Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Antigon

Dewa-dewa membuat hukum yang tak perlu karena mereka tak mengenal kefanaan. Seorang raja di bumi membuat hukum, meskipun tidak bagus, sebab ia manusia—ia harus menjaga hidup yang serba mungkin.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Antigon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“BIARLAH aku yang menguburnya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dan di malam gelap Kota Thebes itu, Antigon memutuskan berangkat ke tempat jenazah kakaknya telantar. Ia bertekad memakamkan Polineikes, meskipun kerajaan telah mengeluarkan larangan, meskipun Raja Kreon menganggap Polineikes tewas sebagai pemberontak dan sebab itu jasad pangeran itu harus dibiarkan tergeletak agar dimangsa anjing pemakan bangkai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Biarlah aku yang menguburnya”: empat patah kata itu deklarasi pembangkangan. Antigon menentang ketentuan raja. Ia melawan hukum kerajaan Thebes.

Dari sini tragedi mulai.

Menjelang fajar itu, Ismene mencoba membujuk kakaknya untuk tak gegabah. Si adik ini memang dikenal paling bijaksana di antara empat putra-putri mendiang Baginda Oedipus.

“Hukum itu kuat sekali, Antigon. Aku memohon maaf kepada yang mati, tapi aku tak berdaya melanggar hukum yang dibuat untuk kepentingan umum.”

Antigon tahu itu, tapi ia bersikeras. “Ismene, kau bijaksana. Tapi kadang-kadang kebijaksanaanmu adalah kata lain dari ketakutan.” Lalu ia melangkah memasuki gelap.

Ismene mengikutinya ke luar. Di depan gerbang, Antigon berhenti, merangkul bahu adiknya dan berbisik: “Kau tak perlu ikut. Kembalilah. Kau tahu apa hukuman Kreon atas pelanggaran ini. Kau harus tetap hidup.”

“Aku tak akan bilang kepada siapa pun.”

“Tidak. Jangan takut kau katakan apa yang aku lakukan.”

Ismene tak paham, tapi ia tak membantah.

Esok paginya komandan pasukan penjaga dengan gemetar melapor kepada Raja Kreon bahwa mayat pemimpin pemberontakan ternyata telah dikuburkan orang. Memang, tak sepenuhnya dikuburkan, hanya ditutupi tanah dan debu, tapi Polineikes tak lagi tergeletak sebagai bangkai. Ia mayat; ia telah dibersihkan dengan khidmat.

Kreon murka. Apalagi ketika ia tahu yang melanggar larangannya Antigon, kemenakannya sendiri. Ia dipaksa memilih keputusan yang sulit....

Para pembaca yang budiman, cerita ini mengikuti lakon yang ditulis Sophokles di zaman Yunani Kuno, mungkin 450 tahun Sebelum Masehi, mungkin lebih tua lagi. Adaptasi saya ini tentu dengan perubahan (tak ada tragedi yang begitu kuat bisa diulangi). Cerita ini mengakhiri seri cerita Oedipus yang termasyhur ke seluruh dunia, berabad-abad.

Di awal, kita ingat, adalah cerita sedih ketika Oedipus menjadi Raja Thebes dan terungkap dosa besar yang dilakukannya meskipun tak disadarinya. Kita ingat ia dengan rela turun takhta, menusuk matanya sendiri, dan meninggalkan negeri.

Di bagian berikutnya cerita ketika bekas raja yang buta itu berjalan terlunta-lunta dari tempat ke tempat di luar Thebes. Akhirnya ia meninggal di Kolonnus, hanya ditemani Ismene dan Antigone.

Dua putra Oedipus, Polineikes dan Eteokles, kakak kandung kedua anak perempuan itu, seharusnya mewarisi takhta dan memerintah Thebes bersama-sama. Tapi kekuasaan di puncak tak gampang dibagi. Ketika giliran Eteokles memerintah, ia usir kakak kandungnya.

Menyingkir ke luar negeri, Polineikes meminta bantuan Raja Adrastus untuk menyerang Thebes dan memulihkan haknya menjadi raja. Adrastus mendukungnya. Ia mengerahkan tentara dan tujuh panglimanya menyerang ketujuh gerbang Thebes. Tapi, sebagaimana dikisahkan Aeschylus dalam Tujuh Melawan Thebes, semuanya kalah. Di bawah komando Kreon, adik ipar raja, tentara Thebes mempertahankan kota mereka dengan gigih.

Sementara itu, di celah-celah pertempuran, Polineikes dan Eteokles saling membunuh. Keturunan Oedipus yang berhak naik takhta pun punah.

Kreon mengambil alih kekuasaan. Dekritnya pertama: menguburkan jenazah Eteokles dengan upacara kebesaran militer, dan membiarkan bangkai Polineikes telantar.

“Dekrit itu hukum kerajaan, Antigon. Kamu berani menentang itu?” kata Kreon ketika kemenakannya, si pelanggar hukum, dihadapkan kepadanya.

“Dekrit itu tak datang dari dewa-dewa. Bukan ketentuan yang kekal,” jawab Antigon.

Pembangkangan Antigon—dan ia siap mati untuk itu—adalah perlawanan dengan keyakinan bahwa ada prinsip yang lebih mendasar.

Tapi soal dewa-dewa, siapa pun mereka, terlalu membingungkan buat Antigon, remaja umur 15 tahun—dan terlalu menjengkelkan buat Kreon, raja yang letih baru selesai berperang.

Sebenarnya Kreon bisa menjelaskan, bahwa ia, seorang pemimpin di bumi, berbeda dengan dewa-dewa yang hidup di kahyangan yang tak pernah genting. Tak punya kemewahan dewa, seorang raja di Thebes harus merawat negerinya sepanjang waktu. Ia harus melawan nasib dengan hukum dan kekuasaan—dan tak jarang harus brutal. Dewa-dewa membuat hukum yang tak perlu karena mereka tak mengenal kefanaan. Seorang raja di bumi membuat hukum, meskipun tidak bagus, sebab ia manusia—ia harus menjaga hidup yang serba mungkin.

Antigon tampaknya tak pernah tahu itu; ia tak pernah mengalami itu. “Dewa-dewa,” kata Antigon, “adalah sumber Keadilan.”

Benarkah?

Maaf, saya hampir lupa: dalam tragedi Yunani, ada chorós, paduan suara orang banyak di antara dialog para tokoh. Chorós adalah semacam “pihak ke-3” yang tak memihak ketika sengketa berjangkit membentuk tragedi. Chorós tak selamanya menyuarakan kearifan, tapi ia menandai satu hal: dialog dalam tragedi hanya berarti jika ada “pihak ke-3” yang mengikutinya.

Dalam cerita saya, chorós akhirnya mengarahkan pertanyaan kepada Antigon: Bagaimana tuan putri memilih hukum para dewa, jika tuan adalah bagian dari hidup Oedipus yang dijerumuskan Zeus atau entah siapa di atas sana? Bukankah para dewa juga yang menakdirkan Oedipus berdosa, meskipun tak ada niatnya ke situ?

Antigon tak menjawab. Sebelum hukuman mati dilaksanakan, ia menggantung diri.

Ismene, yang menangis di dekatnya, sebenarnya ingin mengatakan: Antigon, tuan-tuan, tak mengikuti hukum raja ataupun dewa. Ia mengikuti sesuatu yang lebih berkuasa karena bisa menggerakkan hatinya: belas kasih, empati, dorongan membela yang kalah dan terbuang di luar gerbang.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus