Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sasi di Maluku: Tradisi Purba Melindungi Kekayaan Alam

Di tengah aksi pencurian ikan di laut Indonesia, kelompok adat di Maluku menerapkan sasi. Tradisi melindungi laut dan pesisir.

 

23 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kelompok masyarakat adat di Maluku menerapkan tradisi sasi untuk menjaga kelestarian laut dan sumber daya alam daratan.

  • Masyarakat hanya boleh menangkap ikan ketika tradisi sasi dilonggarkan.

  • Orang yang melanggar aturan sasi mendapat sanksi denda sampai pukulan rotan.

DI muara sungai yang bertemu dengan pantai Negeri Haruku di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, ombak berdebur dalam sepi. Riak-riaknya hanya menyapu badan empat kapal motor yang bersandar di pesisir. Hari itu, Senin, 11 November 2024, gulungan air laut yang tak seberapa tinggi terempas perahu motor yang kembali dari Pelabuhan Tulehu di Ambon, Maluku—sekitar setengah jam perjalanan dari Haruku dengan kapal cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi penduduk Negeri Haruku, triwulan akhir merupakan waktu yang paling dinanti sepanjang tahun. Tokoh adat setempat biasanya akan mengumumkan pelonggaran sasi. Tradisi sasi merupakan kebiasaan turun-temurun yang melarang siapa saja mengambil sumber daya alam dalam batas waktu tertentu. Tujuannya untuk melestarikan lingkungan, termasuk laut dan pesisir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Negeri Haruku, masyarakat setempat melaksanakan sasi lompa. Ini merujuk pada ikan lompa (Thryssa baelama) yang berkerumun di muara sungai Negeri Haruku. Ketika sasi dilonggarkan—biasanya cuma sehari—masyarakat bisa menangkap lompa itu. Namun, setelah sasi lompa ditutup, tak boleh ada orang yang menjaring ikan.

Kepala Kewang Negeri Haruku, Eliza Kissya, mengatakan tradisi sasi lompa dilaksanakan untuk menjaga kelestarian populasi ikan lompa dan melindunginya dari penangkapan yang eksploitatif. Kepala Kewang merupakan sebutan untuk tokoh adat di Negeri Haruku. Menurut Eliza, penduduk Negeri Haruku sangat patuh pada aturan main sasi. “Kami tak mau laut kami rusak dan sumber daya ikannya diambil habis-habisan,” kata Eliza, 75 tahun.

Urusan pencurian ikan menjadi salah satu masalah serius di perairan Indonesia bagian timur. Pada akhir Oktober 2024, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menyebutkan ada empat kasus penangkapan ikan ilegal di wilayah laut mereka. Menurut polisi, para pelaku menggunakan bom ikan untuk menjarah sumber daya laut.

Liputan investigasi Tempo bersama Jaring.id juga menemukan sejumlah kapal asing yang pernah dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melaut kembali. Bahtera-bahtera itu pernah terkena moratorium perizinan penangkapan ikan. Susi melarang penangkapan ikan karena menemukan praktik pencurian ikan yang masif.

Eliza bercerita tradisi sasi di wilayahnya sudah berjalan puluhan tahun. Selama itu pula ia tak pernah melihat warga menangkap ikan secara ugal-ugalan, misalnya menggunakan bom ikan. Eliza yakin penerapan sasi membuat ekosistem laut di Negeri Haruku terjaga dengan baik.

Salah satu tandanya ialah lompa yang datang selalu berlimpah ketika tradisi sasi dilonggarkan—tanda bagi masyarakat bisa menangkap ikan. “Ini dampak nyata sasi bagi ekosistem laut katong,” kata Eliza yang pernah menjabat anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012.

Menurut Eliza, sasi biasanya dimulai ketika induk lompa yang siap bertelur mulai tampak berkerumun di pesisir Haruku. Biasanya pada periode April sampai Mei. Ketika migrasi ikan itu muncul, Eliza akan memancangkan tonggak kayu yang ujungnya dililit dengan daun kelapa muda di muara. Itu tetenger bahwa sasi lompa dimulai di Negeri Haruku.

Berbagai peraturan lantas berlaku ketika tonggak kayu tertancap. Selain penduduk dilarang menangkap ikan, kapal motor pantang melintasi Sungai Learissa Kayeli yang membelah Negeri Haruku. Berbagai literatur menyebutkan luas area sasi dihitung 200 meter dari bibir pantai ke arah laut lepas. Sedangkan di sungai, kawasan pemanfaatannya bisa mencapai lebih dari 2.000 meter.

Kelompok adat menerapkan sanksi bagi pelanggar. Biasanya berupa denda. Namun, bila pelanggarnya anak-anak, kelompok adat akan menghukum dengan pukulan rotan sebanyak lima kali. “Hukuman itu ada maknanya,” kata Eliza. Lima hantaman rotan menandakan anak harus memikul tanggung jawab dari lima soa atau marga besar di Negeri Haruku.

Pelonggaran sasi lompa terakhir kali terjadi pada Oktober 2023. Hampir semua warga Negeri Haruku waktu itu ikut merayakannya. Salah satunya Tuty Ririmasse. Tuty menuturkan, pada malam sebelum sasi dilonggarkan, masyarakat menggelar upacara panas sasi.

Dalam ritual itu, masyarakat membakar daun kelapa untuk memanggil lompa agar masuk ke muara sungai. “Setiap malam kami membakar daun kelapa dengan harapan banyak ikan yang datang,” kata perempuan 54 tahun itu.

Tuty juga menyaksikan peserta sasi lompa melantunkan tembang. Tatkala air surut, tifa atau gendang kecil ditabuh satu kali sebagai tanda bagi peserta sasi agar bersiap menuju sungai. Pada pukulan tifa kedua, masyarakat diminta merapat ke muara. Pukulan tifa ketiga adalah sinyal bagi masyarakat bahwa tokoh adat dan pendeta sudah berada di kali sekaligus meminta warga Negeri Haruku mengambil posisi menangkap ikan di tepi sungai.

Menurut Tuty, tokoh adat dan pendeta yang berhak menebar jala pertama kali ke sungai. Setelah itu, baru masyarakat diizinkan menangkap lompa. “Kami merayakan sasi sebagai pesta sehingga makanan berlimpah-limpah waktu itu,” ujarnya.

Eliza Kissya mengatakan hasil tangkapan ikan saat pelonggaran sasi tak boleh dijual. Mereka justru diwajibkan berbagi ke komunitas masing-masing. “Tradisi adat kami menetapkan bahwa setiap warga yang memanen lompa wajib menyisihkan tangkapan lompa kepada orang lanjut usia, janda, dan yatim piatu,” tuturnya.

Tradisi sasi tak hanya berlangsung di Negeri Haruku. Adat serupa dilaksanakan di Negeri Morela, juga di Kabupaten Maluku Tengah. Sebelum sasi berjalan, warga setempat pernah memakai bom dan racun ikan untuk mengeruk hasil laut. “Setelah sasi diterapkan, tak ada lagi praktik semacam itu,” kata Fauzi Latukau di Morela pada Ahad, 10 November 2024.

Model sasi di Negeri Morela agak berbeda dengan di Negeri Haruku. Di Morela, tradisi sasi memakai model lelang. Caranya, warga setempat boleh mengajukan kawasan tertentu yang akan diterapkan sasi. Jika pengajuan itu disetujui, warga tersebut bertanggung jawab mengawasi praktik penangkapan ikan ilegal.

Fauzi pernah mengajukan tawaran untuk mengelola sasi di kawasan laut. Ia geram melihat orang-orang di sekitarnya menangkap ikan dengan bom dan racun. “Saya mengeluarkan Rp 5 juta untuk mendapat pengelolaan sasi,” kata Fauzi, yang sehari-hari menjadi guru agama Islam. Duit itu masuk ke kas Negeri Morela.

Mendapat hak mengelola sasi, Fauzi bertugas mengawasi penangkapan ikan di wilayah tertentu. Berbeda dengan sasi lompa di Negeri Haruku, Fauzi membolehkan orang menangkap ikan secara terbatas. Meski begitu, cara ilegal, seperti memakai bom dan racun, sesekali masih ditemukan. Menurut Fauzi, pencuri ikan itu biasanya beraksi pada malam hari ketika ia dan timnya lengah.

Fauzi dan pengurus adat Negeri Morela juga punya sanksi bagi pelanggar aturan sasi. Orang yang tertangkap menggunakan bom ikan akan dibawa ke kantor pemerintah Negeri Morela dan dihadapkan kepada tetua adat. Mereka kemudian diminta membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya. “Masyarakat menjadi peduli pada aturan main sasi,” kata Fauzi.

Negeri Rutong di Kecamatan Leitimur Selatan, Ambon, tak ketinggalan menerapkan tradisi sasi. Menurut Bobi Makatita, seorang tuan tanah—marga pertama yang mendiami wilayah itu—sasi baru dilonggarkan pada April 2024. “Kami boleh menangkap ikan karena tak termasuk hasil laut yang dilarang saat sasi ditutup,” ucapnya.

Menurut Bobi, salah satu tanda pelonggaran sasi di Negeri Rutong ialah bendera yang diikat tali. Namun, ketika sasi ditutup, warga langsung dilarang menangkap keong lola (Trochus niloticus), teripang (Holothuria atra), dan lobster. Tiga spesies biota laut itu merupakan tangkapan paling potensial di sekitar wilayah Negeri Rutong. “Pemerintah negeri yang mengatur semua dan ada denda Rp 500 juta bagi yang nekat melanggar,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Jala Ina, Muhammad Yusuf Sangadji, mengatakan tradisi sasi bukan sekadar larangan untuk mengeksploitasi kekayaan laut secara berlebihan. Jala Ina merupakan organisasi yang berfokus melestarikan kawasan laut di Maluku. Menurut Yusuf, masyarakat di Maluku menerapkan sasi sebagai ikhtiar untuk menjaga kelestarian lingkungan. “Tradisi itu merupakan cara masyarakat adat menghargai relasi dengan alam,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.

Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus