Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gamang itu padanan insecure, perasaan tidak aman.
Banjir informasi dan teknologi yang tak terbatas menciptakan kebingungan.
Politikus yang berpolitik secara tidak etis membuat ketakpastian tentang kehidupan bersama.
Limas Sutanto
Psikiater
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gamang itu padanan insecure, perasaan tidak aman. Ada lima penanda kehidupan manusia pada abad XXI yang condong menggambarkan pengkondisian pribadi yang gamang. Pertama, deraan informasi yang tidak terbatas yang menciptakan kebingungan—derita mental yang bagaikan melihat, tapi senantiasa kabur, buram, atau berkabut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, revolusi teknologi 5.0 telah memindahkan otoritas dan locus of control dari manusia ke perangkat pemanen dan pengolah data berteknologi yang kian canggih. Self atau pribadi manusiawi terancam untuk harus submissive, takluk, di hadapan kedigdayaan pengambilan keputusan oleh para penguasa teknologi dan instrumen-instrumen cerdas, seperti artificial intelligence (kecerdasan buatan) serta sensor biometrik.
Ketiga, kehidupan diserap oleh gawai dan instrumen elektronik berteknologi pintar, yang berakibat melemahnya relasi antarpribadi dan meningkatnya ketidakpastian hubungan antarmanusia. Hal ini terjadi karena hubungan makin banyak dilaksanakan di dunia maya yang tanpa tepi ketimbang dalam perjumpaan langsung yang nyata.
Keempat, penghayatan kekosongan psikis kian meningkat seiring dengan makin jarangnya perjumpaan biopsikososial secara langsung. Dalam hidup kesehariannya, manusia lebih banyak berjumpa dengan mesin, alat, atau benda yang dihadirkan untuk menjadi perantara satu orang dengan orang lain. Namun alat itu sesungguhnya secara paradoksal menjauhkan jarak antara manusia dan sesamanya sekaligus mengeksploitasi data manusia penggunanya, yang menjadi makin bergantung kepada mereka.
Kelima, sepertinya agak spesifik di Indonesia, yakni keadaan aktual di ranah yang begitu penting untuk mengelola kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama, yaitu etik dan politik, justru ditandai dengan berlakunya dalil yang sebenarnya tidak pantas tapi dianggap wajar dan boleh serta acap kali disebut “sah-sah saja”, bahwa dalam politik apa pun bisa terjadi (ini mengandung arti implisit “apa saja boleh ada”), bahwa politik itu “seni keserbamungkinan” (ini mengulum makna “boleh melakukan apa pun untuk mencapai tujuan, mewujudkan keinginan, dan memuaskan kepentingan”).
Contohnya adalah janji politikus. Seseorang bisa lantang berjanji, dari janji yang bernada heroik, seperti akan berjalan kaki ratusan kilometer, sampai janji konyol, seperti bakal bersedia digantung di muka umum jika nanti terbukti tidak menepati janjinya. Namun, bila janji itu tak dipenuhi, hal tersebut dianggap biasa saja dan tidak apa-apa hanya karena yang mengatakannya adalah politikus atau janji itu diucapkan dalam kerangka politik.
Politikus yang berpolitik secara etis seakan-akan tidak dapat diharapkan lagi. Padahal kehidupan bersama—yang disebut masyarakat, bangsa, dan negara—mendapat kepastian dalam “politikus yang berpolitik secara etis”. Tiadanya “politikus yang berpolitik secara etis” itu menyebarkan kegamangan karena munculnya ketakpastian apakah kehidupan bersama dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat mencapai tujuan-tujuan luhurnya.
Apa yang dapat dilakukan? Saya akan menyampaikan hal-hal yang mendasar saja. Hidup yang dihayati sebagai yang aman, secure, berlangsung dalam keterhubungan langsung seseorang dengan liyan atau orang lain yang melindunginya serta menampung dan mengerti perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya. Keterhubungan langsung terjadi dalam perjumpaan biopsikososial, yang sungguh-sungguh bertemu, bukan hanya berjumpa melalui mediasi oleh apa pun. Hal ini merupakan salah satu kebutuhan kemanusiaan utama, yang melampaui kebutuhan akan peralatan komunikasi, informasi, pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan.
Manusia gamang adalah insan yang tidak berada dalam naungan pelindungan, penampungan emosional dan kognitif, serta kepahaman yang diberikan oleh orang lain. Betapapun digaungkan pentingnya peralatan komunikasi, informasi, pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan, semua itu tiada artinya bagi pribadi yang gamang. Kegamangan mengurangi peluang untuk kebahagiaan.
Manusia pada abad XXI rentan untuk tidak bahagia. Hidup yang hiruk-pikuk tidak memasuki pengalaman bermakna yang memungkinkan kebahagiaan. Tiga gagasan humanisme abad XX, yakni pandangan Donald Winnicott, Wilfred Bion, dan Heinz Kohut, tampaknya kembali diperlukan. Winnicott mengetengahkan pentingnya holding environment. Liyan dan lingkungan yang jelas memberikan perlindungan bagi manusia. Individualisme terlalu keras dan utopis dalam membebankan tanggung jawab peraihan rasa aman kepada individu yang diandaikan independen. Winnicott secara realistis menegaskan bahwa kemandirian yang layak akan menyusuli masa perkembangan self, pribadi manusiawi, yang tercukupi dengan pengalaman mendapat pelindungan dari liyan.
Bion yakin bahwa dasar-dasar kehidupan yang aman ditumbuhkembangkan dengan baik oleh insan yang cukup banyak mengalami relasi dengan liyan yang menampung perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya yang penuh kekhawatiran. Hal ini kemudian mengembalikannya ke dalam wujud-wujud perasaan dan pikiran yang lebih menenangkan, menenteramkan, dan menyamankan. Liyan berperan sebagai penampung, container, dan regulator emosi, terutama di sepanjang masa perkembangan, yang akan memungkinkan peletakan dasar-dasar bagi kelanjutan kehidupan yang cukup bebas dari kegamangan.
Kohut menyadari bahwa hilangnya kegamangan berkaitan erat dengan makin banyaknya manusia yang mengalami dirinya tidak dimengerti dan diteguhkan oleh liyan. Pengalaman dipahami yang berlangsung cukup lama, yang juga berpadu dengan pengalaman diterima oleh orang lain, akan menghasilkan dasar-dasar yang memadai untuk menumbuhkembangkan diri manusiawi atau self yang koheren, pribadi yang mengalami rasa aman berkesinambungan.
Hubungan antarmanusia yang bersifat biopsikososial langsung perlu kembali digarisbawahi sebagai hal yang sungguh diperlukan untuk menghalau kegamangan manusia pada abad ini. Media dapat berperan dalam menghubungkan, tapi tidak dapat dan tak selayaknya menggantikan relasi antarmanusia yang langsung.
Melindungi serta menampung dan memahami perasaan dan pikiran manusia adalah nilai-nilai yang perlu dijunjung tinggi kembali dan diejawantahkan dalam relasi antarmanusia hari demi hari. Kehadiran teknologi yang makin canggih dan tak kenal batas memang tidak dapat dihindari. Namun, melalui keputusan politis dan etis, teknologi niscaya ditempatkan sebagai subhuman, diposisikan di bawah sang manusia, digunakan oleh “manusia-subyek” untuk mencapai dan mewujudkan kehidupan yang aman bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungannya.
Untuk itu, diperlukan politik yang dilaksanakan oleh politikus yang berpolitik secara etis. Tanpa politik yang demikian, teknologi dan penguasa teknologi akan lancar merendahkan manusia ke posisi infrahuman. Di sana manusia menjadi sangat gamang.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo