Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cadangan devisa Bank Indonesia belakangan menyusut signifikan.
Penyusutan ini dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.
BI semestinya menyasar kembali ke sumbernya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Haryo Kuncoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah cadangan devisa Bank Indonesia dalam empat bulan terakhir menyusut signifikan. Posisi cadangan devisa pada Oktober 2023, misalnya, turun menjadi US$ 133,1 miliar dari US$ 134,9 miliar pada bulan sebelumnya. Ini posisi terendah sepanjang tahun berjalan.
Penipisan posisi cadangan devisa itu dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Pembayaran utang luar negeri adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar sehingga kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah tampaknya patut dicermati.
Di satu sisi, rezim nilai tukar fleksibel tidak mewajibkan BI mengintervensi. Nilai tukar sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Nilai tukar rupiah pada akhir Juli menyentuh 15 ribu per dolar Amerika Serikat. Sejak saat itu, kurs rupiah terus melemah, bahkan hampir menembus 16 ribu per dolar Amerika.
Di sisi lain, transaksi ekonomi luar negeri masih bertumpu pada dolar AS. Mengandalkan pasokan dari pemilik devisa hasil ekspor dan investasi portofolio asing belum mencukupi. Jelasnya, intervensi BI di pasar valuta asing diperlukan untuk menambah pasokan demi mengimbangi tren permintaan.
Nilai tukar rupiah yang stabil memudahkan pelaku ekonomi membuat keputusan bisnisnya. Persoalannya, sampai seberapa besar intervensi akan terus berlangsung? Perputaran valas di pasar spot mencapai US$ 2-3 miliar per hari. Jika BI agresif, cadangan devisa akan habis dalam tempo sekejap.
Kalaupun cadangan devisa milik BI masih memadai, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Efektivitas intervensi pasar juga perlu dipertimbangkan. Krisis moneter pada 1997/1998 memberi pelajaran berharga bahwa semakin gencar BI mengintervensi pasar, semakin tinggi pula tensi pembelian valas.
Masih mending jika tingginya permintaan valas ini digunakan untuk mengimpor bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan bagi aktivitas produksi. Sangat ironis jika pembelian valas itu dimaksudkan untuk spekulasi. Spekulan nimbrung “mengail ikan di air keruh” untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Walhasil, intervensi valas dalam jumlah besar hanya mampu meredam volatilitas nilai tukar rupiah. Adapun level nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika secara absolut terus membesar. Data yang disajikan di atas sudah dengan sendirinya memberikan bukti yang sahih atas dugaan tersebut.
Bagaimanapun, cadangan devisa adalah salah satu indikator utama ekonomi makro. Kuantitas cadangan devisa yang material niscaya memberikan rasa percaya diri terhadap potensi gejolak kurs. Sementara itu, fluktuasi nilai tukar yang diredam dengan intervensi BI berisiko menggerus kembali posisi cadangan devisa.
Dengan skema masalah “ayam dan telur” ini, BI tampaknya perlu mengubah strategi intervensi demi mencapai keseimbangan optimal antara kecukupan cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah. Standar kecukupan yang disarankan Dana Moneter Internasional (IMF), yakni tiga bulan impor, agaknya perlu direvisi untuk kasus Indonesia.
Memelihara cadangan devisa ekuivalen enam bulan impor barangkali lebih aman lantaran neraca berjalan defisit kronis. Ambang batas itu juga bisa mengakomodasi dinamika neraca modal. Aliran masuk devisa dari penanaman modal asing toh membutuhkan waktu lebih panjang daripada investasi portofolio di neraca finansial.
Untuk misi stabilisasi nilai tukar rupiah, BI semestinya menyasar kembali ke sumbernya. Tensi meningkatnya permintaan dan seretnya pasokan di pasar valas sejatinya berawal dari persoalan psikologis. Komunikasi kebijakan nilai tukar yang mengedepankan edukasi pasar niscaya akan meredam pembelian panik yang tidak perlu.
Dari sisi pasokan, BI senantiasa harus hadir di pasar sehingga membuat eksportir tidak nyaman menahan valasnya berlama-lama. Kehadiran BI juga menjamin eksportir tidak merugi tatkala harus menjual valasnya di level tertentu. Resultan dari perilaku permintaan dan pasokan tersebut akan meredam dinamika nilai tukar rupiah.
Telaah lebih jauh atas efektivitas intervensi BI terhadap nilai tukar rupiah, sayangnya, sulit dilakukan. Berapa nilai dan kapan intervensi dieksekusi BI sangat rahasia. Publik hanya bisa mengamati semata-mata dari data agregat, yakni perubahan stok cadangan devisa, alih-alih dari data yang lebih detail.
Apakah memilih intervensi terbuka atau tertutup, fungsi stabilisasi nilai tukar rupiah yang diemban BI akan terlaksana jika terukur. Sebaliknya, tanpa menyasar sumbernya, intervensi itu bagaikan membakar valas yang menguras “bensin” cadangan devisa, sedangkan “asap” nilai tukar rupiah tetap laju membubung.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo