Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Wahyudi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU Bayern Muenchen meraih predikat sebagai klub terhebat dalam Liga Champions Eropa dengan menundukkan Paris Saint-Germain, semboyan “Mia san Mia” kembali membahana. Ini seperti saat Liverpool menjadi pemuncak turnamen sepak bola antarklub di Eropa itu atau ketika menjuarai Liga Utama Inggris: “You’ll Never Walk Alone” mewarnai udara persepakbolaan. Tidak hanya di Eropa, tapi juga di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semboyan Liverpool yang bernuansa egaliter tersebut tidak menimbulkan masalah karena makna you mustahil taksa. Tapi berbeda halnya dengan semboyan kesebelasan Bavaria itu. Oleh Kompas, 25 Agustus 2020, serta sejumlah media cetak dan daring, filosofi itu diindonesiakan menjadi “Kita adalah Kita”, sementara media lain mengalihbahasakannya dengan “Kami adalah Kami”.
Kata mia atau wir ataupun we di sana mungkin sudah jelas pengertiannya. Namun, dalam bahasa Indonesia, “kita” dan “kami” mempunyai nuansa rasa dan makna berbeda. Dalam buku Kita dan Kami: The Basic Modes of Togetherness, Fuad Hassan menjelaskan adanya perbedaan dua kata itu dari sisi psikologis.
Dalam bahasa Indonesia, kata “kita” merupakan pronomina persona pertama jamak yang melibatkan semua orang, sedangkan “kami” merupakan pronomina yang melibatkan orang lain dalam pihaknya berhadapan dengan pihak lain. Dalam keseharian, pronomina “kita” sering bernuansa makna “saya” atau “aku”.
Itu sebabnya, sering orang menggunakan kata “kita” dalam pengertian yang tidak tepat. Sejauh dalam komunikasi lisan, pemakluman sering diberikan. Namun, jika hal seperti ini terjadi dalam komunikasi tulis atau dalam satu esai, misalnya, biasanya lahir gangguan komunikasi.
Di Manado dan Ambon, pronomina ini dikenal dengan “kitorang”, yang merupakan kependekan dari “kita orang”. Kata “kita” juga dikenal di Makassar, tapi dengan makna berbeda. Di sana, kata ini bermakna “kamu” dengan nuansa sopan. Hal ini mirip dengan kata “awak” yang dipakai orang Minangkabau dalam arti “saya”, sedangkan di Malaysia lazimnya kata “awak” dipakai dalam makna “kamu”.
Sesungguhnya, kata “awak” bagi orang Minangkabau juga bermakna “kamu”, “kita”, atau “kalian”. Kontekslah yang akan mengarahkan pemahaman kepada makna yang tepat. Kendati demikian, umumnya orang memahami “awak” sebagai “saya” atau “aku” agaknya seturut dengan istilah yang populer di masyarakat, “urang awak”.
Dalam bahasa Tagalog, pronomina “kami” juga dikenal dengan makna yang sama dengan bahasa Indonesia. Kata “kita” pun dikenal di sana, tapi dengan makna berbeda. Salah satu makna kata “kita” dalam bahasa Tagalog adalah “gaji” atau “penghasilan”.
Di Jepang, terutama di Okinawa, kata “kita” cukup populer sebagai nama dengan makna berbeda pula. Makna kata “kita” adalah “utara”, yang biasanya diberikan kepada anak perempuan.
Baik “kita” maupun “kami” mungkin masih terdapat dalam sejumlah bahasa di dunia. Kedua kata ini mudah dilafalkan oleh alat ucap manusia dari etnisitas mana pun. Hambatan pelafalan boleh dikatakan tidak ada.
Kembali pada “Mia san Mia”. Pengindonesiaannya perlu dikaitkan dengan makna yang berdampingan. Pada klub sepak bola yang identik dengan warna kebanggaan putih dan biru itu, masih terdapat falsafah lain. Misalnya dikenal ungkapan “Mia san ein Verein”, yang artinya “Kami adalah Satu Klub”, atau “Mia san Vorbilder”, yang bermakna “Kami adalah Panutan”. Oleh kenyataan ini, mia dalam konteks kesebelasan itu lebih tepat dimaknai “kami” daripada “kita”. Pasalnya, semangat yang menjiwai klub merupakan inti.
Tentu saja, “kami” di sini dalam masalah kebahasaan, bukan suatu singkatan atau akronim baru. *)
PENGAJAR DI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo