Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Utang itu Tak Akan Lunas?

Dana BLBI yang dikucurkan pemerintah senilai Rp 164,5 triliun mustahil kembali utuh. Bagaimana menuntut tanggung jawab para penerimanya?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sebagian bankir yang menikmatinya, BLBI mungkin seperti ”berkah” yang bisa dimanfaatkan pada saat krisis. Bagi rakyat kebanyakan? Melihat uangnya saja tidak, tapi mereka harus membayar utang akibat penyalahgunaan BLBI. Seperti tercermin dalam APBN 1999/2000, rakyat dibebani pembayaran bunga obligasi Rp 17 triliun—yang sebagian di antaranya untuk membayar BLBI.

Sebagai akibat program penjaminan dana deposan, pemerintah kini berutang ke BI sekitar Rp 164,5 triliun. Untuk membayarnya, pemerintah hanya punya sejumlah aset yang diserahkan beberapa bank penerima BLBI. Dalam perjanjian settlement (master of settlement and acquisition) yang diteken pada September 1998, para bankir memang menyerahkan asetnya senilai kewajibannya. Menurut perjanjian itu, jika setelah dihitung oleh auditor independen aset mereka tidak cukup, mereka wajib menyerahkan aset tambahan.

Ada pemilik tujuh bank yang meneken perjanjian tersebut, masing-masing Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Usman Admadjaja (Danamon), Kaharudin Ongko dan Bob Hasan (BUN), Samadikun Hartono (Modern), dan Sudwikatmono (Surya dan Subentra). Salim menyerahkan 102 perusahaan, yang waktu itu ditaksir senilai Rp 53 triliun, untuk membayar utangnya sebesar Rp 47,75 triliun, sementara Sjamsul Nursalim membayar tunai Rp 1 triliun dan menyerahkan 12 perusahaan seharga Rp 27,4 triliun (selengkapnya, lihat tabel). Selain mereka, empat pemilik bank belum meneken perjanjian settlement sampai sekarang, di antaranya Hashim Djojohadikusumo.

Beres? Sama sekali tidak. Sejauh ini, menurut Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Cacuk Sudarijanto, aset yang telah terjual baru sekitar Rp 3,66 triliun atau hanya 3,8 persen dari total aset yang mereka serahkan.

Menjual aset pada saat perekonomian sedang lesu darah memang bukan perkara mudah. Selain itu, kondisi politik Indonesia yang tidak stabil selama pemerintahan Habibie juga membuat banyak investor asing tak mau masuk ke Indonesia. Setelah pemerintahan Abdurrahman Wahid terbentuk, penjualan aset ternyata tetap saja tersendat-sendat. Menurut bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier, meski sah dan didukung rakyat, banyak kebijakan pemerintah yang masih simpang-siur. Hal itu membuat banyak investor asing jeri dan bersikap menunggu. ”Sebagian malah sudah beralih ke Taiwan dan Malaysia,” kata Fuad.

Faktor lainnya adalah kondisi aset yang memang tidak layak jual. Misalnya, aset-aset properti. Berdasarkan paparan BPPN, sebagian besar aset properti masih berupa tanah. Bangunan? Sebagian baru sekadar konsep di atas kertas, contohnya salah satu aset yang diserahkan Usman: Kota Casablanca, Kuningan. Pembangunan superblok di atas lahan 9,5 hektare ini baru 16,23 persen. Tapi, oleh Danamon, ia dinilai US$ 242,85 juta dengan harga tanah US$ 2.561 per meter persegi. ”Itu harga 1997. Kalau sekarang, nilainya paling cuma US$ 900 per meter persegi,” kata pengamat properti Panangian Simanungkalit. Berarti, nilai aset Kota Casablanca sekarang cuma sepertiga dari yang dilaporkan ke BPPN.

Di luar itu, banyak juga aset yang nilainya digelembungkan sehingga seolah-olah merupakan aset bernilai sangat tinggi. Dipasena salah satunya. Perusahaan tambak udang ini diserahkan Sjamsul Nursalim dengan taksiran nilai Rp 20 triliun. Tapi, berapa nilai yang sebenarnya? Menurut seorang pejabat tinggi pemerintah, nilainya tak lebih dari 10 persennya alias cuma Rp 2 triliun. Bahkan, Cacuk menyebut tambak udang yang oleh pemiliknya disebut-sebut bisa menghasilkan devisa sampai US$ 600 juta per tahun ini tak lebih dari kumpulan kolam air.

Tak cuma Dipasena yang bermasalah, tapi juga banyak aset lainnya. Bahkan, Salim, yang dinilai paling kooperatif, pun ternyata juga menyodorkan aset yang nilainya diklaim kelewat mahal. Menurut analis perusahaan sekuritas asing, aset Salim, yang dinilai sekitar Rp 53 triliun, jika dihitung ulang nilainya tak bakal lebih dari Rp 40 triliun. Kok bisa? Ada dua kemungkinan: dulu dihitung ketika kurs rupiah sedang anjlok, atau nilainya sengaja digelembungkan.

Praktek penggelembungan aset selama ini sering dilakukan perusahaan manufaktur yang banyak memakai kredit ekspor. Namun, perusahaan properti pun tak alergi untuk melakukan perbuatan serupa. Menurut Kepala Biro Hukum BPPN, Pandu Djajanto, banyak bankir yang memasukkan aset properti dengan nilai yang jauh lebih tinggi dari harga pasarnya. Contohnya, aset tanah milik Bank Deka di Telukgong, Tangerang. Menurut pemiliknya, Dewanto Kurniawan, harga tanah di sana mencapai Rp 1 juta per meter persegi, padahal harga dasar pajaknya tak lebih Rp 360 ribu.

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, mengamini kondisi nilai aset yang jeblok itu. Menurut dia, rata-rata aset yang mereka serahkan ke pemerintah nilainya tak lebih dari 30 persen. Bagaimana itu bisa terjadi? ”Ya, mark-up,” kata Kwik. Dia sempat menanyakan ke perusahaan investasi Lehman Brothers soal jebloknya nilai aset para konglomerat. Menurut Lehman, yang mengaudit aset mereka, mesin-mesin itu dibeli secara bertingkat melalui perusahaan jadi-jadian (paper company) yang kebanyakan di Hong Kong. Perusahaan itu sebetulnya milik para bankir yang sekaligus juga pemilik perusahaan manufaktur yang meminta kredit. Nah, perusahaan jadi-jadian itu kemudian bertindak sebagai pemasok mesin, dan dengan cara ini bank bisa mengucurkan kredit lebih besar dari seharusnya. ”Setelah dicek, harganya hanya 30-40 persen dari kredit yang mereka peroleh dari banknya sendiri,” kata Kwik.

Kalau begini kejadiannya, mungkinkah duit pemerintah bisa kembali seluruhnya? Hampir pasti tidak. BPPN memperhitungkan tingkat pengembalian kewajiban para bankir sekitar 58 persen. Tapi, kata Fuad, yang membandingkannya dengan kasus-kasus sejenis di banyak negara, 30 persen saja bisa kembali sudah bagus. ”Bayangkan saja, tak jelas ke mana uang hampir Rp 115 triliun itu pergi,” ujar Fuad. Kwik juga mengatakan hal yang sama: ”Kalau harga mesinnya memang cuma 30 persen, kita mau jual berapa?”

Lebih runyam lagi, penjualan aset juga masih dipersulit oleh para pemiliknya. Berdasarkan perjanjian antara para bankir dan BPPN, mereka memang masih jadi pemegang saham perusahaan yang diserahkan ke BPPN, sedangkan BPPN adalah pihak yang mempunyai seluruh hak pemegang saham. Karena itu, mereka masih punya gigi untuk menggagalkan penjualan asetnya. Seorang pejabat tinggi pemerintah sempat berang gara-gara Sjamsul memblokir niat Pirelli (Italia) membeli saham Gajah Tunggal Tbk. ”Ini kan tidak masuk akal,” katanya.

Para bankir sendiri merasa tanggung jawab membayar kewajiban itu sudah selesai dengan menyerahkan perusahaannya ke BPPN. Direktur Umum Dipasena, Yuliani Gozali, mengatakan bahwa semua tanggung jawab Gajah Tunggal sudah selesai begitu perusahaannya menyerahkan asetnya ke BPPN. Salim, seperti diceritakan seorang analis, kabarnya juga bersikap sama. Bahkan, Anthony sudah berancang-ancang mau membeli kembali BCA. ”Insya Allah, kami akan membeli BCA jika modalnya cukup,” katanya seusai diperiksa Panja DPR RI pada pertengahan bulan lalu.

Bagaimana bila penjualan asetnya ternyata tidak menutup utang yang digali para bakir itu? Menurut Pandu, mereka harus menutupnya dengan aset yang lain atau harus melunasinya dengan kekayaan pribadinya. Apalagi, Menteri Kwik sudah sering menyebut-nyebut aset atau kekayaan para bankir itu di luar negeri. Dalam sebuah seminar di Singapura, Kwik secara terus terang pernah mengatakan, kekayaan para konglomerat yang diparkir di luar negeri sebagian besar berasal dari BLBI. Artinya, sebenarnya mereka masih cukup kaya untuk membayar utangnya tersebut.

Entah sudah terputus urat malunya atau apa, nyatanya memang tidak mudah memaksa para konglomerat membayar utangnya. Penyelesaian di jalur hukum pun tampaknya tak membuat mereka jeri. Toh, itu bukan salah mereka juga. Pengalaman memberi pelajaran: hukum di negeri ini memang tak bergigi—boro-boro bisa mengembalikan uang yang telanjur dijarah.

Bank Indonesia pada 1997-1998 pernah melaporkan kasus pelanggaran perbankan yang dilakukan 36 bank kepada polisi. Dari kasus sebanyak itu, ternyata cuma empat bank yang sampai ke meja hakim dan diputus: Bank Anrico, Citra, Dwipa, dan Pinaesaan. Sudah begitu, hukumannya sangat ringan, paling tinggi cuma enam bulan kurungan. Padahal, jika mengikuti Undang-Undang Perbankan, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) saja minimum dihukum 6 tahun. Dan jika memalsukan pembukuan, hukumannya bisa 15 tahun. Sementara itu, beberapa kasus besar malah tenggelam tak jelas rimbanya. Lihat saja kasus Bank Pasifik yang melibatkan Endang Utari Mokodompit, putri Ibnu Sutowo, yang sampai kini tak juga masuk ke pengadilan.

Karena selalu mentok, beberapa orang memunculkan gagasan untuk menghidupkan kembali lembaga penyanderaan (gijzeling). Dengan cara ini, para bankir itu disandera di penjara sampai ia bisa melunasi utangnya. Cara ini sebenarnya diatur dalam hukum acara perdata warisan Belanda. Namun, oleh Mahkamah Agung, penyanderaan dihentikan karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Tapi, kata pengamat hukum Todung Mulya Lubis, cara ini bisa dipakai. ”Kalau jalan hukum memang sudah mengalami deadlock, ya, cara ini patut dicoba,” katanya. Mahkamah Agung sendiri tampaknya juga cukup tanggap. ”Kami bersama DPR sedang mencoba mencari jalan untuk menghidupkan kembali lembaga penyanderaan,” kata Sekjen MA, Pranowo.

Utang Beberapa Bank Penerima BLBI

BankNilai UtangPemilikKeterangan
BCARp 47,75 triliunLiem Sioe LiongSudah settlement
BDNI Rp28,41 triliunSjamsul NursalimSudah settlement dan yang Rp 1 triliun dibayar tunai.
Aset kini dinilai kurang.
BUNRp 6,16 triliunBob HasanSudah settlement
BUNRp 7,84 triliunKaharudin OngkoSudah settlement
DanamonRp 12,32 triliunUsman AdmadjajaSudah settlement, tapi aset kini dinilai masih belum menutup utangnya
Bank Surya SubentraRp 1,89 triliunSudwikatmonoSudah settlement
Bank ModernRp 2,49 triliunSamadikun HartonoSudah settlement, tapi aset kini dinilai masih belum menutup utangnya
Bank PelitaRp 2,59 triliunHashim DjojohadikusumoBelum settlement, akan diajukan ke pengadilan jika menolak valuasi aset
Bank IstismaratRp 539 miliarHashim DjojohadikusumoBelum settlement, akan diajukan ke pengadilan jika menolak valuasi aset
Bank DekaRp 206 miliarDewanto KurniawanSedang valuasi aset
Bank CentrisRp 735 miliarAndre Teja Dharma,Sedang valuasi aset dan Kem Kem A.
Bank HokindoRp 347 miliarHokiartoDiajukan ke polisi, kasus tak jelas

Sumber: BPPN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus