Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga semestinya segera disahkan untuk melindungi para pekerja rumah tangga dari eksploitasi dan ketidakadilan. Rancangan peraturan ini sudah dibahas sebagai hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2004, tapi baru masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja rumah tangga rentan dieksploitasi karena relasi kerjanya yang tertutup. Mereka bekerja dalam lingkungan di mana kebebasan tidak memadai. Mayoritas pekerja rumah tangga bekerja dengan jam kerja panjang, tidak mendapatkan libur mingguan, memperoleh upah jauh di bawah upah minimum, dan tidak diikutkan dalam program jaminan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan peraturan ini sebenarnya sudah disetujui menjadi usulan Badan Legislasi dalam rapat 1 Juli 2020. Tujuh fraksi di DPR sudah menyetujui rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang, tapi tidak diagendakan dalam Badan Musyawarah sehingga batal disahkan dalam rapat paripurna DPR.
Masuk Prolegnas Prioritas 2021, pembahasannya tidak lantas menjadi mulus. Pembahasannya terganjal sikap Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar, yang sejak semula menolak rancangan peraturan ini. Masih ada sesat pikir di antara anggota Dewan yang menganggap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka menganggap relasi antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja adalah informal sehingga tidak perlu diatur secara legal formal karena justru akan mempersulit pemberi kerja mencari pekerja rumah tangga.
Cara pandang tersebut merefleksikan bahwa Golkar dan PDIP tidak menganggap penting pekerja rumah tangga. Pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai subyek hukum. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga mungkin “tidak berbahaya” seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi juga tidak menarik bagi para politikus karena tidak menguntungkan secara ekonomi dan tidak didorong oligarki.
Selama ini, ada masalah kultur feodalisme dalam cara pandang terhadap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Pemberi kerja menganggap pekerja rumah tangga sebagai keluarga. Pandangan tersebut kemudian melahirkan asumsi bahwa pekerja rumah tangga harus mengerjakan pekerjaan sebagai anggota keluarga. Pekerja rumah tangga menjadi kelompok rentan karena adanya ketidakadilan ekonomi dan budaya patriarki. Mereka kerap ditempatkan dalam lapisan paling bawah, baik di masyarakat, pekerjaan, maupun gender. Sudah waktunya relasi kultural yang melanggengkan hubungan kerja tidak seimbang tersebut dihapuskan.
Ketiadaan peraturan membuat sebagian besar pekerja rumah tangga melakukan kesepakatan hanya dengan pemberi kerja. Sebagian besarnya bahkan membuat kesepakatan lisan. Hanya sedikit pekerja rumah tangga yang memahami pentingnya kontrak tertulis. Kondisi ini membuat pekerja rumah tangga memiliki posisi tawar rendah dan rentan dieksploitasi, ditipu, bahkan menjadi korban perdagangan manusia. Hak-hak pekerja rumah tangga sepatutnya tidak lagi tergantung pada kebaikan pemberi kerja, tapi sebagai relasi saling membutuhkan seperti profesi lain.
Jika disahkan, peraturan ini tidak hanya akan berefek pada perlindungan pekerja rumah tangga di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Selama ini, pekerja migran Indonesia banyak yang menjadi korban penganiayaan karena negara kita tidak memiliki peraturan yang dapat melindungi mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo