Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

1945

Tokoh-tokoh politik Belanda melihat Sukarno dengan pandangan yang diwarnai dendam kepada Jepang yang telah mengalahkan mereka dengan gampang di Indonesia.

12 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
1945

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Kamboja menyebutnya chhnam saun, "tahun 0". Nol: angka yang melompong, penanda ketiadaan tapi juga pembuka, ketika rezim Khmer Merah dengan brutal mencoba menghapus masa lampau Kamboja dan membasmi semua sisanya. Pada 1975-1979 itu—masa “The Killing Field”—sejuta orang dibunuh atas nama komunisme dan masa depan. Angka “0” mengisyaratkan akhir dan awal yang radikal. Sejarah sedang dipatahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Ian Buruma, itu tahun 1945. Perang Dunia II yang membunuh 75 juta manusia berakhir. Dalam Year Zero: A History of 1945, sebuah rekaman yang memukau tentang kehidupan di patahan sejarah itu, Buruma mengisahkan situasi yang remuk, yang dengan kacau merangkak ke sesuatu yang baru. Seperti ribuan bangunan megah Eropa yang hancur dihantam bom, banyak hal berharga hilang. Sementara itu penggantinya, suasana “normal” pascaperang, membawa tragedinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buruma lahir pada 1951 di Den Haag. Ia dikenal sebagai penulis nonfiksi yang dengan terampil menggabungkan data yang kaya dengan narasi yang mengasyikkan, seraya menyisipkan sebuah perspektif yang umumnya lugas, tanpa ilusi, tapi membuka mata.

Dari Buruma, orang Belanda yang dikenal sebagai “orang yang tahu Asia” (ia belajar di Universitas Leiden dan Nihon), kita sebenarnya berharap ia punya kisah tentang Indonesia, terutama ketika berbicara tentang 1945. Tapi tidak. Year Zero, yang terbit di tahun 2013, bukan rekaman dekolonisasi. Benar, ia bercerita tentang pembebasan, tapi bukan dalam bentuk sorak-sorak bergembira. Bukan juga dengan heroisme anti-Nazi Jerman, anti-fasisme Jepang, dan anti-penjajahan Eropa di Asia. Tahun 1945, dalam buku ini, adalah tahun luka-luka, kelaparan, dendam, dan kekacauan moral.

Tentang Indonesia, Buruma cuma berbicara singkat—dan itu pun terkait dengan thema Eropa: dendam. Belanda—yang di Eropa dijajah Jerman, di Indonesia dikalahkan dengan gampang oleh Jepang—menyimpan bukan saja ilusi imperialnya yang lama, tapi juga kesumat. Den Haag ingin mengklaim kembali “milik”-nya yang hilang, Indonesia—tak melihat bahwa sejarah telah patah di tahun 1945.

Buruma memandang negatif sikap pemerintah Belanda, meskipun ia melihat proklamasi kemerdekaan Indonesia disiapkan dengan “konsultasi yang akrab”, in close consultation, dengan para perwira Jepang yang masih berkuasa di Jakarta. Sebabnya mudah dijelaskan: sadar negerinya akan kalah, para perwira Jepang itu memutuskan, lebih baik mendukung sebuah Indonesia yang merdeka dan “anti-Barat” ketimbang memberi peluang hegemoni bagi musuh.

Dalam catatan Buruma, selama perang kemerdekaan yang berkecamuk ketika Belanda datang untuk merebut “Nederlands-Indie” kembali, pasukan Indonesia mendapatkan senjata dari tentara pendudukan Jepang, sebagai pemberian, hasil perampasan, atau jual-beli. Diperkirakan para pejuang Indonesia memperoleh lebih dari 50 ribu pucuk bedil, 3.000 senapan mesin, dan seratus juta kotak amunisi.

Tapi tak selamanya hubungan berlangsung dengan bersahabat. Di Semarang, kesatuan tentara Jepang di bawah Mayor Kido Shinichiro bentrok dengan para pemuda Indonesia yang menuduh Jepang menyabot persediaan air kota. Ketika sejumlah pemuda terbunuh, datang pembalasan. Lebih dari 200 orang sipil Jepang yang disekap di penjara Kota Semarang dibantai. Sebuah laporan tentara Inggris mencatat: “Sejumlah mayat digantung dari atap dan jendela, yang lain ditusuk sampai tembus dengan bambu runcing.... Beberapa orang mencoba menulis pesan terakhir mereka dengan tulisan darah di tembok-tembok....” Menghadapi itu, pasukan Jepang tak diam. “Lebih dari 2.000 orang Indonesia dibantai sebagai pembalasan....”

Berbeda halnya dengan posisi orang Belanda. Di hari-hari pertama setelah Jepang menyerah, tulis Buruma, “hanya sedikit sikap bermusuhan” terhadap mereka. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir—tokoh-tokoh yang melawan penjajahan Belanda—bukan penggerak kebencian terhadap orang Belanda. Dalam kata-kata Buruma, mereka “tak tertarik akan kekerasan revolusioner”.

Ini yang tak dimengerti Den Haag. Tokoh-tokoh politik Belanda melihat Sukarno dengan pandangan yang diwarnai—seperti saya sebut di atas—dendam kepada Jepang yang telah mengalahkan mereka dengan gampang di Indonesia. Mereka pun mencoba meyakinkan pemerintah Inggris bahwa “apa-yang-disebut-pemerintahan-Sukarno” sebanding dengan rezim Quisling yang pro-Nazi dan pemuda revolusioner Indonesia sebanding dengan “Pemuda Hitler”.

Dengan sikap Belanda seperti itu, harapan Lord Mountbatten, panglima Sekutu untuk Asia Tenggara, tak terpenuhi. Ia sebenarnya punya ide agar “pihak Belanda dan Indonesia berciuman dan jadi teman—lalu menarik diri”.

Tentu Belanda tak mau menarik diri dari koloninya yang besar ini. Konflik pun tak terelakkan. Bahkan akhirnya pasukan Inggris sendiri ikut terlibat. Dalam perang Surabaya, November 1945, perwira tingginya terbunuh, di antara puing dan jenazah ribuan pejuang dan penakluk.

Semua itu mengukuhkan pesimisme Buruma: pasca-1945, mereka yang menjanjikan kemerdekaan dan perdamaian terbukti bisa mendaur ulang kekejaman Jerman dan Jepang. Pada 1945, dendam menggerakkan pemindahan 11 juta orang berdarah Jerman yang tak bersalah dari wilayah bagian timur Austria—tanpa orang-orang ini sadar mereka harus jadi tanda balas dendam.

Walhasil, tak banyak pagi cerah pada 1945. Di lubuk Tahun Nol, dunia sudah menyimpan “Perang Dingin” antara Moskow dan Washington—perang yang sama sekali tak dingin dari benua ke benua.

Agaknya dalam sejarah manusia, sampai hari ini, yang “normal” tak berarti sama dengan “damai”.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus