Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesin pompa itu bergetar dengan suara bising. Slang panjang warna hitam dari pompa terentang menghubungkan dua tangki. Slang pertama menusuk perut mobil tangki BBM berisi solar, dan satunya berujung di bekas kontainer yang disulap menjadi bak penampung. Tiga orang sigap bekerja di bawah terik matahari siang itu.
Setelah satu jam, mesin pompa dimatikan. Ceceran oli dan solar segera menetes dari ujung-ujung slang ke tanah. Ceceran macam itulah yang membuat hamparan lahan 300 meter persegi tersebut menghangus. Puluhan drum yang terserak di lokasi itu juga belepotan minyak. Bahkan tubuh para pekerja pun berkilau oleh percikan cairan kental itu.
Aktivitas di atas bukan terjadi di stasiun pompa bensin atau pengilangan minyak. Itu terjadi di sebuah sudut Jakarta Timur, persisnya di kawasan Cakung. Di lokasi ini setiap hari mampir truk-truk tangki yang mestinya mengantarkan BBM langsung dari depo Pertamina di Plumpang ke SPBU langganan. Namun, ternyata mereka singgah dulu sejenak untuk ”kencing”, yakni mengucurkan sebagian minyak ke penadah ilegal.
Tempo menyambangi lokasi ”kencing” itu pekan lalu. Sungguh mengejutkan, tempat penadahan itu ibaratnya hanya sejengkal dari ruas jalan superpadat yang menghubungkan Cakung-Cilincing. Tersembunyi di balik bayangan gedung tinggi, tak ada yang curiga karena akses menuju lokasi berupa jalan buntu.
Orang tak dikenal jangan coba-coba masuk ke sana. Penjagaan berlapis dilakukan oleh anggota ”Geng Pengencing” itu. Pos jaga pertama adalah sebuah warung rokok kecil di pintu masuk jalan. Beberapa orang akan segera menghambur jika ada mobil tak dikenal mengarah ke jalan ini. Mereka menghadang dan meminta mobil balik karena jalan buntu. Ya, di ruas ini hanya mobil tangki pengangkut BBM dan mobil bak terbuka penuh drum minyak yang memiliki pass masuk. Jika lolos dari ”ranjau pertama”, pos berikut siap menghadang di tikungan berikutnya. Di sana juga ada sebuah warung rokok plus sejumlah penjaga.
Adalah Raja (nama samaran) yang sehari-hari menjalankan bisnis gelap ini. Dia mengaku, penampungan liarnya mendapat pasokan ribuan liter solar saban hari. ”Jumlahnya semakin berlipat karena dioplos,” kata Raja. Dia merasa nyaman menjalankan usahanya karena, ”Aparat TNI dan Polri ikut mengamankan lokasi ini.”
Jalan buntu tampaknya menjadi lokasi favorit para penadah haram itu. Lokasi lain yang ditemui Tempo di Jalan Marunda Baru, Jakarta Utara, juga memiliki ”fasilitas” serupa. Di sini sedikit kreativitas dilakukan sang pelaku guna menutupi area kencingnya. Dia membuka bengkel untuk mengaburkan fungsi lahan seluas 500 meter persegi itu.
Tembok setinggi 1,5 meter ikut memagari kawasan yang terbagi dua ini. Bagian depan difungsikan sebagai bengkel. Sedangkan bagian belakang yang luas untuk pengoplosan BBM. Dua buah tangki yang dicopot dari truk ditaruh di sisi selatan. Puluhan drum tampak berjajar memagari tangki itu.
Menurut Rama (nama samaran), 37 tahun, warga setempat, truk tangki BBM memang sering terlihat keluar-masuk bengkel. ”Minimal dua truk tangki setiap hari,” katanya.
Pemilik lokasi ini tak bisa ditemui. Tetapi Ahmad 37 tahun, rekan Raja, mengatakan lokasi itu sudah beroperasi sejak 10 tahun silam. Menurut para pemain BBM ilegal, kawasan ini adalah pul terbesar di Jakarta. Ahmad yakin ada petugas polisi yang membekingi tempat itu. ”Kalau tidak di-back-up aparat, pasti sudah ditutup dua tahun silam,” kata dia.
Dua tahun lalu, Pertamina memang gencar memberangus lokasi pengoplosan BBM. Oh ya, bengkel oplosan BBM ini hanya berjarak 200 meter dari Pos Polisi Marunda.
Namun, tidak semua lokasi pengencingan ngumpet di tikungan jalan. Salah satunya adalah lokasi peng-oplosan di Plumpang, Jakarta Utara, yang justru beroperasi terang-terangan di belakang sebuah SPBU. ”Lokasi itu sangat strategis,” kata Herman, seorang sopir truk tangki BBM, kepada Tempo.
Menurut dia, justru karena terletak di dekat pom bensin, orang tak curiga pada tempat ini. ”Truk tangki bebas nyelonong ke sana,” kata Herman, yang hampir 10 tahun berprofesi sebagai sopir truk tangki. Meski tak di tikungan jalan, area ini masih perlu penyamaran juga, yakni dengan berkedok bengkel.
Di perjalanan, truk tangki mungkin kencing secara sembunyi-sembunyi. Tetapi siapa sangka praktek ”buang air” itu nyatanya sudah terjadi sejak di depo Pertamina, Plumpang, jakarta Utara—kawasan yang mestinya steril dari kegiatan haram?
Menurut Herman, di kawasan ini modusnya beragam. Yang pertama adalah kerja sama antara awak mobil tangki dan petugas depo untuk melakukan ”pirid”—yakni pencurian dengan memainkan karakter minyak yang mudah memuai dan menyusut. Caranya, petugas depo mengisi mobil tangki dengan membuka keran secara penuh.
Setelah setengah BBM masuk tangki, petugas mulai memperlambat keran. Ini dimaksudkan agar minyak di dalam tangki memuai dan seolah ”memenuhi” tangki. Padahal, faktanya jumlah minyak belum mencapai kapasitas optimal yang 16 ribu liter. ”Dengan teknik ini petugas dan sopir bisa berbagi 2.000 liter,” ujar Herman.
Nah, kelebihan itu lalu digerojokkan ke dalam jeriken yang diletakkan di belakang jok sopir. Setelah truk keluar dari depo, jeriken-jeriken itu diturunkan. ”Biasanya sopir punya langganan tetap,” kata Herman. Tempo menyaksikan ketika muatan gelap itu diturunkan di depan pagar depo Plumpang.
Adanya aksi pencurian ”di rumah sendiri” itu dibantah Kepala Instalasi Jakarta Group, Sumarna. Dialah yang bertanggung jawab atas pembekalan BBM di depo Plumpang dan Tanjung Priok. ”Kontrol kami ketat, kecil kemungkinan ada praktek pencurian,” katanya. Ia berpendapat jeriken berisi BBM yang dijual di sepanjang pagar depo Plumpang berasal dari tirisan—yakni aksi pengumpulan sisa BBM yang terbawa mobil tangki sekembali dari SPBU.
Sumarna boleh membantah. Tetapi pengakuan seorang penadah minyak curian kepada Tempo membuktikan sebaliknya. Billah adalah salah satu pengepul yang menerima pasokan dari sopir ini. Dia beroperasi di sekitar depo Plumpang dan mampu mengumpulkan 1.000 liter minyak per hari. ”Untungnya Rp 1.500 setiap liter,” kata dia.
Semula Billah adalah pedagang warung makan. Delapan tahun lalu dia memutuskan banting setir. Seluruh perabot masakan ia jual dan dijadikan modal awal. Ditambah pinjaman kiri-kanan, dia lalu terjun ke bisnis ini. ”Sekarang saya punya mobil dan rumah sendiri di Sunter,” kata lelaki 50 tahun ini.
Masih melibatkan sopir, modus lain adalah meng-akali daya tampung tangki. Menurut Herman, sopir membuat sekat di depan dan belakang tangki untuk menampung minyak. Ini sekat tambahan, karena sebelumnya sudah ada sekat vertikal di tengah tangki. ”Sekat vertikal itu fungsinya untuk mengurangi guncangan saat tangki terisi BBM,” kata Herman.
Nah, sekat tambahan para sopir itu mampu menyimpan 2.000 liter minyak. Praktek ini berjalan mulus karena saat muatan diturunkan di SPBU, juru tera hanya mengukur isi berdasarkan ketinggian muatan. Dia tak tahu bahwa ada sekat ”siluman” yang memisahkan minyak curian.
Telunjuk Herman menunjuk sebuah bengkel di Jalan Yos Sudarso yang pernah berperan memodifikasi perut tangki. Keterangan Herman itu diakui sang pemilik bengkel, Haji Junaedi. Katanya, lima tahun silam bengkel yang berdiri sejak 1975 ini punya andil besar mengakali tangki minyak. ”Modifikasinya dengan memotong tangki agar kapasitasnya berkurang,” kata Junaedi.
Tidak hanya memotong perut tangki, bengkelnya juga kebanjiran order membuat bendungan di dasar tangki. ”Bentuknya seperti peti mati. Ukurannya tiga kali jeriken atau sekitar 80 liter,” katanya. Saat itu, biaya untuk mengerjakan ”peti mati” Rp 1 juta.
Tetapi itu sudah menjadi masa lalu. Junaedi mengaku bengkelnya tidak lagi menerima pesanan nakal itu. Kini, truk tangki yang datang hanya untuk menambal bagian-bagian yang bocor.
Lagi-lagi Sumarna membantah adanya praktek permak tangki ini. Menurut dia, hal itu sulit dilakukan saat ini. ”Sebagian dari mesin pengisi sudah memakai sistem otomatis,” kata dia. Jadi, seluruh pengeluaran tiap tetes BBM yang masuk ke tangki tercatat dalam kamar kontrol.
Ada satu hal yang diakui kebenarannya oleh Sumarna, yakni praktek kencing truk tangki. Dia memastikan sebagian besar BBM yang dicuri di jalan berasal dari tangki BBM untuk industri. Alasannya, pengawasan pengiriman BBM ke industri lebih lemah dibanding untuk SPBU. Untuk konsumsi industri, depo Plumpang hanya menyediakan BBM sesuai dengan yang dibutuhkan. ”Begitu keluar dari Plumpang, itu sudah tanggung jawab perusahaan pengiriman dan industri bersangkutan,” kata dia.
Ke manakah penyaluran bensin curian yang kemudian dioplos itu? Menurut Raja, kebanyakan larinya ke industri. Dia yakin, seperlima industri di Jakarta minum BBM oplosan. ”Lokasi oplosan Marunda dan Cilincing biasa menjual ke industri,” kata Raja.
Tetapi, kata dia, bukan berarti lokasi oplosan ini tidak menjual eceran. Hampir seluruh lokasi kencing dipastikan memiliki jaringan pengecer. Lihatlah Didin, 25 tahun, yang sehari-hari menjual solar eceran di jalan raya Cakung-Cilincing. ”Saya dapat jatah 200 liter tiap hari (dari pengoplos),” kata dia.
Tempo memantau, salah satu pusat pengecer ini ada di sekitar ”pabrik” oplosan Cakung-Cilincing. Di sana tak kurang terdapat 15 kios pengecer solar. Keadaan serupa juga tampak di sekitar lokasi oplosan Marunda. Berbagai outlet ini, kata Raja, dapat dijadikan petunjuk lokasi oplosan. ”Biasanya, tidak jauh dari outlet pasti ada lokasi pengencingan,” katanya
Dengan ilmu yang diajarkan Raja, Tempo berhasil mengendus sebuah lokasi pengencingan dan oplosan di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Belasan outlet yang tumbuh subur di sepanjang Jalan Martadinata, Jakarta Utara, itu seperti etalase pengoplosan.
Biasanya para pengoplos mencampur 120 liter solar dengan 100 liter minyak tanah. Mereka membeli solar dari para pencuri itu Rp 2.500-3.000 per liter. Ditambah biaya pembelian minyak tanah Rp 2.000 per liter, ongkos mereka mengoplos sekitar Rp 4.500-5.000. Hasilnya kemudian dijual Rp 4.000-4.300 per liter. Dari perhitungan pengoplosan 120:100 tadi, si pengoplos untung Rp 320 ribu-380 ribu.
Menurut Kapolsek Tanjung Priok, Komisaris Polisi Suparmo, rantai kejahatan pencurian dan pengoplosan minyak ini sulit diberantas. Menurut dia, jaringan kerja mereka amat tertutup. Dia meminta masyarakat membantu tugas polisi. ”Kami sulit melacak cukong besarnya,” kata Suparmo.
Dia membantah adanya polisi yang membekingi kegiatan haram itu sehingga bisnis oplosan inisulit dihabisi.
Sekali-sekali, Pak Suparmo mungkin perlu meluangkan waktu menyambangi lokasi pengencingan tadi. Bagaimanapun, soal ini tak bisa dianggap remeh. Setiap tahun, di Jakarta dan sekitarnya saja, nilai solar yang dicuri mencapai Rp 500 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo