Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Festival Film dan Sistem Hukum Negara

Festival Film Indonesia (FFI) 2018 sedang berlangsung.

7 Desember 2018 | 06.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Film (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemala Atmojo
Pencinta Film

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Festival Film Indonesia (FFI) 2018 sedang berlangsung. Sejak diselenggarakan pada 1955 hingga 2013, penjurian akhir FFI dilakukan dewan juri, yang berjumlah 7-9 orang. Dewan juri inilah yang menilai semua unsur (sekitar 13-20 unsur) di dalam film, seperti musik, skenario, artistik, akting, penyutradaraan, dan penyuntingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Model penjurian semacam itu sebenarnya linier dengan sistem hukum civil law yang dianut Indonesia, Prancis, dan Belanda. Dalam peradilan pidana sistem ini, dewan hakimlah yang memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Peran hakim sangat besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Tulang punggung sistem ini adalah profesionalisme dan kejujuran hakim.

Namun dalam praktiknya, sistem penjurianatau peradilansemacam itu kerap menghasilkan kontroversi atau protes, bahkan sejak FFI pertama kali dilaksanakan. Puncaknya terjadi pada FFI 2006, ketika "para hakim" memutuskan film Ekskul sebagai film terbaik. Mereka dianggap lalai karena ilustrasi musik film Ekskul ditengarai menjiplak film asing. Sekelompok generasi muda yang menamakan dirinya Masyarakat Film Indonesia (MFI) memprotes dan meragukan kemampuan panitia dalam menyelenggarakan festival film.

Berdasarkan pengalaman panjang itu, sistem penjurian diubah mulai 2014. Penilaian akhir tidak lagi dilakukan sekelompok kecil orang, melainkan oleh 100 orang dengan tata cara yang juga baru. Meminjam istilah Thomas S. Kuhn, penjurian FFI sejak 2014 adalah paradigma baru yang menggantikan paradigma lama. Hasilnya, sejak 2014, para anggota MFI kembali percaya kepada FFI dan menyertakan filmnya dalam FFI 2014 hingga sekarang. Bahkan beberapa tokoh MFI terlibat aktif dalam FFI, baik sebagai juri maupun panitia.

Hal itu berbeda dengan sistem common law yang dianut Inggris dan Amerika Serikat, misalnya. Dalam sistem hukum Amerika, jika terdakwa pidana berat (ancaman hukuman enam bulan ke atas) tidak hanya ingin diadili hakim, ia dapat memilih diadili sekelompok "orang luar" atau masyarakat (juror). Para juror, yang biasanya berjumlah 12 orang, inilah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, hakim mencarikan pasal yang tepat dan sesuai dengan kasusnya. Hakim hanya berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman. Bila perlu, hakim mencontek dari putusan lama (preseden). Ini sesuai dengan doktrin stare decisis.

Model juror ini, dalam batas-batas tertentu, tercermin dalam pemberian Piala Oscar. Di situ, setelah film-film diseleksi panitia, selanjutnya disampaikan kepada "orang luar", yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan untuk dinilai. Hasil pilihan orang luar ini dikirim kepada akuntan publik untuk ditabulasi.

Jadi, sistem penjurian FFI sejak 2014 hingga saat ini sedikit-banyak telah dipengaruhi sistem yang berlaku dalam Piala Oscar (common law), yang kemenangan akhirnya tidak lagi ditentukan "dewan juri", melainkan oleh juror.

Perubahan sistem semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia film, tapi juga dalam sistem ketatanegaraan kita. Sejak dilakukan beberapa kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (1999-2002), muncul aneka badan atau lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Ombudsman, yang tadinya tidak ada atau tidak dikenal dalam sistem hukum civil law. Perubahan itu juga yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, tidak lagi menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden juga dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, presiden tidak bisa lagi membubarkan DPR, serta kekuasaan kehakiman ditegaskan mandiri, yang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Memang, seperti bahasa, hukum tumbuh dan berkembang. Hukum adalah formulasi dari keinginan rakyat dan tuntutan zamannya. Akhirnya, meski banyak mendapat kritik atas berbagai pemikirannya, saya kutipkan ucapan Friedrich Carl von Savigny yang terkenal: das Rechtskleid ist nicht von dem Schneider gemacht worden für dieses Volk (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh bersama masyarakatnya).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus