Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bandelnya Parasit Malaria

Obat antimalaria banyak yang tidak efektif lagi untuk mengobati malaria. Mutasi gen menyebabkan parasit menjadi kebal.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALARIA adalah ancaman serius. Tidak hanya di negara tropis seperti Indonesia, di belahan dunia lain pun penyakit yang disebarkan nyamuk Anopheles betina itu banyak meminta korban. Menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun ada sekitar 120 juta kasus klinis malaria, dan 2,5 juta orang meninggal karenanya. Di negara yang punya penduduk lebih dari 200 juta ini, prevalensi malaria paling tinggi ditemukan di luar Jawa-Bali, sekitar 5 persen.

Malaria memang termasuk penyakit yang tak mudah ditaklukkan. Infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum—salah satu parasit penyebab malaria—bisa berakibat fatal bila tak ditangani secara ketat. Penyebabnya? Parasit itu sudah kebal terhadap obat-obatan antimalaria. Karena itu, kalau penanganannya tidak cepat, nyawa adalah taruhannya. Selain itu, dari Irian dilaporkan adanya strain parasit lain penyebab malaria, P. vifax, yang juga resistan terhadap obat antimalaria.

Ironisnya, semakin bandel parasit, semakin enggan pula industri farmasi menanamkan investasi untuk penelitian dan penemuan obat antimalaria baru. Untunglah beberapa peneliti tidak terjebak di jalan buntu. Mereka tak kurang akal untuk menghadapi kebandelan parasit penyebab malaria. "Daripada membuang uang untuk membuat obat baru, yang lebih utama adalah mencari dan mengembangkan pengetahuan dasar mengenai bagaimana mekanisme resistan itu muncul. Dengan begitu, kita jadi lebih pintar daripada parasitnya," kata Dr. Alan Cowman, peneliti malaria dari The Walter Eliza Hall Institute, Australia. Cowman adalah peneliti yang berhasil menyibak mekanisme molekuler resistansi obat pada P. falciparum.

Pendekatan baru untuk melawan malaria itu, pekan lalu, dibicarakan dalam simposium internasional di Jakarta yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Biologi Molekuler Eijkman. Penyelenggaraan seminar itu tak lepas dari pengucuran dana dari AusAid untuk program yang diberi nama Australia-Indonesia Medical Research Initiative (AIMRI). Program selama tiga tahun itu menyokong kerja sama penelitian antara Lembaga Eijkman, Jakarta, dan The Walter Eliza Hall Institute serta Universitas Monash, Australia.

Resistansi terhadap obat antimalaria saat ini memang telah sampai pada tahap merisaukan. "Resistansi terhadap kombinasi obat antimalaria telah meluas di dunia," kata Cowman kepada TEMPO. Menurut dia, resistansi itu berkaitan dengan adanya kampanye antimalaria pada 1960-an. Pada waktu itu, obat klorokuin dimasukkan ke dalam garam dapur. Karena dosis klorokuin yang tidak pas—maklum, dosis dalam garam dapur memang rendah—obat menjadi tidak cukup kuat melawan terjangan malaria. Alih-alih mati, parasit justru seperti mendapat "vitamin" dan menjadi kebal terhadap obat antimalaria. "Waktu itu, orang belum berpikir bahwa hal itu bisa menyebabkan terjadinya resistansi," katanya.

Peneliti dari Eijkman, Dr. dr. Din Safruddin, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, juga mengonfirmasikan hal itu. "Dulu, di Irianjaya juga pernah dilakukan kampanye antimalaria dengan mengombinasikan klorokuin ke garam dapur. Pemikirannya, itu kan memudahkan pencegahan malaria. Maklum, kalau orang makan garam, sekaligus di situ dia makan obat. Soal resistansi saat itu belum terpikirkan," katanya.

Dugaan yang muncul, resistansi itu berhubungan dengan mutasi genetis dalam tubuh parasit. Untuk membuktikannya, sejak 1988, Cowman meneliti hubungan antara mutasi genetis dan resistansi terhadap klorokuin. Sepuluh tahun kemudian, baru Cowman menemukan bahwa mutasi dalam gen—yang disebut pfmdr1—beperan besar dalam resistansi terhadap klorokuin. Mutasi itu, katanya, menyebabkan klorokuin tak bisa terkumpul di dalam jaringan parasit, sehingga kerja obat menjadi tidak efektif. Tanpa gangguan berarti plasmodium bisa mengonsumsi sel darah sehingga pasokan darah ke berbagai organ vital terganggu.

Penelitian di sejumlah tempat endemik malaria di Indonesia yang dilakukan Din dan kawan-kawan (1999-2000) ternyata mendukung penemuan Cowman. Di daerah seperti Lampung, Nias, dan Kalimantan Timur, 100 persen dari parasit malarianya mempunyai mutasi pada gen pfmdr1. Begitu pula di Sulawesi Selatan (62 persen) dan Sulawesi Utara (89 persen). Yang menarik, di Irianjaya, frekuensi mutasi parasit malarianya justru hanya 26,6 persen. "Waktu itu, kami berpikir bahwa hal itu terjadi karena orang Irian tidak makan klorokuin sewaktu menderita malaria. Dengan begitu, mutasi parasitnya jadi kecil," kata Din.

Penelitian semacam itu ternyata juga akan dilakukan Eijkman dan Departemen Kesehatan di beberapa daerah lain di Indonesia. Dengan begitu, setidaknya para dokter bisa tahu obat-obat apa yang sudah tidak punya gigi lagi untuk melawan malaria. Jadi, mungkin bisa dilawan dengan obat lain.

Selama ini, dalam praktek pengobatan malaria, para dokter membutuhkan observasi yang ketat selama pemberian obat. Menurut Dr. dr. Inge Sutanto, staf Bagian Parasitologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama pemberian obat, dilakukan pula pemeriksaan mikroskopis laboratorium selama 28 hari, yakni pada hari ke-3, 7, 21, dan 28. "Hal ini perlu dilakukan untuk melihat ada-tidaknya resistansi parasit terhadap obat yang digunakan," kata Inge. Bila pada observasi hari ke-3 atau ke-7 jumlah parasit masih sama atau 75 persen dari jumlah parasit pada hari pertama, obat antimalarianya akan diganti. "Mengulang atau menaikkan dosis obat yang sama tidak akan membantu. Sebab, parasit yang resistan telah mengubah mekanisme kerja obat," katanya.

Para peneliti mengakui, parasit malaria memang makhluk yang pintar, yang selalu saja bisa resistan terhadap obat-obat baru. Karena itu, untuk melawannya, para peneliti harus mengenali bagaimana parasit mempertahankan diri dari serangan obat. Seperti disarankan Cowman, manusia memang harus lebih pintar dari parasit agar makhluk supermungil itu bisa ditaklukkan sebelum sempat merajalela.

GSI, Mardiyah, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus