebih ketat mengawasi stasiun-stasiun pengisian bahan bakar miliknya. Bukan tidak mungkin konsumen akan beralih ke stasiun milik asing, yang sudah banyak ditemukan di Jakarta dan sekitarnya. n

Menguji Akurasi Dispenser

MESKIPUN sudah ditera oleh Dinas Metrologi dan dikalibrasi sesuai dengan aturan, pengujian dengan alat ukur Aykan yang terbilang sederhana bisa membuktikan apakah sebuah dispenser sudah diotak-atik oleh pemilik SPBU atau tidak, dan berapa besar penyimpangan yang terjadi pada dispenser itu.

  • Jika angka 0 pada alat ukur sejajar dengan angka -50 (mililiter) pada leher Aykan, maka angka itu masih berada dalam toleransi Pertamina berdasarkan Perjanjian Pengelolaan SPBU tanggal 4 Januari 2006.
  • Air pada tabung horizontal yang terletak di bagian atas Aykan harus berada di posisi tengah.
  • Masukkan 20 liter bensin ke dalam Aykan, dan atur tanda pengukuran pada leher Aykan. Jika angka 0 pada alat ukur sejajar dengan angka 0 yang tertera pada leher Aykan, maka dispenser itu akurat.
  • Jika angka 0 pada alat ukur menunjukkan angka lebih dari -50 (mililiter) pada leher Aykan, maka angka itulah yang menjadi patokan penyimpangan dispenser. Misalkan angka pada leher Aykan menunjukkan angka -100, artinya setiap 20 liter bensin terjadi pengurangan sebanyak 100 mililiter.
  • Hasil inspeksi mendadak yang dilakukan Timdu terhadap SPBU yang dikelola pihak asing menunjukkan alat ukur pada leher Aykan selalu dalam posisi 0.

Jenis Pelanggaran SPBU

Pertamina mengklasifikasi jenis pelanggaran yang dilakukan SPBU dalam beberapa kelompok dengan sanksi bervariasi, mulai dari surat peringatan pertama sampai pengambilalihan pengelolaan SPBU yang bersangkutan.

Jenis Pelanggaran

  • Menjual BBM dengan drum dan atau sejenisnya tanpa mendapat persetujuan tertulis dari Pertamina dan atau pemda setempat.
  • Mengalihkan delivery order (DO) ke SPBU lain atau menerima DO dari SPBU lain tanpa seizin Pertamina.
  • Memberi kesempatan kepada mobil tangki untuk melakukan pencurian BBM di areal SPBU.
  • Mengurangi takaran BBM di atas 50 ml per 10 liter.
  • Merekayasa meter dispensing pump.
  • Tidak memeriksa kualitas dan kuantitas, baik dalam kegiatan penerimaan BBM dari mobil tangki maupun kegiatan operasional SPBU
  • Tidak menunjukkan angka nol pada dispensing pump.
  • Tidak menyerahkan uang kembalian atau tidak melayani penjualan BBM sesuai dengan uang yang dibayarkan.
  • Menjual BBM untuk kebutuhan industri.
  • Mengubah mutu BBM.
  • Mengalihkan kepemilikan SPBU tanpa izin dari Pertamina.

Jeli Sebelum Mengisi

  • Lihat apakah ada hal-hal yang mencurigakan pada tubuh dispenser itu, misalnya lubang kecil atau tonjolan kecil yang terlihat tidak sinkron dengan tubuh dispenser.
  • Awasi petugas lain yang sedang tidak mengisi bensin namun berdiri dengan gaya mencurigakan, seperti memasukkan tangan ke saku celana dan menghadap ke arah dispenser. Inspeksi mendadak Timdu menemukan petugas seperti ini sedang memegang remote control yang menyiasati kerja dispenser.
  • Sebaiknya Anda keluar dari mobil ketika pengisian dilakukan untuk mengawasi pengisian BBM. Jangan lupa mengunci pintu.
  • Lihat gelas dispenser sebelum pengisian dimulai. Gelas harus dalam keadaan penuh.
  • Pastikan Anda membayar dengan persis sesuai dengan angka yang tertera pada dispenser. Banyak SPBU yang gemar "membulatkan" pembayaran dengan tidak memberikan uang kembalian. Jumlah itu mungkin kecil jika dilihat per konsumen, tapi jika diakumulasi akan merugikan konsumen dalam jumlah besar.
  • Pastikan angka display pada posisi 0 sebelum pengisian dilakukan.
  • Jika ada stiker merah terpasang di tubuh dispenser, bacalah dengan cermat. Sebab, jika stiker itu dikeluarkan oleh Dinas Metrologi, maka tulisan yang tertera adalah "Pompa bensin ini disegel, melanggar UU No. 2 Tahun 1981, Metrologi Legal, tentang ukuran dan takaran". Batalkan niat mengisi bensin, dan cari pompa bensin terdekat.
  • Jika Anda merasa ada hal-hal negatif yang terjadi di lokasi pompa bensin namun sulit dibuktikan pada saat mengisi bensin, hubungi nomor pengaduan yang tertera di badan dispenser atau hotline Timdu di (021) 3865411 atau fax 3517634 dengan informasi rinci. Masukan Anda bisa menyelamatkan konsumen lain.

Rekayasa Dispenser

Tak semua SPBU memiliki dispenser mutakhir. Beberapa masih menggunakan dispenser yang sama sejak 20 tahun lalu. Risiko dispenser uzur ini lumayan gawat. "Baru satu jam ditera, hasilnya sudah bisa berbeda," ujar Kepala Humas Hiswana Gas (Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas) DKI Jakarta, Sofyano Zakaria. Namun, tak berarti semua dispenser baru pasti tokcer hasilnya. Ada dua modus yang biasa dilakukan pengusaha SPBU untuk melancungi konsumen: manual dan digital.

MANUAL

  • Dengan tusukan kayu. Ini cara "primitif" yang masih dilakukan SPBU yang menggunakan mesin dispenser lama. Kayu ditusukkan pada sebuah lubang kecil di badan dispenser yang akan mempercepat putaran angka.
  • Tusuk konde. Hampir sama dengan tusuk kayu, hanya yang dipakai adalah kawat tebal atau logam tipis serupa konde yang biasa digunakan untuk sanggul wanita.

DIGITAL

  • Dispenser anyar tak lagi menggunakan kayu atau tusuk konde, melainkan remote control khusus yang membuat perhitungan menjadi tidak normal. Control ini biasanya dibanderol sekitar Rp 5 juta per unit, dan biasanya dibuat di pasar elektronik di Glodok. Bentuknya bermacam-macam, ada yang seperti control televisi, ada juga yang kecil seperti alarm mobil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus