Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan perikanan di Indonesia cenderung berpihak pada investasi asing.
Perlu pembagian ruang bagi nelayan kecil dalam kebijakan wilayah pengelolaan perikanan.
Perlu pengembangan perikanan laut yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Muhamad Karim
Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim dan Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyentil Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Kongres Kehutanan VII 2022 di Jakarta. Ia mengatakan bahwa sektor kehutanan dan perikanan nyaris tidak memberi kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Pendapat Sri Mulyani ini perlu diperiksa karena FAO (2022) mencatat bahwa produksi perikanan laut Indonesia periode 2020 mencapai 6,43 juta ton, sedikit turun dibanding 2019 yang sebesar 6,56 juta ton. Sayangnya, sentilan Sri Mulyani tersebut tak disertai respons pembanding dari praktisi perikanan hingga perguruan tinggi. Benarkah kontribusi sektor perikanan rendah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama satu dasawarsa terakhir, pembangunan dan politik kelautan Indonesia memang cenderung berhaluan neoliberal. Nyaris semua kebijakan dan regulasi pemerintah hingga kelembagaannya melayani kepentingan investasi asing dan perusahaan transnasional. Kita tidak anti-investasi asing, tapi jangan sampai mereka menguasai penangkapan ikan. Nyatanya, perusahaan Cina menguasai investasi perikanan di Maluku hingga 58,57 persen (BKPM, 2020).
Selain itu, kebijakan terakhir pemerintah mengundang polemik. Pemerintah berencana memberlakukan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Ini diterapkan di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Sebanyak 7 WPP untuk zona perikanan industri, 2 untuk perikanan lokal, dan 2 untuk perlindungan (fishing ground dan nursery ground). Pemerintah hendak mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor perikanan yang selama ini kontribusinya rendah terhadap PDB nasional dengan cara tersebut. Namun tak bisa dimungkiri bahwa orientasi kebijakan ini adalah industrialisasi promosi ekspor (IPE), terutama ketika pemerintah mengundang investor asing untuk mendapatkan kuota tersebut. Sempurnalah privatisasi perikanan kita.
Masalah Perikanan
Sentilan Sri Mulyani benar jika merujuk pada nilai kontribusi perikanan terhadap PDB nasional. Contohnya, pada 2021, kontribusi perikanan hanya 2,77 persen (BPS, 2021). Rendahnya kontribusi tersebut tak bisa sekadar dilihat dari penerimaan negara bukan pajak, tapi juga masalah strukturalnya.
Pertama, aktivitas kejahatan perikanan atau illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) telah menggerus sumber daya perikanan. Ini ditambah dengan kebijakan dan regulasi pemerintah yang justru memicu IUUF. Akibatnya, rata-rata PNBP sektor perikanan selama 2014-2021 hanya Rp 252,63 miliar per tahun, jauh dari target Rp 300 miliar. Targetnya mulai terlampaui sejak 2017 yang sebesar Rp 491 miliar. Capaian tertinggi terjadi pada masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang sebesar Rp 521,94 miliar pada 2019 (BPK, 2020). Kesimpulannya, biang kerok rendahnya kontribusi PNBP terhadap PDB adalah kejahatan perikanan.
Kedua, pengusaha penangkapan ikan saat ini cenderung mengeluh soal tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) industri dan PNBP. Pasalnya, kapal-kapal perikanan tuna mesti mengeluarkan biaya tambahan operasional BBM dan dikenai PNBP tinggi. Tentu kebijakan semacam ini juga berpengaruh terhadap rendahnya kontribusi perikanan. Apalagi subsidi bagi nelayan tradisional acapkali salah alamat.
Ketiga, kebijakan dan regulasi pemerintah acapkali menghasilkan perampasan laut (ocean grabbing) yang berimbas pada kehidupan 2,7 juta nelayan dan degradasi ekosistem pesisir dan laut yang mempengaruhi proses regenerasi dan kelimpahan stok sumber daya ikan di perairan. Ini ditambah dengan pelaku kejahatan perikanan yang menggunakan alat tangkap yang merusak (trawl, cantrang, dan sejenisnya), penggunaan bahan peledak, serta transshipment di tengah laut yang pasti tidak terdeteksi PNBP-nya. Contohnya, kebocoran akibat transshipment di Laut Arafura diperkirakan mencapai Rp 15,44 triliun per tahun melalui manipulasi perizinan dan lemahnya pengawasan (Agnew et al, 2009).
Keempat, maraknya perdagangan komoditas perikanan secara ilegal yang dikuasai mafia yang berkonspirasi dengan elite kekuasaan dan aparat keamanan. Terlacak bahwa ekspor ikan ke Amerika Serikat dan Jepang melalui penangkapan ilegal mencapai US$ 6,31 juta atau setara dengan Rp 88,34 miliar (Pramod et al, 2015 dan 2017). Laporan Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (USITC) pada 2021 memperkirakan impor ikan Amerika dari penangkapan IUUF di Indonesia mencapai US$ 105,5 juta, setara dengan Rp 1,47 triliun.
Perubahan Paradigma
Supaya PNBP sektor perikanan dan kontribusinya meningkat terhadap PDB nasional, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah mengubah paradigma pembangunan kelautan dan perikanan yang berhaluan neoliberal menjadi berbasis konstitusi. Di dalamnya mesti ada peran negara dalam sektor perikanan tangkap maupun budi daya melalui dukungan insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha domestik (baik BUMN maupun swasta) nelayan skala kecil dalam kelembagaan koperasi perikanan. Contohnya, insentif dalam alokasi BBM dan PNBP serta dukungan sumber energi listrik dan rantai pasok dingin yang menjamin kualitas bahan baku industri pengolahan ikan.
Kedua, pemerintah mesti berani membangun budi daya perikanan laut berteknologi tinggi yang adaptif terhadap kondisi aseanografi, sosial-budaya, dan kelembagaan masyarakat pesisir. Kita tidak bisa meniru mentah-mentah teknologi budi daya ikan lepas pantai ala Norwegia, yang sempat dipraktikkan di pantai selatan Jawa dan nyatanya gagal total. Semestinya teknologi diterapkan untuk mentransformasi budaya masyarakat pesisir dalam penangkapan ikan. Misalnya model kapal bagan untuk menangkap ikan direkonstruksi sebagai teknologi pembudi daya ikan lepas pantai dengan sentuhan teknologi mutakhir.
Kita bisa belajar dari teknologi yang dikembangkan SalMar ASA di Norwegia yang bekerja sama dengan Cina. Mereka membangun instalasi budi daya ikan berskala raksasa yang mampu berproduksi sepanjang tahun yang dinamakan Ocean Fish Farm. Indonesia bisa menerapkan teknologi budi daya laut serupa, tapi meniru prinsip kapal bagan untuk pembesaran ikan tuna atau jenis lainnya supaya penangkapan di laut bisa efisien, inovatif, dan berkelanjutan. Umpamanya, WPP yang terindikasi kelebihan eksploitasi amat mungkin ditutup dalam jangka waktu tertentu supaya terjadi regenerasi dan perbaikan stok ikan.
Ketiga, penangkapan ikan di WPP perairan teritorial hanya diperuntukkan bagi nelayan skala kecil atau tradisional. Adapun perikanan komersial bergerak di ocean fish farm dan perairan di zona ekonomi eksklusif sepanjang stoknya melimpah. Tentu hal ini membutuhkan dukungan berbagai pihak, dari perbankan, lembaga penjamin investasi, regulasi yang adil (kebijakan fiskal dan moneter afirmatif), keamanan, sampai politik negara untuk pemberantasan kejahatan hingga mafia perikanan.
Bisa saja pelakunya adalah BUMN yang berkolaborasi dengan koperasi atau swasta nasional lewat proporsi kepemilikan saham. Masak membangun jalan tol dan ibu kota negara baru bisa dilakukan tapi pengembangan perikanan laut berkelanjutan untuk pasokan pangan protein ikan dan industri pengolahan tak bisa? Pemerintah harus berani membongkar cara pikir dan politik kelautan agar sejalan dengan amanat konstitusi.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo