Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAUPUN pernah belajar geografi, maling pasti tak mau ambil pusing dengan data ini. Indonesia memiliki panjang pantai 81 ribu kilometer, lebih dari separuhnya rawan bencana tsunami. Mengapa rawan? Wilayah pantai itu berada pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia yang aktif menimbulkan gempa laut.
Andai suka baca koran, pencuri tak bisa diharapkan ikut prihatin terhadap akibat tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Peduli apa mereka dengan para pakar gempa berbagai negara yang memusatkan perhatian pada bencana terbesar dalam sejarah itu?
Setelah bencana tsunami itu, para ahli menemukan alat yang lebih canggih untuk memprediksi datangnya bahaya tsunami. Alat itu dinamai Tsunami Early Warning System. Ada pelampung yang disebut Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami-Easy to Deploy (DARTETD) yang ditaruh di tengah laut, yang mengirimkan sinyal jika akan ada tsunami. Dari sinyal inilah menara di darat memancarkan sirene pertanda terjadi tsunami. Tenggang waktu hanya lima menit setelah gempa bumi. Tidak setiap gempa melahirkan tsunami, karena itu jika sirene tidak meraung-raung, masyarakat tak perlu panik.
Pekan lalu, Presiden Yudhoyono meresmikan sistem operasional peringatan dini tsunami itu setelah proyek yang dikerjakan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika—sebelumnya badan ini minus klimatologi—membangun jaringan tersebut di beberapa tempat. Sebuah proyek yang mahal dan vital. Ini kabar gembira bagi kita yang waras, juga sekalian maling yang menangkap peluang bisnis menggiurkan.
Pantas saja Presiden marah. Perangkat penting yang bisa menyelamatkan nyawa banyak orang itu diketahui digerogoti tangan-tangan jail. Dari sembilan pelampung yang sudah terpasang—nantinya direncanakan 23 pelampung—lima raib digondol maling. Pelampung mungkin tak berguna bagi pencuri, tapi alat penyangganya bisa dijadikan besi loakan.
Tentu kita tak bisa hanya mencerca kaum pencuri. Diperlukan pengawasan yang ketat untuk proyek vital ini terus-menerus. Juga sosialisasi betapa pentingnya perangkat berteknologi tinggi itu.
Menjaga proyek ini mungkin membosankan. Orang sering lalai ketika menunggu sesuatu yang tak jelas kapan datangnya. Padahal, dalam konteks ini, sesuatu yang ditunggu itu sesungguhnya bukan hal yang diharapkan. Kalau boleh memilih, pemancar peringatan dini tsunami itu, betapapun mahal dan canggih teknologinya, lebih baik tak pernah berbunyi selamanya. Artinya, bencana janganlah pernah datang.
Namun alam semesta ini tak bisa semuanya diatur oleh manusia. Bencana tak bisa diatur kapan terjadi, juga tak pernah ada pemberitahuan. Dalam hal tsunami, kemampuan manusia kecil saja, baru bisa mengetahui persis setelah gempa terjadi, belum bisa diprediksi secara tepat.
Di situ pentingnya kewaspadaan terus-menerus untuk memelihara alat ini dengan kesabaran yang tak pernah putus. Selain aman dari pencurian, alat pendeteksi dini ini wajib dites secara berkala. Sering terjadi bencana datang ketika kita lengah memelihara alat pencegah. Kebakaran besar, misalnya, sering terjadi pada saat alat pemadam macet dan hidran tak berair.
Jangan sampai terjadi, begitu pelampung mengirim pesan tsunami, dan tombol sirene ditekan, tak ada suara apa pun yang meraung. Kita baru ngeh, pelampungnya ada, tapi sirenenya macet atau hilang digondol maling.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo